JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menduga aksi unjuk rasa lanjutan pada 25 November 2016 memiliki agenda untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo.
Demo itu, lanjut dia, bukan lagi untuk menuntut proses hukum atas kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Jimly pun mengaku tidak ikhlas jika umat Islam dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan upaya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
"Saya sebagai Ketua ICMI tidak rela jika umat Islam terjebak dalam adu domba untuk tujuan yang tidak konstitusional," kata Jimly dikutip Kompas.com, Senin (14/11/2016).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menilai, masyarakat memang tidak bisa dilarang untuk melakukan aksi unjuk rasa karena demonstrasi merupakan hak warga negara.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Namun, ia menyayangkan jika demo umat Islam ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu.
"Saya menganjurkan jangan lagi ada demo. Sebab, tujuannya berpotensi menyimpang dari motivasinya yang semula. Kalaupun tetap mau demo, sebaiknya jangan lebih besar dari yang lalu agar tidak dicurigai punya agenda untuk menjatuhkan presiden yang sah," kata Jimly.
Presiden Jokowi sebelumnya mengaku heran dengan kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan Ahok.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Menurut Jokowi, kasus tersebut melebar dan malah menyeret namanya sebagai kepala negara.
Dalam aksi unjuk rasa 4 November, tuntutan pendemo adalah Ahok segera diproses hukum. Namun, setelah aksi tersebut, tuntutan melebar hingga ada yang menyuarakan pelengseran presiden.
"Saya heran, ini kan urusan DKI. Lha kok digesernya ke presiden, ke saya? Coba kita logika dan kalkulasi nalar saja. Kalau saya sih senyum-senyum saja," tutur Jokowi dalam sambutannya pada acara Rapimnas PAN di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/11/2016).
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Sementara pengamat politik Syahganda Nainggolan menjelaskan bahwa apa yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia menunjukkan sedang ada gejolak atau gesekan dari kelompok-kelompok tertentu. Kasus dugaan penistaan agama yang membelit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah hilirisasi konflik dari kekuatan besar bangsa, dan menjadi perang peradaban.
Dikutip RMOL.com ia menegaskan bahwa Indonesia tengah mengalami perang antara kelompok yang ingin mempertahankan supremasi dan nilai-nilai luhur bangsa yakni Pancasila dan Islam, sebagai kesepakatan setelah proklamasi, dan kelompok yang ingin memecah belah bangsa, menggagalkan isu mayoritas-minoritas dan ingin adanya demokrasi liberal secara total.
"Bahkan kelompok ini menihilkan agama dalam kehidupan, menghidupkan LGBT, sekuler dan western civilitation, dengan orang-orang Cina perantauan," jelas Syahganda di Jakarta, Senin (14/11).
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
Ahok, menurut dia, menjadi simbol kapitalisme Cina yang ingin menghancurkan rakyat pribumi dan ingin meletakkan pribumi di pinggir-pinggir peradaban.
Syahganda yakin, gelar perkara atas kasus dugaan penistaan agama, akan melepaskan dan melindungi Ahok, sebagai simbol kekuatan anti Pancasila dan Islam, yang selalu dihantam dengan isu pluralisme.
"Ahok akan lepas, Ahok tidak akan dipenjara. Meskipun gelar perkara ini dilakukan, polisi dan Jokowi memaksa Ahok dibebaskan, begitu saja," jelasnya.
Baca Juga: Khofifah Kembali Dinobatkan sebagai 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2025
Dengan begitu, kata dia, akan ada aksi bela Islam jilid III, yang rencananya berlangsung 25 November mendatang. Kemungkinan secara sosilogis, dialektika emosi massa akan naik dua kali lipat pada hari itu.
"Massa bisa saja membakar istana. Eskalasi emosi meningkat dua kali lipat," tegasnya.
Ujungnya, akan terjadi kerusuhan. Para elit kemudian berunding. Aparat keamanan juga makin menunjukkan berasal dari faksi mana mereka. Ia menyebut Kapolri Tito yang merupakan orang Jokowi, Wakapolri Syafrudin orang Jusuf Kalla dan Kepala BIN Budi Gunawan yang merupakan orangnya Megawati.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadiri Upacara HUT ke-79 TNI
"Ketiganya punya kemampuan melakukan penetrasi hukum ini. Siapa yang paling kuat. Setelah kerusuhan ini nanti, akan berunding elit-elit. Gatot (Panglima TNI) punya posisi paling penting," ramalnya.
Jika itu menjadi kenyataan, Syahganda menyarankan agar Presiden Jokowi dengan legowo meletakkan jabatan presidennya agar kondisi negara menjadi normal kembali.
"Saran saya ya Jokowi mengundurkan diri saja, buat apa jadi Presiden dengan keadaan seperti itu," saran Syahganda. (tim)
Baca Juga: Bansos Beras Diharapkan Lanjut, Presiden Jokowi Janji Akan Bisiki Prabowo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News