JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Umat Islam kembali heboh. Kali ini ramai karena muncul kabar bahwa Tafsir Al-Quran surah Al Maidah ayat 51 yang dijual di toko-toko buku tiba-tiba diubah. Dalam tafsir tersebut, kata awliya yang sebelumnya diartikan pemimpin atau wali, diganti menjadi teman setia.
Pada beberapa edisi terbitan Terjemahan Al-Quran yang beredar saat ini, kata awliya pada QS Al Maidah: 51 diterjemahkan sebagai teman setia. Karuan saja banyak yang terperangah. Sebab sekarang lagi hangat-hangatnya kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menista al-Qurand engan menyebut “dibohongi pakai surat al-Maidah 51”. Para penentang Ahok menafsir kata awliya’ itu sebagai pemimpin, yakni umat Islam tak boleh memilih pemimpin non-muslim. Sedang para pendukung Ahok menafsirkan awliya’ sebagai teman setia.
Baca Juga: Kepala Kemenag Lamongan Tegaskan Rekrutmen PPPK Transparan dan Gratis
Lalu bagaimana tanggapan kemenag? Pgs. Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kemenag, Muchlis M Hanafi, menjelaskan bahwa terjemahan Al-Quran tersebut merujuk pada edisi revisi 2002 Terjemahan Al Quran Kementerian Agama yang telah mendapat tanda tashih dari LPMQ.
Hal ini ditegaskan Muchlis menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata awliya pada QS Al-Maidah: 51 yang disebutkan telah berganti dari 'pemimpin' menjadi 'teman setia'. Postingan itu menyertakan foto halaman terjemah QS Al-Maidah: 51 dengan keterangan yang menyebutnya sebagai 'Al-Quran palsu'.
"Tidak benar kabar yang menyatakan bahwa telah terjadi pengeditan terjemahan Al-Quran belakangan ini. Tuduhan bahwa pengeditan dilakukan atas instruksi Kementerian Agama juga tidak berdasar," tegas Muchlis di Jakarta, Minggu (23/10).
Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenag Jatim Berikan Pembinaan ASN di Lamongan
Menurut Muchlis, kata awliyadi dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 42 kali dan diterjemahkan beragam sesuai konteksnya. Merujuk pada Terjemahan Al-Quran Kementerian Agama edisi revisi 1998 - 2002, pada QS. Ali Imran/3: 28, QS. Al-Nisa/4: 139 dan 144 serta QS. Al-Maidah/5: 57, misalnya, kata awliyaditerjemahkan dengan pemimpin. Sedangkan pada QS. Al-Maidah/5: 51 dan QS. Al-Mumtahanah/60: 1 diartikan dengan teman setia.
Pada QS. Al-Taubah/9: 23 dimaknai dengan pelindung, dan pada QS. Al-Nisa/4: 89 diterjemahkan dengan teman-teman, tambahnya.
Terjemahan Al-Quran Kemenag, lanjut Muchlis, pertama kali terbit pada tahun 1965. Pada perkembangannya, terjemahan ini telah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan, yaitu pada tahun 1989-1990 dan 1998-2002. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama dan ahli di bidangnya, sementara Kementerian Agama bertindak sebagai fasilitator.
Baca Juga: Antisipasi Pernikahan Dini, Kasi Bimas Islam Kemenag Lamongan Sebut Pentingnya Peran Orang tua
Penyempurnaan dan perbaikan tersebut meliputi aspek bahasa, konsistensi pilihan kata atau kalimat untuk lafal atau ayat tertentu, substansi yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat, dan aspek transliterasi, terangnya.
Pada terjemahan Kementerian Agama edisi perdana (tahun 1965), kata awliya pada QS. Ali Imran/3: 28 dan QS. Al-Nisa/4: 144 tidak diterjemahkan. Terjemahan QS. Al-Nisa/4: 144, misalnya, berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Pada kata wali diberi catatan kaki: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab,
juga berarti pelindung atau penolong. Catatan kaki untuk kata wali pada QS. Ali
Imran/3: 28 berbunyi: wali jamaknya awliya, berarti teman yang akrab, juga
berarti pemimpin, pelindung atau penolong, jelas Muchlis.
