Tafsir An-Nahl 99-100: Shalawat Fulus Dimas Kanjeng

Tafsir An-Nahl 99-100: Shalawat Fulus Dimas Kanjeng Sebelum ditangkap, Dimas Kanjeng sempat dinobatkan sebagai raja. Inset, Marwah Daud Ibrahim.

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Innahu laysa lahu sulthaanun ‘alaa alladziina aamanuu wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna. Innamaa sulthaanuhu ‘alaa alladziina yatawallawnahu waalladziina hum bihi musyrikuuna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih

Ngaji tafsir kita sekarang ini sedang bahas Syetan yang hanya mampu menguasai para pemujanya semacam orang kafir atau musyrik (100) dan sama sekali tidak bisa menyentuh orang-orang beriman (99).

Hari-hari ini media diramaikan dengan sosok unik, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang bisa mendatangkan uang dengan jumlah sangat fantastis dengan cara ritual khusus. Di tayangan televisi, para pengikutnya duduk menghitung uang sambil - kedengarannya - membaca shalawat Nariyah terus-menerus. Sementara sang Dimas duduk di kursi kebesaran sambil melempar-lemparkan uang yang keluar dari genggaman tangannya. Sepertinya, belum pernah bangsa ini menyaksikan adegan menakjubkan itu.

Dari sekian tayangan dan komentar dari berbagai kalangan, tafsir aktual ini ingin urun pendapat, antara lain :

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan

Pertama, bahwa fenomena kesaktian Dinas Kanjeng bisa jadi nyata, benar-benar terjadi, bisa disaksikan dan bisa pula dibuktikan, meski tidak bisa dinalar. Adalah Shalawat Fulus (pinjam istilah ketua MUI Jatim, KH Abd. Shamad Bukhary), yang arahnya kira-kira adalah, bahwa wirid yang dipakai Dimas dalam mendatangkan uang adalah shalawat, sebut saja "shalawat Nariyah". Bisakah?

Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW adalah ibadah. Tapi jangan lupa, Allah SWT memberikan kemuliaan khusus bagi diri Rasul ini, di mana diri beliau adalah pemegang otorita SYAFAAT dan KEBERKAHAN atas izin Tuhan. Syafaat dan keberkahan itu lintas dan tidak terbatas, bisa berupa apa saja sesuai kebutuhan pembacanya. Bisa berupa kesembuhan fantastis, seperti pada kisah Shalawat Burdah.

Al-Bushiry yang sakit keras dan lama berbaring terus bershalawat menurut bahasanya sendiri "Maulaya shalli wa sallim da'ima abada : ala habibik khair al-khalq kullihimi. Huw al-habib al-ladzi turja syafa'atuh : likulli haul min ahwal muqtahimi". Al-Bushiry bermimpi sang Rasul SAW hadir menjenguk sembari menyelimutinya dengan sebuah selimut yang menutup sekujur badan. Subhanallah, pagi hari sembuh total. Shalawat itu, lalu diberi nama "shalawat burdah", shalawat selimut.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka

Itu kenyataan dan itu juga sangat tidak masuk akal. Ya benar, tidak masuk akal, karena memang bukan ada di wilayah akal. Allah SWT sedang beratraksi di luar akaliah. Itu kewenangan-Nya dan Dia bisa. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Begitu seterusnya khasiat shalawat yang lain, shalawat munjiyat, shalawat al-Fatih, shalawat al-darak, shalawat Badar yang melemaskan kekuatan PKI tahun 1965 dulu.

Kini diunggah kenapa shalawat itu bernama Nariyah. Nar, artinya api. Shalawat Nariyah (shalawat api). Alkisah, sebuah negeri di arab sono dilanda krisis berat dari berbagai sisi, utamanya ekonomi. Kemarau panjang menghajar dan sangat mematikan. Sudah dicarikan jalan keluar yang melibatkan para pakar dan konsultan kelas dunia, tapi hasil tak seperti yang diharapkan.

