Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Man ‘amila shaalihan min dzakarin aw untsaa wahuwa mu/minun falanuhyiyannahu hayaatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kaanuu ya’maluuna.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah dilarang bersumpah politik yang sarat kebohongan, dilarang pula menukar kepentingan akhirat dengan dunia sesaat, lalu diberi pengarahan bahwa apa yang ada di tangan manusia pastilah sirna, sementara yang di ada tangan Tuhan pasti kekal, kini dinasehati agar manusia sungguhan beriman dan beramal kebajikan. Dijamin total bakal hidup super enak saat di dunia. "falanuhyiyannah hayah thayyibah", sementara di akhirat tetap dijamin lebih bagus dari itu, "wa najziyannhum bi ahsan ma kanu ya'malun".
Janji Tuhan ini universal dan lintas jenis kelamin, pria maupun wanita, juga nondiskriminatif, tak pandang dari suku mana dan berwarna kulit apa.
Ngaji lebih dulu soal keuniversalan lafadh "man" pada ayat kaji ini. Jabatannya sebagai fungsionaris "syarat" yang punya fi'il dan punya jawab, pada tataran pertama masih konsisten dengan bentuk mufrad dan dilambangkan dengan gaya mufrad juga. Itu terlihat pada kalimat "'amila" dan "wa huw mu'min". Tapi setelah masuk tataran jawab, Tuhan mengubahnya dengan varian berbeda. Jawab pertama dengan bentuk mufrad, yakni " falanuhyiyannah", menggunakan dlamir muttashil "huw". Sedangkan pada 'athaf atau jawab berikutnya digunakan bentuk jamak, "wa lajziyannahum", pakai dhamir "hum" dan seterusnya: "ajrahum bi ahsan ma kanu ya'malun". Nalar tafsirnya kira-kira begini:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pertama, untuk menunjukkan bahwa lafal "Man" itu musytarak, multi dimensi. Bisa mufrad, mutsanna maupun jamak. Bisa pula untuk cowok dan cewek. Begitu disiplin ilmu nahwu merumuskan. Jadi terserah apa maunya yang berbicara, lalu tinggal menyesuaikan saja. Pertanyaatan "siapa anda?". Jika yang dihadapi cowok, maka: "Man Anta?". Jika cewek, maka menjadi "Man Anti?". Jika berhadapan dengan dua orang, baik pria keduanya atau wanita keduanya atau campuran, maka jadilah: "Man Antuma?". Jika banyak, menjadilah: "Man antum?" dan seterusnya.
Kedua, ketika Tuhan membicarakan servis dunia yang super bagus, dipakailah bentuk mufrad "Falanuhyiyannahu hayah thayyibah". Tapi saat membicarakan sercit akhirat, diganti dengan bentuk jamak "wa lanajziyannahum ajrahum bi ahsan ma kanu ya'malun". Mengapa demikian? Allah a'lam. Kemungkinan begini:
Dipakainya bentuk mufrad saat Tuhan menjanjikan servis dunia kelas tinggi berupa hidup super bagus bagi orang beramal kebajikan dan sungguhan beriman kepada-Nya adalah:
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pertama, untuk meyakinkan kepada setiap orang yang melakukan itu, di mana masing-masing pribadi pasti diperhatikan Tuhan dan langsung dihandel Tuhan. Kedua, untuk lebih menyentuh dan memuaskan masing-masing pribadi. Bahwa kenikmatan tersebut pasti bisa dirasakan secara melegakan sesuai selera. Maka dijamin puas dan membahagiakan.
Ketiga, servis duniawi tersebut sifatnya sedikit dan sementara, sesuai kurikulum dunia yang sedikit dan sementara. Semua itu tidak seberapa dibanding dengan servis nanti di akhirat. Makanya, bentuk mufrad paling representatif dipakai untuk melambangkan itu.
Keempat, karena servis akhirat (surga) itu sangat universal dan abadi, lebih pada anugerah (fafhal) ketimbang sebagai balasan setimpal atas amal perbuata ('adl). Maka, bentuk jamak yang melambangkan multi sektoral lebih cocok dipakai ketimbang lambang mufrad. Sekali lagi, Allah a'lam.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Jadi, orang yang mau beramal kebajikan, baik saat bersentuhan dengan Tuhan maupun bergumul dengan manusia dan alam sekitar, lalu dia beriman secara totalitas kepada-Nya, maka pasti dijamin hidupnya serba bagus "hayah thayyibah". Inilah kunci hidup super bahagia. Tidak hanya itu, di akhirat malah berlebih-lebih servisnya. Kini, apa yang dimaksud dengan "hayah thayyibah"?.
Pertama, rejeki yang halal. Di sini tidak dibicarakan sedikit dan banyaknya, karena itu urusan penyesuaian yang diatur oleh Tuhan sendiri. Yang jelas sangat nikmat dirasakan. Begitu pendapat Ibn Abbas.
Kedua, kepuasan hati (qana'ah), legowo dan ridha. Orang itu serba bersyukur, sangat menikmati setiap apa yang ada pada dirinya. Apa saja, bahkan dalam keadaan kritis, sakit keras, miskin, dia merasa nyaman-nyaman saja dan benar-benar mampu menikmati manisnya keimanan. Hatinya selalu ada di pangkuan Tuhan. Begitu pandangan Ali ibn Abi Thalib.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Ketiga, kemampuan beribadah. Ibadahnya sangat disiplin dan menikmati. Mereka merasa enjoy dan asyik berlama-lama di hadapan Tuhan. Begitu pendapat al-Dhahhak.
Keempat, al-Imam Ja'far al-Shadiq mengatakan, bahwa Hayah Thayyibah itu makrifat billah. Lebih dari itu, maqam tertinggi dalam Hayah thayyibah adalah saat bebas dari segala kebutuhan materi, sama sekali tidak butuh kepada makhluq dalam bentuk apapun, karena dia sudah sangat puas bersama Allah SWT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News