Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .
Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).
BACA JUGA:
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
- Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
- Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
- Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Penutup ayat yang menghadirkan sifat al-sami' dan al-bashir-Nya dimaksudkan untuk mendengar, sekaligus memonitor respon publik terkait peristiwa ajaib itu. Apa komentar mereka dan apa pula sikap mereka. Dulu, ada yang iman total, kafir total dan menunggu. Sesuai dengan perkembangan ilmu dan pesatnya nalar akademik, kemudian dipertanyakan apakah ketika Nabi Muhammad SAW berisra' and mi'raj itu jasadnya atau hanya ruhnya saja yang ke sono?
Pendapat, bahwa nabi berisra' dengan ruhnya saja memang pernah ada dengan berbagai argumen, antara lain:
Pertama, isra' dan mi'raj adalah perjalanan lintas yang menembus luar angkasa yang tak terhingga segala-galanya menurut hukum fisis. Peristiwa beraudiensi dengan Tuhan yang immateri mestinya dilakukan dengan yang immateri juga, sehingga matching dan komunikatif. Itulah ruh dan bukan jasad. Jasad yang fisis pasti hancur di alam sono, sehingga audisi dipastikan gagal.
Kedua, mahapilot yang mengantar Nabi menuju Sidratil Muntaha adalah malaikat Jibril A.S. yang supra cahaya, sebut saja "non fisis". Artinya, akan lebih masuk akal jika yang diantar (nabi Muhammad SAW) ke sono juga sisi nonfisisnya, yakni ruhnya.
Ketiga, ada riwayat dari salah satu istri Rasulillah SAW yang mengaku bahwa malam itu tidur semalaman bersama beliau, karena ketepatan jadwal giliran baginya.
Bagi yang memihak isra' dan mi'raj dengan jasad mengemukakan paparan begini, bahwa soal ruhnya yang paling cocok beraudiensi dengan Tuhan di Sidratil Muntaha memang benar. Tapi apa gunanya jika hanya ruh yang dipakai komunikasi, lalu sampai payah-payah terbang ke sono dengan jemputan malaikat Jibril segala? Tidakkah cukup mimpi indah "ru'ya shadiqah" atau yang sebangsanya saja.