Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Man kafara biallaahi min ba’di iimaanihi illaa man ukriha waqalbuhu muthma-innun bial-iimaani walaakin man syaraha bialkufri shadran fa’alayhim ghadhabun mina allaahi walahum ‘adzaabun ‘azhiimun (106).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah menafsir ngalor-ngidul ayat studi ini (106), kini giliran fuqafha' melihat ayat tersebut dari perspektif hukum islam. Dari segi hasrat, tindakan seorang mukallaf itu dibagi dua, yakni ikhtiyary dan ijbary. Ikhtiyari itu pilihan, adalah perbuatan yang sengaja dilakukan atas dasar kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar. Sengaja berjual-beli, sengaja mencuri, berzina, memukul, memberi dan lain-ain. Maka punya konsekuensi, berupa pahala bagi perbuatan baik dan dosa atas perbuatan terlarang.
Sedangkan Ijbari adalah keterpaksaan. Yaitu perbuatan yang terpaksa dilakukan karena tekanan dari pihak luar. Perbuatan terpaksa ini lazim disebut "Ikarah". Tentu saja tidak punya konsekuensi apa-apa dalam hukum. Meski mengucapkan kata-kata kufur, jika itu benar-benar dipaksa, maka Tuhan tidak melihat perbuatan yang ada, melainkan melihat suara hatinya. Jika suara hati berontak dan tidak menyetujui apa yang dilakukan, maka tidak ada efek dosa apa-apa. Begitu pesan ayat studi yang dikuatkan fakta sabab nuzul.
Ulama' fiqih memperluas bahasan ayat ini dengan memaparkan persoalan seputar ikrah tersebut. Seperti jenis ikrah, persyaratan, termasuk pandangan para ahli. Dari sisi bobot, Ikrah dibagi dua. Ada ikrah haqiqi dan ada ikrah nisbi. Ikrah haqiqi (nyata) adalah tindakan memaksa yang disertai ancaman yang nyata. Ancaman itu bisa dibuktikan atau dipastikan terjadi, bila si al-Mukrah (yang dipaksa) tidak melakukan sesuai perintah al-Mukrih (yang memaksa).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Dari ikrah haqiqi ini ulama berselisish paham soal rumusannya, kapan ancaman itu bisa disebut pasti, sehingga ikrah telah memenuhi syarat sebagai berancaman seirus atau sekedar gertak saja. Umumnya fuqaha syafi'iyah cukup dengan dhann, dugaan kuat atau keyakinan, bahwa ancaman pasti serius. Seperti, pedang sudah diayun-ayunkan di hadapan mata, pistol sudah dikukang dan ditodongkan, tinggal "dor" saja. Walaupun belum dibacokkan atau belum di-dor-kan, sudah cukup dianggap sebagai ancaman.
Sebagian berpendapat tidak demikian, justru ancaman secara fisik harus sudah terbukti, sudah terjadi, sudah dimulai. Atau ada tindakan jahat pada awal mula. Artinya, tidak cukup sekadar celurit dikalungkan di leher, melainkan sudah digoreskan sedikit. Atau sudah dipukuli dulu sebelum ancaman lanjutan yang lebih fatal terjadi.
Perndapat kedua ini banyak menuai kritik, karena beberapa ancaman belum tentu punya sifat pendahuluan. Lagian, susah diterka, apakah si pemaksa (al-mukrih) melalukan ancaman awal lebih dahulu atau langsung eksekusi. Celurit yang sedang dikalungkan di leher, susah ditebak, apakah digoreskan sedikit lebih dahulu, atau langsung dibabatkan total. Sama dengan senjata api yang ditodongkan, apakah di-dor dengan diserempetkan ke lengan lebih dahulu atau langsung dada menembus jantung?
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Untuk itu, kompromi dua pendapat penting dibangun. Misalnya, bagi ancaman yang punya pendahuluan, seperti pukulan, hajaran, maka harus ada bukti fisik lebih dahulu. Seperti sudah dipukul pada awal kali. Atau sudah diikat dan tak berdaya dll. Sedangkan bagi ancaman yang berpotensi langsung eksekusi, seperti pistol yang ditodongkan, maka tidak perku ada bukti awal. Cukup dugaan kuat saja. Ikrah haqiqi inilah yang dijadikan dasar untuk menetapkan hukum ikrah.
Bagian kedua adalah ikrah nisbi, ikrah semu. Di mana kejiwaan kita tidak bebas, mental terkekang dan serba ewuh-pekiwuh menghadapi kebesaran pihak lain. Seperti perasan tidak enak, sungkan, segan menghadapi kiainya sendiri. Santri Madura yang jual rambutan di pasar buah, lalu Kiai and bu Nyai-nya datang membeli. Mestinya harga Rp. 10.000,- per kilogram, tapi bu Nyai menawar tujuh ribu.
Santri sadar kalau harga tawaran itu merugikan, tapi karena sungkan, lalu disetujui. Inilah ikrah nisbi dan tidak dianggap sebagai ikrah signifikan yang mengganggu keabsahan jual-beli. Jual belinya sah dan tidak ada masalah. Ya, andai si santri menolak, maka keadaan biasa saja, tak ada ancaman apa-apa. Jadi, persetujuannya adalah pilihannya sendiri, bukan ikrah. Pada kontek ini, jika Rp. 3.000 diniati sebagai sedekah samar, maka berpahala. Jika tidak pun, akad tetap sah dan tidak ada beban apa-apa bagi bu Nyai.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Beda dengan preman yang datang dan menawar paksa dengan ancaman dan si penjual terpaksa memberikan. Inilah ikrah hakiki yang berpengaruh terhadap akad. Jual belinya tidak sah. Yang terbayar cuma Rp. 7.000,- sedangkan harga definitif Rp. 10.000,-. Maka Rp.3.000,- kekurangannya dihitung terhutang, haram bagi si preman. Di akhirat nanti, bisa ditagih dan penjual bakal mendapatkan kembali. Bisa berupa pahala seukuran 3.000 dari preman, atau dosa penjual seukuran 3.000 dibebankan kepada si preman.
Walhasil, harta yang kita miliki secara sah, andai dizalimi orang, dicuri, dihutang dan tidak dibayar, dalam agama tidak berarti lenyap dan sirna, melainkan tetap ada sebagai milik kita. Hanya saja pemanfaatannya tertunda di dunia. Di akhirat nanti pasti kembali. Justru harta macam beginian ini, hakikatnya menguntungkan kita kelak. Bagaikan tabungan paksa untuk hari akhir nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News