Sekelompok kaum sufi terpanggil membantu umat agar segera keluar dari krisis melilit ini dan melakukan munajah kepada Allah SWT, beristighatsah pakai media shahalawat. Sebagai mana lazimnya, redaksi shalawat disesuaikan dengan tujuan, mau memohon apa via shalawat itu. Hasil istikharah menunjuk, redaksinya persis seperti yang ada pada shalawat Nariyah yang kita hafal, di mana poin-poinnya sesuai dengan kondisi negeri itu, antara lain :

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

1. Lepas dari krisis (tanhallu bih al-uqad). 2. Bebas dari hambatan (tanfarij bih al-kurab). 3. Sukses menggapai program (tuqdla bih al-hawa'ij). 4. Meraih kesejahteraan (tunal bih al-raghaib). 5. Negeri subur dengan curah hujan memadahi (wa yustasqa al-ghamam bi wajhih al-karim). Semua ajuan ini diharap terkabulkan secara cepat dan sekejap (fi kull lamhah wa nafas bi 'adad kull ma'lum lak).

Khalifah menginstruksikan semua rakyat beristighatsah menggunakan shalawat ini, dipimpin orang paling shalih di wilayah masing-masing dan diutamakan kiai desa yang tidak terkenal dan bersih dari kontaminasi politik. Subhanallah, dalam waktu sangat singkat keadaan berubah, hujan pun langsung turun secara terukur, pertanian, peternakan dan ekonomi mulai menggeliat dan seterusnya kondisi pulih dan sangat baik.

Begitu cepatnya istighatsah lewat shalawat ini direspon Tuhan sehingga keadaan membaik kembali, ibarat kecepatan api membakar tumpukan jerami kering di hamparan luas. Dalam sekejap, jerami ludes menjadi abu. Begitu tamsilam daya efektifitas shalawat ini yang cepat dan tuntas seperti api yang cepat meludeskan apa saja di hadapannya. Maka, dinamai SHALAWAT NARIYAH.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Dari sekian faedah shalawat yang sudah teraplikasikan tersebut terbaca jelas, bahwa orientasinya banyak pada urusan duniawi, seperti kesembuhan, lolos dari tekanan, selamat dari penzaliman bahkan perbaikan kondisi ekonomi. Lalu sangat mungkin bila shalawat Nariyah yang dipakai Dimas Kanjeng sudah mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga mengkhusus pada uang secara riil, beneran dan instan. Lalu Tuhan mengabulkan. Masing-masing kita punya keristimewaan sendiri-sendiri, maka jangan tergesa-gesa menafikan potensi Dimas Kanjeng. Juga jangan cepat-cepat terpedaya dengan keistimewaan seseorang.

Kedua, pengikut padepokan Dimas Kanjeng begitu yakin atas kesaktian Dimas, sehingga sekelas Prof. Marwah Dawud, PhD, ketua Yayasan padepokan itu menyebutnya sebagai karamah. Secara tidak langsung, ibu profesor menganggap Dimas Kanjeng Taat Pribadi sebagai Wali, karena pemilik karamah adalah para wali atau orang-orang shalih setaranya. Sementara bapak-bapak di MUI dan ulama lain tidak, justru istidraj. Allah a'lam. Siapa Marwah Dawud?.

Dialah Profesor Marwah Daud Ibrahim, PhD. Adalah lulusan S3 terbaik dari American University, Washington DC, Amerika Serikat. Lulusan terbaik Lemhannas KSA-V. Mantan Staff KBRI Washington DC. Anggota DPR-RI dari Partai Golkar tiga periode. Asisten Peneliti UNESCO dan Bank Dunia. Ketua Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan sekarang menjadi ketua Yayayasan Padepokan Dimas Kanjeng.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Baru kali ini ada profesor lulusan terbaik Amerika, Ketua cendikiawan muslim Indonesia berguru kepada dukun yang konon, baca al-qur'an-pun tidak fasih. Makanya, Marwah ngotot sekali bahwa kesaktian mahagurunya itu nyata, lagi-lagi nyata dan nyata bahkan menantang disaksikan. Jelas, maklum, dasar pikirannya cuma satu, nyata dan nyata. Karena di luar akal akdemiknya, hal mana dia tidak punya itu, maka dia terheran dan bersedia menjadi pemujanya. Inilah jawabannya, mengapa profesor "bersujud" di hadapan dukun. Di sini juga sekaligus kesalahannya, atraksi erasional didekati dengan rumus rasional. Di sini juga kecerobohannya, pemilik rasional cepat menafikan rasionalitasnya sendiri, lalu memuja erasional. Itu sah-sah saja dan haknya. Tapi tidak begitu bagi pandangan tafsir aktual. Berikut kelanjutannya.

Kedua, sebagai orang beriman menyakini bahwa Tuhan sungguh Maha Kasih dan Maha memberi kepada siapa saja sesuai kemauan-Nya. Kasih Tuhan itu lintas apa-apa, kafir atau mukmin. Orang kafir pun banyak yang punya kelebihan sangat atraktif. David Copperfield mampu menembus tembok China, menghilangkan patung Liberty dan lain-lain. Itu nyata dan terjadi. Sebagai orang beriman, tidak boleh berhenti kepada hal yang nyata saja, lalu dipercaya sebagai kebenaran, seperti dilakukan ibu profesor. Ini nyata, nyata dan nyata sembari menunjuk beberapa bukti.

Orang beriman mesti cerdas dan mampu membaca di balik kenyataan dengan referensi keimanan. Harus diadakan skoring, apakah pemberian Tuhan berupa pengadaan uang itu atas dasar RIDHA (karamah) dari Allah SWT atau karena ISTIDRAJ-Nya, penglulu, pemberian menjerumuskan?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Rumusannya begini: Penerima karamah adalah orang shalih, maka akan bertambah taqwa, makin khusyu', makin lama bersujud dan makin menutup diri, karena khawatir terjebak riya', seperti para wali dan orang shalih yang benci dipublis. Penerima karamah bagai orang dewasa yang menemukan berlian. Dia sembunyikan berlian itu sedalam dan seaman mungkin. Ditanyapun, jawabnya tidak punya.

Sedangkan peneriman istidraj sangat menikmati penghormatan, sangat suka seremonial, makin berlagak saat dipuji dan disanjung, bahkan menikmati gelar-gelar pemberian manusia. Bila perlu diragakan dan disaksikan umat. Penerima istidraj, bagai anak kecil menemukan berlian masakan (imitasi) lalu dengan bangga dipamer-pamerkan ke semua orang. Bagi mata awam, akan terperanjat kagum dan mengelu-elukan. Tapi tidak bagi mata pakar, karena mampu membedakan antara berlian asli dan yang imitasi. Silakan menilai sendiri, mata kelas apa milik ibu profesor itu.

Ketiga, pemilik karamah hanya mau melakukan saat sangat mendesak dan perlu, tidak pernah ada pertunjukan karamah. Karena karamah identik dengan Mukjizat, hanya saja beda kelas. Mukjizat tidak didemonstrasikan, tapi keluar saat dibutuhkan dan tidak bisa diulang. Bermanfaat bagi umat tanpa ada pihak yang dirugikan. Sedangkan istidraj berorientasi instan, bisa didemonstrasikan, tidak memberikan maslahah secara makro dan bisa disalahi. Saat mendemokan istidraj sangat mungkin bisa digagalkan dengan "wirid" yang lebih kuat, tapi tidak bisa dikenakan pada karamah. Istidraj serumpun dengan sihir yang bisa dibatalkan. Seperti pada era Fir'aun. Musa A.S. dengan mukjizatnya beradu kesaktian melawan para tukang sihir kerajaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kini kita lihat perbedaan antara karamah para wali dan kesaktian Dimas Kanjeng. Di TV, Marwah mencontohkan singgasana ratu Bilqis secepat kilat dihadirkan di pendopo Sulaiman sebagai argumen pembenar atas kesaktian Dimas. Dari sisi keajaiban itu betul, sehingga tidak mustahil Tuhan memberikan kesaktian kepada hamba-Nya yang dikehendaki, termasuk Dimas. Tapi ingat, al-Qur'an memberi kejelasan asal usul singgasana (arsy) itu dengan memperlihatkan ke pemilik aslinya (Bilqis), lalu menanyakan dengan sopan: "Apa ini milik tuan Ratu? (ahakadza 'arsyu)”. Sulaiman sungguh tidak mau memilikinya. Inilah yang luput dari pikiran bu profesor.

Tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh Dimas dengan mendatangkan uang rupiah triliunan rupiah. Dari mana uang itu? Milik siapa? Dengan cara apa memilikinya dll. Sebab di negeri ini sudah ada aturan tentang pengadaan uang, yaitu hanya Bank Indonesia saja yang mempunyai otorita, lain tidak. Sehingga semua bentuk pencetakan uang di luar BI tidak dibolehkan dan melanggar hukum. Dalam islam, mencetak uang palsu hukumnya haram, sama dengan pencurian.

Apakah mendatangkan uang secara gaib sama dengan mencetak uang? Logikanya YA. Sama-sama di luar kewenangan BI. Pengadaan uang di luar kontrol BI pasti mengakibatkan inflasi dan anjloknya nilai tukar rupiah yang diderita oleh bangsa ini. Kerugiannya sungguh jauh lebih besar dibanding dengan positifnya dengan sekedar dibagikan kepada fakir miskin, membuat proyek sosial, membangun gedung dll. Hanya saja kerugian negara itu tidak terlihat jelas oleh mata, tapi jelas bagi pemegang kebijakan. Sekali lagi, inilah yang tidak dipikir oleh Marwah yang profesor. Lagi-lagi hanya tergiur sesaat, ketika melihat uang berlimpah, tanpa berpikir panjang layaknya seorang profesor. Soal undang-undang spesial pengadaan secara gaib ada atau tidak, itu soal lain.

Keempat, alasan apapun terkait keberadaan uang Dimas, pastilah mengarah keharaman. Jika ternyata benar-benar asli dari BI, maka dipertanyakan proses memperolehnya, dari mana. Tidak bisa dijawab dari Tuhan, karena semua uang rupiah sudah ada pemegang otoritanya secara sah dan dibenarkan oleh undang-undang. Apa mencuri di kas negara, di bank atau di gudang uang, seperti pemindahan singgasana zaman nabi Sulaiman SAW. Kecuali ada pihak yang menyatakan sebagai penyumbang yang kemudian ditransfer langsung dengan cara gaib oleh Dimas langsung ke kamarnya, maka halal hukumnya.

Jika ternyata uang itu di luar lisensi BI, maka itu pemalsuan, maka lain lagi urusannya, masuk ke ranah hukum pidana. Sekali lagi, inilah yang tidak dipikir oleh ibu profesor lulusan terbaik Amerika itu. Pikirannya pendek, yang dilihat adalah ada uang banyak, diperoleh secara ajaib, tidak mencuri, nyata ada, lalu digunakan untuk kerja sosial, membangun sarana agama tanpa mempertimbangkan maslahah dan mafsadah secara makro.

Kelima, Nabi Muhammad SAW juga pernah menggandakan air. Sudah air dalam wadah kecil, sedangkan yang butuh banyak. Beliau memasukkan tangannya di dalam air itu sementara sahabat menggunakan hingga semua tercukupi. Jadi, penggandaannya dari air itu juga yang diberkahi, tanpa ada pihak yang dirugikan. Juga pernah menggandakan bubur dalam wadah kecil. Puluhan sahabat menikmati dan semua tercukupi. Penggandaan luar biasa dari bubur yang diberkahi itu, tanpa ada pihak yang kehilangan buburnya. Tidak sama dengan uang rupiah, di mana otoritasnya sudah ada dan efeknya jelas.

Keenam, jika Dimas Kanjeng Taat Pribadi mau menyumbangkan manfaat bagi umat dan negeri ini, sebaiknya menghadirkan kekayaan alam milik negeri ini secara aman dan bermanfaat secara luas. Misalnya, menghadirkan emas murni dari perut bumi negeri ini sekian ribu ton, lalu diserahkan kepada negara agar dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa. Atau memompa minyak mentah secara ajaib dengan volume sekian juta barel per hari. Atau langsung jadi pertamax yang siap pakai. Jika ini dilakukan, sungguh sangat terpuji, baik di mata manusia manusia, bangsa maupun di hadapan Tuhan. Ya, seperti dilakukan kawanan Jin zaman Nabi Sulaiman yang memunguti mutiara dari dasar laut, lalu dipersembahkan kepada sang Nabi. (al-Anbiya':82).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO