Oleh: Suparto Wijoyo*
SESUAI dengan yang diperniatkan bersama dengan Redaksi Harian Bangsa, sejatinya kolom Sumamburat ini membidik fenomena dalam sisik-melik realitas yang disorot tanpa menyilaukan: santai nan biasa-biasa saja yang berseru tentang “esok ada pengharapan lagi”.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Fakta dihimpun dengan samar dan terkadang tetap tersembunyi melalui kosa kata yang terpilih guna menghadirkan perspektif yang tidak perlu membutuhkan berlembar-lembar halaman untuk memahaminya.
Cukup singkat dengan ukuran yang sepersekian waktu sudah dapat terekam esensi gagasannya. Dapat dibaca di kala senggang dengan niatan melengkapi aktivitas para penikmatnya melakukan “tadarus kehidupan”.
Saudara-saudaraku pembaca dari Aceh sampai Papua yang selama ini “terselip” dalam kesibukan masing-masing kini terjalin atas nama persaudaraan yang terpanggil menyemarakkan Ramadhan 1439 Hijriyah.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Kolega sebaya, yang yunior maupun yang senior dari ragam kampus di Indonesia pun menyampaikan daya sambutnya yang menerawangkan pikiran saya bahwa mereka semua adalah“penjaga ilmu” yang tidak lelah membangkitkan daya kritisnya.
Semoga kampus tetap menjadi ajang keilmuan yang “beruhani” kebebasan akademik di tengah sinyal merangseknya “jejaring kekuasaan yang semakin kentara” melakukan “penjeweran kaum terpelajar” seperti diberitakan banyak media. Ide dan gagasan intelektual biarlah terus bersemi dengan adu argumentasi sesuai daya nalar akademik yang dalam sejarahnya telah mampu membuktikan diri bahwa kaum terdidiklah yang menggerakkan kebangkitan sebuah bangsa.
Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2018 tempo hari terus diperingati dengan diskusi-diskusi, kecil maupun kolosal. Upacara diselenggara di tanggal 21 Mei 2018 oleh seluruh lembaga negara.Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Ke-110 untuk menyadarkankembali ingatan lama, termasuk apa yang telah direkam oleh Goenawan Mangoenkoesoemo (1889-1929).
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Beliau memang salah seorang dari Siswa yang tergabung di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) – Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra. Dari STOVIA inilah sebuah cita-cita persatuan kebangsaan digagas dan dikristalisasi dalam wadah perkumpulan Boedi Oetomo (BO).
Ketahuilah bahwapembentukan BO ini langsung mendapatkan respon hebat dari kaum terdidik Bumiputra yang duduk di bangku-bangku Sekolah: Landsbouwschool (Sekolah Pertanian), Veeartsenijschol (Sekolah Dokter Hewan), Hoofdenschool (Sekolah Kepala Negeri), Opleidingschool,Kweekschool bagi Guru, termasuk Burger-Avondschool (Sekolah Malam untuk Penduduk).Gelegar sebaran pendirian BO dari Gedung STOVIA Jakarta tanggal 20 Mei 1908 merupakan jawaban atas kebutuhan zaman yang menuntut kaum terdidiknya berbuat terbaik bagi rakyatnya.
Peristiwa demi peristiwa yang menggambarkan penderitaan lahir batin rakyat menyembulkan komitmen kaum terdidik untuk memperkuat persatuan nasional melalui organisasi BO. Penderitaan rakyat direkam amat jelas dalam tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo mengenai Lahirnya Boedi Oetomo (1908-1918). Terdapat telisik kejadian yang sangat miris yang menimpabangsa ini.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Diceritakan sepenuh jiwa apa yang dirasakan pendudukdi trem, di kereta api, di lapangan bola. Kaum Bumiputra mempunyai nilai tidak lebih dari keset kaki, seperti seekor anjing yang dilempari batu oleh anak-anak di jalan besar. Lebih dari itu, nestapa yang menggambarkan nasib kelam bangsa ini ditorehkan: di Hindia Belanda, rakyat menemukan caci maki.
Mereka sengaja menggunakan kata inlander untuk menyakiti hati, merendahkan, menjelekkan bahwaini adalah bangsa yang malas, bodoh, jorok, kejam, tak tahu terima kasih, dan tak berperasaan. Inilah penghinaan yang diterima leluhur kita oleh kaum kolonilais.
Atas perendahan harkat dan martabat kaum Bumiputra itulah kebangkitan dapat digelorakan dan sejurus waktu kemerdekaan dikumandangkan dengan pekik Takbir Allahuakbar yang menghantar Indonesia Merdeka di bulan Ramadhan 1366 Hijriyah. Bagi siapa saja yang kini mau menyimak jalannya sejarah bangsa ini, sudilah membaca kisah-kisah Guru Kebangsaan para tokoh yang mengerucut pada HOS Cokroaminoto, tentu semakin menghormatinya, terutama penghormatan kepada kaum ulama, cendikia yang mengawal dengan ketulusan totalnya.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, darinya kita semua dapat belajar bagaimaa kumandang nasionalisme dapat digelorakan dalam ungkapan “hubbul wathon minal iman”. Alim Ulama memberikan titah agungnya bahwa “cinta tanah air adalah bagian dari iman”. Para Sayyid dan Habaib memberikan rumah dan harta bendanya untuk kelancaran persiapankemerdekaan Republik Indonesia.
Pelajarilah rumah siapa yang ditempati untuk memproklamasikan Indonesia 17 Agustus 1945 itu, maka betapa besar jasa para ulama yang nasionalismenya tidak perlu dipertanyakan, apalagi sampai didaftar dengan jurus “daftar menu para juru dakwah” dengan kandungan “gizi nasionalisme yang direkomendasi”.
Kawan pembaca Sumamburat nyeletuk, Cak, apakah yang tidak didaftar itu Illegal, dan yang didaftar itu legal. Jawab santai saya adalah: kalaulah pencantuman 200 (sebelum sebagiannya telah menyatakan minta dicoret) mubaligh itu dianggap bukti “legalitasnya versi sebuah kementerian”, biarlah yang lain “bebas berdakwah tanpa rekomendasi”.
Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”
Bahkan apabila yang tercatat itu dinyatakan yang palinglegal dan yang “liyan” dianggap illegal, tak usah khawatir, toh yang illegal belum tentu tidak sah, mengingat soal keabsahan ulama itu tidaklah ditentukan oleh sebuah rekomendasi. Kiai-kiai yang mengajariku “mengaji ayat-ayat Illahi” meski tidak direkomendasi tetaplah sang guru, yang kepadanya kupersembahkan bakti.
*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News