Oleh: Suparto Wijoyo*
PEKIK MERDEKA di jelang perayaan 17 Agustus 2018 telah berkumandang beriring bersahutan dengan sorakan massa yang menyertai Deklarasi Capres-Cawapres untuk Pilpres 2019. Dari hari-hari sejak tanggal 9 dan 10 Agustus 2018 yang memanggil helatan cek kesehatan paslon pilpres di waktu 12-13 Agustus 2018 amatlah kentara.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Medsos dibanjiri “cerita” laksana lautan bah yang “menyemarakkan” jagad perpolitikan sekaligus soal persona pelakunya. Hentakan saling “menyapa” untuk tidak mengatakan acapkali “menyerang” antar pendukung paslon, sungguh gelegaknya melebihi gempa Lombok yang sudah jelas memporakporandakan habitat manusia. Ejekan yang ujung perannya berupa ajakan untuk mendukung pilihannya terus diunggah dan rakyat Indonesia akan mengalami situsai “serangan yang membandang” selama 8-9 bulan ke depan.
Betapa atmosfer udara publik yang kian kelihatan kelabu, bahkan mendukung itu tetap harus menyorongkan datangnya terang dengan kilatan bintang yang berkerlip di angkasa. Cerahnya langit pilpres harus tetap dijaga dalam kerangka besar NKRI yang telah final sebagai pilihan bernegara. Anak-cucu dan cicit tidak diperkenankan mengusiknya tetapi harus memartabatkan negara dan pilpres merupakan instrumen demokrasi peneguhan NKRI.
Pilpres ini dengan menghadirkan cawapres KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga S. Uno sejatinya melekatkan yang jauh dan tidak hendak menjauhkan yang sudah lekat. Kiai akan menghadapi kesantunan sosok Santri Milenial meski soal kesantrian Bang Sandi kerap diledek dengan sebutan santri-santrian. Tetapi yang sesungguhnya menyemburatkan asa adalah kedua cawapres hadir sebagai pendulum yang elok di antara petahana.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Ya … sejujurnya untuk capresnya, dua-duanya adalah petahana, yaitu petahana dari Pilpres 2014. Keberadaan Kiai Ma’ruf dan Santri Sandi adalah energi yang diraih untuk dibopong keduanya dalam sengkarut yang tidak perlu bersilang selisih. Adu dalil-dalil yang argumentatif dalam pengembangan ekonomi akan selalu ditunggu untuk menghadapi keterpelantikan rupiah yang “nyungsep” seperti tak berdaulat.
Saya tidak akan melanjutkan bincangan dalam cengkerama relasi antara Kiai-Santri tetapi memaknai saja arti kekuasaan bagi para “pinisepuh” untuk memasuki gelanggang yang sangat menyedot energi.
Terhadap situasi segmental ini, saya teringat riuhnya kemenangan Tun Mahathir Mohamad dalam Pemilu Raya Malaysia, 9 Mei 2018. Dalam suasana itulah sorot mata menengok ke Malaysia dengan kemenangan yang sudah diketahui dunia. Pakatan Harapan selaku aliansi politik yang mengusung Dokter Mahathir Mohamad secara telak mengalahkan koalisi permanen yang diboyong Barisan Nasional, yang sudah mengangkangi Malaysia selama 61 tahun.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Mahathir dalam usia 92 tahun ternyata mampu menjadi magnit sekaligus pendobrak “jumawahnya” kekuasaan yang mengandalkan donyo-brono. Tun Mahathir atau Dr M meneguhkan dirinya yang amat berkelas dalam penyelenggaraan pemerintahan Malaysia. Selama 22 tahun Tun Mahathir menjabat sebagai PM, yang saat itu saya sendiri menikmati pemerintahannya melalui TVRI yang sering memberitakan melalui acara Dunia dalam Berita. Tun Mahathir sungguh mempesona. Pembangunan di Malaysia moncer memercikkan kebanggaan bagi rakyatnya dan kebanyakan kita pun ingin berkunjung melihat kemajuan Kuala Lumpur.
Setelah 15 tahun beliau mundur dengan sangat santun untuk membangun tradisi baru, pergantian kekuasaan agar tidak perlu haru-biru dengan belajar banyak pada apa yang terhelat di Jakarta dalam menyongsong 21 Mei 1998, kala itu. Tun Mahathir mengkonstruksi “kurikulum perpolitikan” yang handal untuk diletakkan dalam skala pemerintahan Malaysia. Namun seluruh PM pengganti Tun Mahathir terlihat “mengecewakan” karena semua “murid kinasihnya” tidak tampil seperti yang diharapkan. Pemilu Raya Umum 9 Mei 2018 memberikan bukti bahwa Tun Mahathir memiliki daya saing yang sangat fundamental.
Tentu banyak tokoh di negeri ini yang iri, apalagi sekadar saya. Saya memiliki “keterhanyutan hati” terhadap Tun Mahathir yangselalu terlekat dikala beliau mau dan tidak pernah saya imajinasikan, tetapi terkesan atas kondisi kesehatannya diusia 92 tahun. Selama Tun Mahathir tidak menjabat dan tidak terlibat aktif dalam berpolitik, terbaca berita atas kesehatannya yang kurang prima.
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Ternyata pada saat beliau super aktif untuk Pemilu Raya 2018 dulu itu dengan menerjunkan diri secara total dalam dunia yang salam ini membesarkan namanya, yakni politik pemerintahan untuk memartabatkan bangsa Malaysia, Tun Mahathir tampil sehat, segar, bugar, kewarasan. Dari sini kiranya dapat diambil pelajaran bahwa “drama pilpres” itu ternyata menyehatkan, dan dibutuhkan orang-orang yang sehat jiwa raganya, dan Kiai Ma’ruf Amin dapat meneladaninya di usia 75 tahun. Tun Mahathir Mohamad adalah referensi ter-update-nya.Terbukti bahwa kekuasaan politik itu dapat menjadi sarana yang menyehatkan. Kepada para paslon semuanya,wabil khusus Kiai Ma’ruf Amin, doaku selalu agar Panjenengan sehat agar “pertandingan” tidak berspekulasi atasnya.
*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News