Oleh: Suparto Wijoyo*
ISLAM dengan segala ekspresi rahmatnya merupakan agama yang menggebrak. Tataran tauhid atheis menjadi theisme yang memperkenalkan Allah Yang Maha Esa dengan penyempurna risalah manusia agung berakhlak mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sosok yang amat revolusioner mengubah kebiadaban menjadi keberadaban, kejahiliaan diolah dalam sentuhan yang mencerahkan. Iman ditawarkan sebagai obor ruhani agar manusia bertindak sesuai dengan supremasi asal-usulnya.
Baca Juga: Eksotisme Telasen Topak atau Lebaran Ketupat, Hari Raya-nya Puasa Sunnah Syawal
Sebuah pelajaran yang sangat spektakuler tentang hadirnya pewahyuan di Gua Hira sebagai deklarasi kenabian Rasulullah Muhammad SAW yang dalam hitungan Hijriyah berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari. Pada sumamburat sebelumnya telah diketengahkan bahwa wahyu perdana diterima melalui Malaikat Jibril yang kini termuat dalam Alquran, Surat Al-Alaq, ayat 1-5: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Adalah tugas kaum beriman untuk mendalami dan mengajarkan “mata kuliah permulaan itu” dalam kehidupan yang serba kompleks sekarang ini. Membaca dengan nama Rabb bukanlah membaca tanpa makna. Membaca tentang manusia yang berasal dari “setitik air suci” yang kemudian menggumpal segenggam darah yang atas kehendak-Nya maujud berbagai “ragam jasadi” manusia. Dinamika dari “rahim yang terjaga” ke dalam hamparan bumi yang selalu menggeliatkan diri sebagai bagian planet yang “menggalaksikan” kodrat-Nya. Manusia itu kemudian menyebar bersuku dan berbangsa serta berkelindan dalam selongsong negara. Hadirlah manusia-manusia yang naturalis berubah menjadi sangat sosiologis pada rumpun masyarakat. Karakter sosial itu memuai meluberkan esensi sosial yang saling bersentuhan untuk li ta’arafu alias saling mengenal. Manusia memendarkan diri untuk saling mengenal, bukan saling menjegal, apalagi saling menjagal.
Dalam lingkup inilah terjadi pernomaan watak saling mengenal yang sangat penting pada ajaran agama dan Islam memformulasi melalui sisik melilik ritualnya yang senantiasa berdimensi sosial. Tidak ada ajaran Islam yang tidak menyangkut sebuah konstruksi gerakan sosial. Islam merumuskan tatanan sosial untuk membangun order kemasyarakatan yang sempurna. Manusia selaku makhluk sosial sejak mulanya telah diberi ruang pengaturan dalam Islam. Silaturahim-silaturahmi merupakan instrumen yang sangat lekat pada “bentara sosial” umat Islam.
Baca Juga: Tradisi Lebaran yang Hanya Ada di Indonesia
Hari-hari ini betapa hebohnya negara untuk “diseret-seret” mengurus “agenda agama”. Hal ini berarti negara tidak akan pernah abai, apalagi tidak peduli dengan urusan agama, mengingat para pejabatnya saja sewaktu disumpah atau berjanji pasti prosesinya menurut agama, bukan menurut adat. Agama Islam itu benar-benar adalah “kunci pembuka pintu gerbang” jabatan negara agar sah memanggul mandat rakyat beriman. Untuk itulah betapa tergopoh-gopohnya negara dalam menyambut Idul Fitri 1439 H dengan mempersiapkan infrastruktur agar warga negara yang merayakan Idul Fitri merasa nyaman. NKRI ini harus ada artinya dengan menyediakan kemudahan ibadah warganya. Mudik secara praksis adalah sebuah gerakan sosial yang sejatinya digerakkan oleh iman. Iman atas penyelenggaraan ibadah puasa pada Ramadhan, sehingga bulan ini adalah penggerak perubahan, selalu merekonstruksi sosial yang sangat tidak terbantahkan. Puasa itu benar-benar menggerakan “kaki-kaki sosial maupun ekonomi” serta kultural.
Fenomena faktual mudik ini dapat dipelajari dan menghasilkan bermacam jenis buku untuk didiskusikan. Tetapi orang sering lupa bahwa mudik ini pada esensinya bergerak dari rasa iman kaum berpuasa yang menyakini bahwa dalam Ramadhan itu akan selalu dipungkasi dengan hadirnya 1 Syawal, tanda adanya Hari Raya Idul Fitri. Periodesasi waktu Idul Fitri inilah yang menyodorkan kebijakan negara untuk cuti bersama yang dituang sebagai konsekuensi political organized, suatu organisasi politik. Oleh karenanya mudik juga tidak luput dari bincangan poilitik dan itu hal yang lumrah saja. Pemimpin negara ini boleh dibincang oleh setiap warga negara karena dia menerima limpahan kedaulatan rakyat melalui pemilu, termasuk pilpres. Dalam mudik niscaya saya meyakini bahwa pulang kampung mereka tidak akan imun tentang “dongeng pilpres 2019”.
Oang-orang kampung akan meminta cerita orang-orang kampus dan perkotaan. Aktivis perkotaan yang menengok kampung lazimnya dikerubungi orang-orang desa. Kaum pedalamam meskipun telah mendapatkan berita dari instrumen HP, tetapi cerita visual yang ekpresif dari kolega yang sempat mengenyam kehidupan kota sangatlah berbeda. Ini soal rasa dan mudik yang bergerak atas dasar iman merayakan Idul Fitri merupakan “kurikulum penutup” Ramadhan, sehingga tidaklah elok apabila tidak menyoal yang lagi aktual.
Baca Juga: Mbah Benu Minta Maaf, Bukan Telepon Allah, Netizen: Ngawur Mbah
Dengan kondisi semacam inilah maka gemuruh berita dan gelegak wacana tentang pilpres 2019 sangatlah menarik disimak. Gema gaduhnya tidak akan berhenti dengan diskusi tentang main klaim jalan tol maupun hebatnya penyegelan bangunan-bangunan liar reklamasi yang “haram” itu. Pada perkembangan selanjutnya pastilah bahwa suasana sikon ini pasti mengguncang tatanan sosial, ekonomi dan budaya secara paralel. Kita musti menyadari mengenai kekeliruan yang telah terjadi dan membangun kesadaran kolektif untuk kembali ke kampung halaman sebagai penanda bahwa kita memang punya leluhur Meminjam kata-kata Anthony Giddens, ini adalah bagian dari “kesadaran diri dan perjumpaan sosial”. Dan mudik ternyata sebuah “gerakan bertauhid”, aktivitas yang dipandu iman. Selamat berlebaran dan mohon maaf lahir batin.
*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News