Terkait penyebutan 'Al-Quran palsu' pada informasi yang beredar di media
sosial, Doktor Tafsir Al-Quran lulusan Universitas Al Azhar Mesir ini
mengatakan, terjemahan Al-Quran bukanlah Al-Quran. Terjemahan adalah hasil
pemahaman seorang penerjemah terhadap Al-Quran. Oleh karenanya, sebagian ulama
berkeberatan dengan istilah terjemahan Al-Quran. Mereka lebih senang
menyebutnya dengan terjemahan makna Al-Quran.
Baca Juga: Kepala Kemenag Lamongan Buka Bimtek Pendampingan Implementasi Kurikulum Merdeka
Tentu tidak seluruh makna Al-Quran terangkut dalam karya terjemahan, sebab Al-Quran dikenal kaya kosa kata dan makna. Seringkali, ungkapan katanya singkat tapi maknanya padat. Oleh sebab itu, wajar terjadi perbedaan antara sebuah karya terjemahan dengan terjemahan lainnya, paparnya.
Terkait kata atau kalimat dalam Al-Quran yang menyedot perhatian masyarakat dan berpotensi menimbulkan perdebatan, Kemenag menyerahkan kepada para ulama Al-Quran untuk kembali membahas dan mendiskusikannya.
Saat ini, sebuah tim yang terdiri dari para ulama Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman serta pakar bahasa Indonesia dari Badan Bahasa Kemendikbud, sedang bekerja menelaah terjemahan Al-Quran dari berbagai aspeknya.
Baca Juga: Kejati dan Kemenag Jatim Tegaskan ASN dan Pegawai Kejaksaan harus Netral di Pilkada 2024
Mereka itu, antara lain: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Huzaimah T Yanggo, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Dr. KH. A. Malik Madani, Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Dr. Muchlis M Hanafi, Prof. Dr. Rosehan Anwar, Dr. Abdul Ghofur Maemun, Dr. Amir Faesal Fath, Dr. Abbas Mansur Tamam, Dr. Umi Husnul Khotimah, Dr. Abdul Ghaffar Ruskhan, Dr. Dora Amalia, Dr. Sriyanto, dan lainnya.
Teks Al-Quran, seperti kata Sayyiduna Ali, hammalun dzu wujuh, mengandung aneka ragam penafsiran. ”Oleh karena itu, Kementerian Agama berharap umat Islam menghormati keragaman pemahaman keagamaan,” urainya.
Menurut Muchlis, terbitan terjemah Al-Quran dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk memahami isi kandungan ayat suci. Namun, ia mengingatkan, dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, hendaknya tidak hanya mengandalkan terjemahan, tetapi juga melalui penjelasan ulama dalam kitab-kitab tafsir dan lainnya.
Baca Juga: Bersama Kemenag, Kejaksaan Gelar Sholawat di Pantai Bentar Probolinggo
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr KH Cholil Nafis, menyatakan, perbedaan pendapat dalam koridor pemaknaan Al-Quran menurut tafsir Alquran para ulama salaf Awliya bisa bermakna teman setia, penolong, atau pemimpin.
''Kalau teman dekat dan penolong saja tak boleh, apalagi sebagai pemimpin. Teman dekat yang setia itu karena akan tahu rahasia Muslim, penolong itu karena kekuatannya. Dengan demikian, maka pemimpin pasti lebih dilarang,'' ungkap Cholil Nafis kepada Republika.co.id, Ahad (23/10).
Bahkan pemimpin seperti gubernur adalah orang yang bisa membuat peraturan daerah untuk mengatur umat Islam dan RAPBD yang bisa menolong atau mencelakakan umat Islam. Itu semua lebih dari teman setia dan penolong.
Baca Juga: Berikut 5 Pesan Kemenag Lamongan untuk ASN
Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang MS Kaban
juga berkomentar sama. Dalam akun twitter @hmskaban, mantan Menteri Kehutanan
itu menuliskan, jika menjadi teman setia saja tidak boleh apalagi jika umat
muslim menjadikan orang nonmuslim sebagai pemimpin.
"Konon perubahan terjemah almaidah 51.PEMIMPIN JD TEMAN SETIA.LHA JADI
TEMAN SETIA GAK BOLEH APALAGI JD PEMIMPIN.AKHLI TRRJEMAH LURUSKANLAH..,"
tulisnya. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News