Kiai Kampung Minta Khofifah Mundur dari Kabinet

Kiai Kampung Minta Khofifah Mundur dari Kabinet Forum Komunikasi Kiai Kampung se Jawa Timur (FK3JT) pimpinan KH. Fakhrur Rozi meminta Khofifah mundur sebagai Mensos RI sekaligus Ketua Umum Muslimat NU. foto : DIDI ROSADI/BANGSAONLINE

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Meski pendaftaran kontestan pilgub Jawa Timur baru dimulai pada Januari 2018, sejumlah kandidat sudah bisa dipastikan maju dalam suksesi kepemimpinan di Jawa Timur tersebut. Mereka di antaranya Wakil Gubernur Saifullah Yusuf yang berpasangan dengan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Selain itu, Khofifah Indar Parawansa yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sosial juga dipastikan maju sebagai kandidat Cagub.

Keikutsertaan Khofifah dalam pilgub Jatim 2018 mendapat sorotan dari Forum Komunikasi Kiai Kampung se-Jawa Timur (FK3JT). Elemen pendukung Gus Ipul-Anas ini menilai Khofifah mutlak harus mundur dari kabinet kerja karena statusnya sebagai Menteri Sosial akan menyebabkan konflik kepentingan. 

Baca Juga: Usai Luluk Hamidah, Lukmanul Hakim dan Wisnu Wardhana Ucapkan Selamat untuk Kemenangan Khofifah-Emil

"Bu Khofifah mutlak harus mundur sebagai Menteri Sosial karena beliau kalau datang ke Jatim selalu memberikan bantuan. Agar lebih fair sebaiknya beliau mundur dari kabinet dan konsentrasi maju sebagai cagub. Apalagi kalau nantinya sudah resmi mendaftar sebagai cagub," tegas Koordinator FK3JT, KH. Fakhrur Rozi, Senin (23/10).

Pengasuh Pondok Pesantren Canga'an Bangil, Pasuruan yang akrab disapa Gus Fakhrur ini juga meminta Khofifah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Alasannya, hal itu diatur dalam AD/ART PBNU maupun PWNU. Pihaknya mengimbau Khofifah ‎segera meletakkan jabatannya sebagai orang nomor satu di Muslimat NU. Apalagi peringatan tersebut juga sudah disampaikan oleh Ketua PWNU Jatim, KH. Hasan Mutawakkil Alallah.

Sebaliknya, untuk Gus Ipul yang saat ini menjabat sebagai Ketua PBNU, Gus Fakhrur menilai Gus Ipul tak perlu mundur. Sebab, dia hanya sebagai salah satu Ketua di PBNU bukan Ketua Umum PBNU. Karena itu beliau tidak punya kewenangan dan otoritas untuk menggerakan roda organisasi. Sementara Khofifah adalah Ketua Umum Muslimat NU yang merupakan badan otonom di Nahdlatul Ulama. Karena itu, Khofifah memegang kendali organisasi secara penuh.

Baca Juga: Aksi Heroik Relawan Jalan Kaki ke IKN, Khofifah Titipkan Udeng Madura

"Kalau untuk Bu Khofifah harus mundur sebagai Ketua Umum Muslimat NU, sementara Gus Ipul cukup nonaktif. ‎Ini ada dasarnya, ada aturannya di NU," tandas Gus Fakhrur.

Terpisah, pengamat politik Universitas Jember (Unej) Muhammad Said Iqbal menilai pejabat publik yang maju dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim sebaiknya mengundurkan diri meski tidak diatur dalam Undang-Undang. Hal itu harus dilakukan agar mereka tidak memakai fasilitas negara ketika melakukan sosialisasi.

“Meski tak diatur uu, secara etis, pejabat yang nyalon di pilkada sebaiknya mundur,” kata Iqbal.

Baca Juga: Dapat Ucapan Selamat dari Kompetitor Pilkada 2024, Khofifah Ucapkan Terima Kasih ke Luluk Hamidah

Dia khawatir, jika tetap ngotot tidak mau mundur, potensi penggunaan anggaran negara sangat mungkin terjadi. "Apalagi mereka berpotensi memakai anggaran perjalan dinas,” imbuhnya.

Menurut dia, selain berpotensi menyalahgunakan anggaran, dikhawatirkan akan ada conflict of interest, dan kinerja mereka tidak maksimal.

“Yang pasti adalah bakal terjadi conflict of interest dan kinerjanya sebagai menteri tidak akan optimal. dan hal itu jelas merugikan rakyat (langsung/tidak langsung).

Baca Juga: Pj Gubernur Jatim Tinjau Langsung Rekapitulasi Hasil Hitung Suara Pilkada Tingkat Provinsi

Sementara itu, pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi, mengatakan, sesuai aturan perundang-undangan memang tidak harus mundur karena cukup non aktif saja. Namun secara etika, dia menyarankan supaya semua calon yang memiliki jabatan publik sebaiknya mengundurkan diri.

Alumni Murdoch University Australia ini mengingatkan, baik Khofifah, Gus Ipul dan Azwar Anas adalah sama-sama penyelenggara negara. Karena itu, perlakuannya harus sama. Kalau diputuskan mundur, artinya semuanya harus mundur dari jabatannya. Kalau cuti atau non aktif, berarti semuanya harus sama-sama cuti atau non aktif. Dengan demikian kompetisi akan berlangsung secara fair.

“Secara etika kan sebaiknya tak gunakan fasilitas atau pengaruh otoritas negara, jadi sebaiknya semuanya harus mundur. Karena statusnya sama-sama penyelenggara negara. Kalau kesepakatannya cuti atau nonaktif, ya harus sama. Tidak boleh ada perbedaan perlakuan antara kandidat," pungkas akademisi yang akrab disapa Angga ini. (mdr)

Baca Juga: TPP Bidang Hukum Khofifah-Emil Apresiasi Laporan KIPP soal Pelanggaran Pilkada di Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO