Oleh: Suparto Wijoyo*
PALAGAN demokrasi itu ternyata menyajikan watak dasar manusia yang paling sejati dengan kandungan manipulasi yang selalu ditoleransi. Meraih posisi penting dalam negara serendah apapun harus diperjuangkan dengan lelehan ”dunyo brono dodol rojo koyo”. Kehendak untuk menduduki dampar kencono kekuasaan bukanlah sekadar pertarungan biasa melainkan perhelatan yang toh nyowo lan toh pati. Pencapaiannya penuh misteri meski senantiasa diakali dengan kecerdikan nan pencitraan diri melalui kehobongan dikit-dikit, tak urus hendak menjadi ”bukit dusta lagi”.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Janji kiranya disepakati mereka yang bermain bahwa menebarnya bukanlah soal dipenuhi tetapi cukuplah untuk diketahui. Pengetahuan rakyat secara langsung tentang siapa yang berjanji adalah anugrah yang musti diraih agar keterkenalan berbanding lurus dengan keterpilihan. Di sini jangan membincang keterwakilan rakyat, cukuplah menyoal keterajakan mereka untuk menghadiri ”pesta demokrasi” yang sudah dipersiapkan dengan biaya yang tidak mampu kau hitung dengan kesepuluh jemari tangan.
Simaklah senyum di gambar-gambar para kandidit apapun, mulai dari kades sampai presiden, semua memasang foto terbaiknya dan mereka menebarkan ”ujaran yang dibungkus visi-misi” yang tidak bisa dijaring pemilih secara pasti. Namun rakyat boleh mendengar kampanye yang dipidatokan tetapi tidak akan mengevaluasi ketepatannya karena setelah ”jabatan dikangkangi”, langkah berikutnya adalah ”daulat rakyat yang dikadali”. Berbaris janji bisa ditulis dan diserukan dalam orasi-orasi demontsrasi yang memekakkan telinga khalayak, tetapi yakinlah bahwa hal itu soal lain dengan pemenuhannya. Para bawahan dapat diminta untuk menjawab atas kenaikan semua harga dan kondisi yang menggelisahkan.
Sepertarikan nafas pada akhirnya yang disalahkan adalah kahanan mengingat bagaimanapun yang diwartakan adalah ”dia sedang bekerja”, sibuk meresmikan ini itu. Ya bekerja keras untuk menaikkan semua harga dan melumpuhkan rupiah tanpa sengaja akibat pasar global yang sedang membual dengan dampak ikutan ”ekonomi nasional kena imbas gelegak dunia”. Kahanan kehidupan sosial yang selalu dinamik itulah yang layak dipersalahkan dan jangan coba-coba ada person pemerintahan yang kau salahkan atas ”fluktuasi harga” kalau kau tidak hendak diperdaya olehnya.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Sudahlah. Kini yang ada adalah bahwa jerit kegemparan rakyat tidak akan mampu sampai ke telinga yang sedang memuja singgasana dengan pertimbangan ”adakah rakyat tetap berdaulat hari ini, bukankah dulu waktu pemilihan mereka semua telah menyerahkan mandatnya”. Rakyat telah nyoblos memilihku, lantas kau hendak menghardiku. Ohhh... tidaklah etis. Apalagi semua media sudah di tangan tanpa suara lantang. Fenomenanya amat ”menggelikan” dengan operasi sibuk kejar tanyang mengerjakan tugas yang dijejalkan kepada semua civitas demokrasi.
Memang ini soal amanah ataupun tidak bukanlah penting adanya. Kalaulah para petinggi yang dipilih kiranya sudah dimafhumi dengan anggitan tidak harus sanggup memenuhinya sekarang, bukankah masih terbuka untuk periode berikutnya. Maka janji harus ditaburkan kembali, bila perlu sampai rakyat klilipen dan sliliten visi-misi, hingga sibuk karepe dewe, tak sempat menagih kembali.
Tetapi ajaibnya adalah semua ”kalangan” tidak merasa situasinya segenting yang sebagian orang pikirkan. Bagi dia yang bertahtah adalah membuat ”sawah program lagi” dan ini harus disemai dengan niatan untuk dilakukan ”perabukan” melalui pemilu tahun 2019 dengan ”narasi utama bahwa kondisi yang seperti kebanyakan dirasakan umat akan terlunasi pada tahun mendatang, periode berikutnya.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Itulah yang dibangun melambung melalui infrastruktur demokrasi sehingga yang terlihat adalah moncernya hasil periode ini, sehingga yang lain tengah memperebutkan posisi wakil, ya wakil, tapi tidak sekadar wakil, ini wakil termasuk wakil rakyat, yang membawa mandat rakyat, wakil yang dipertuan walaupun yang diwakili selalu dijerat utang.
Inilah saat janji dilanjutkan dan perhatikan baik-baik maka kau akan dibuat pusing sendiri sebab kaum kebanyakan sangat senang mendengarnya dan hal ini membuat mereka lupa, bahkan kasihan karena terdapat kerumunan yang sudah merasa kenyang dengan melihat tayangan media yang acapkali menjadi pembualnya.Nyalon lagi adalah ”panggilan negara” yang terbukti bahwa seorang ulama waktu ditanya untuk disandingkan pun menjawab tegas, sedia kalau negara memanggilnya.
Lantas? Publik perlu berbuat untuk berdakwah demokrasi. Adakah rakyat boleh sengsara dan tergerogoti kedaulatannya, demiwakil atau pejabat agar tetap terhormat. Jangan segera dipulangkan ke kampung halamannya. Itu tidak sopan dan kurang menghargai khalayak. Apalagi wakil rakyat atau pejabat itu meski terkena OTT KPK tetaplah menjalankan mandat bukan hanya dari soal demokrasi yang tersepakati, melainkan legalitasnya pun kuat.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Dengan basis hukum yang ada dan menaati regulasi dengan sepenuhnya maka wakil itu kini menjadi perwakilan yang membopong NKRI. Semua urusan harus dikaitkan dengan keberadaan negara yang tidak boleh mengalami penderitaan. Kalaulah BUMN pun harus dilelang dan tenaga kerja asing terus menyerbu, itu deminegara, ya demi negara ”nenek moyangnya”.Inilah nasib rakyat yang hidup di panggung demokrasi sekadar ornamen modernisme yang abai terhadapketerpanggilan menjalankan peran menyejahterakan rakyat.
*) Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News