Tafsir Al-Isra 1: Nabi Isra', Jasadnya atau Ruhnya?

Tafsir Al-Isra 1: Nabi Isra

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .

Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Penutup ayat yang menghadirkan sifat al-sami' dan al-bashir-Nya dimaksudkan untuk mendengar, sekaligus memonitor respon publik terkait peristiwa ajaib itu. Apa komentar mereka dan apa pula sikap mereka. Dulu, ada yang iman total, kafir total dan menunggu. Sesuai dengan perkembangan ilmu dan pesatnya nalar akademik, kemudian dipertanyakan apakah ketika Nabi Muhammad SAW berisra' and mi'raj itu jasadnya atau hanya ruhnya saja yang ke sono?

Pendapat, bahwa nabi berisra' dengan ruhnya saja memang pernah ada dengan berbagai argumen, antara lain:

Pertama, isra' dan mi'raj adalah perjalanan lintas yang menembus luar angkasa yang tak terhingga segala-galanya menurut hukum fisis. Peristiwa beraudiensi dengan Tuhan yang immateri mestinya dilakukan dengan yang immateri juga, sehingga matching dan komunikatif. Itulah ruh dan bukan jasad. Jasad yang fisis pasti hancur di alam sono, sehingga audisi dipastikan gagal.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Kedua, mahapilot yang mengantar Nabi menuju Sidratil Muntaha adalah malaikat Jibril A.S. yang supra cahaya, sebut saja "non fisis". Artinya, akan lebih masuk akal jika yang diantar (nabi Muhammad SAW) ke sono juga sisi nonfisisnya, yakni ruhnya.

Ketiga, ada riwayat dari salah satu istri Rasulillah SAW yang mengaku bahwa malam itu tidur semalaman bersama beliau, karena ketepatan jadwal giliran baginya.

Bagi yang memihak isra' dan mi'raj dengan jasad mengemukakan paparan begini, bahwa soal ruhnya yang paling cocok beraudiensi dengan Tuhan di Sidratil Muntaha memang benar. Tapi apa gunanya jika hanya ruh yang dipakai komunikasi, lalu sampai payah-payah terbang ke sono dengan jemputan malaikat Jibril segala? Tidakkah cukup mimpi indah "ru'ya shadiqah" atau yang sebangsanya saja.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Kedua, jika cuma ruh, lantas dikemanakan peristiwa nyata saat beliau singgah di al-Masjid al-Aqsha yang disaksikan qayyim al-masjid, penjaga masjid. Lalu dikemanakan kasus utusan kaum Quraisy ke hadapan Bitriq, sang penguasa Palestina yang kemudian terjadi perdebatan besar antara delegasi Makkah dan agamawan istana.

Ketiga, dikemanakan gemparnya para kafir Makkah menyangkal isra' dan mi'raj Nabi jika itu hanya ruhnya. Jika hanya ruhnya, maka mereka tidak akan heran dan tidak akan mempersoalkan serta tidak pula akan meminta bukti segala. Paling-paling hanya mengutuk Nabi sebagai benar-benar gila, penipu, dan pelamun.

Lalu, mereka beramai-ramai dan sabar menunggu di batas kota hingga matahari terbenam. Hal itu karena Nabi menyatakan telah berpapasan dengan rombongan kafilah dari suku "X" yang balik pulang dan diperkirakan akan masuk kota Makkah sebelum matahari terbenam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Keempat, terhadap salah satu istri yang menyatakan: "malam itu tidur dengan saya". Jika yang dimaksud adalah ibu Aisyah R.A., maka itu ahistoris, tidak mungkin. Sebab Rasulullah SAW menikahi (membangun rumah tangga, dukhul pertama) dengan Aisyah pada tahun pertama hijriyah, di Madinah. Sedangkan peristiwa al-isra' terjadi satu tahun sebelum hijrah.

Saat peristiwa isra' terjadi, ada dua pendapat: Pertama, Rasulullah SAW sedang berstatus duda dan dalam keadaan berduka sangat dalam setelah ditinggal wafat istri tercinta, Khadijah bint Khuwailid. Kedua, sudah beristri lagi, yaitu menikahi seorang janda shalihah, Saudah bint Zam'ah. Saudah inilah yang berjuluk "al-muhajirah", satu-satunya istri yang hijrah.

Saat masih menjadi istri al-Sakran bin Amr, Saudah hijrah ke Habasyah, lalu sang suami meninggal di sana. Lalu dinikahi Nabi dan ikut hijrah ke Madinah. Riwayat Saudah dinilai sangat aneh dan tidak populer di kalangan ahli Hadis. Saudah yang keimanannya super mendalam tidak mungkin mengeluarkan pernyataan yang bisa mengurangi keagungan nabi yang notabenenya suami sendiri. Allah a'lam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Kelima, bahasa yang dipakai Tuhan dalam peristiwa ini adalah "asra bi 'abdih", memperjalankan hamba-Nya. Terma "asra" dipakai untuk kerja fisis, sementara ruh tidak perlu diperjalankan karena sifatnya sudah immateri yang lintas. Begitu pula kata "abdih", hamba. Tradisi bahasa pasti menunjuk bodi, fisik seseorang, bukan ruhnya. Apalagi bila kata "abd" bermakna budak, pasti sosok manusia yang punya kemampuan kerja keras. Tidak ada budak beruapa ruh. Ruh tidak bisa kerja dan tidak bisa diperintah majikan.

Pemikiran tentang isra' dan mi'raj hanya ruh sekilas nampak kritis dan mencerminkan nalar akademik yang brillian. Tapi di balik itu tersirat arah penyederhanaan terhadap peristiwa tersebut, sehingga menjadi biasa, tidak mukjizat dan tidak luar biasa lagi. Arah inilah yang diingini oleh nonmuslim, termasuk orientalis. Dengan pemahaman tersebut, maka tidak lagi ada keimanan yang mesti ditingkatkan via al-isra' dan al-mi'raj.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO