Oleh: Suparto Wijoyo*
GEMA Peringatan Hari Santri Nasional III, 22 Oktober 2018 mengiangkan lantun doa dan pengharapan untuk bangsa. Helatannya semakin membuncahkan semangat juang dalam kelambu Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang mengkristalisasi ghirah umat yang amat heroik. Kepahlawanan itu menjadi sangat mistis dengan kobaran revolusioner dari jiwa rakyat yang terpanggil imannya. Mempertahankan negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 sebagai ladang pengembangan Islam ternarasikan secara gamblang dalam Resolusi Jihad, hingga siapa pun yang memiliki nada dasar tauhid atasnya niscaya serentak meneriakkan takbir: Allahuakbar. Resolusi Jihad menjadi solusi kebangsaan dan keumatan yang mampu menyelamatkan Republik ini dari invasi Belanda yang memboncengkan dirinya dalam “gerombolan kolonialisme” NICA. Revolusi 10 November 1945 pecah.
Baca Juga: Resepsi Hari Santri Nasional 2024, PCNU Tuban Sukses Gelar Haul Masyayikh dan PCNU Award 2024
Dari sini, ikhtiar santri tiada henti, tiada pernah lelah dan tiada kenal jengah untuk Indonesia. Peringatan Hari Santri pun merupakan penegasan sikap negara atas peran besar santri dalam mengawal sekaligus menuntun perjalanan setiap anak negeri. Bersama santri dipastikan negeri ini terbasuh dari segala najisnya. Santri menjaga dengan mengitari agar setiap “pembatalan” bernegara langsung “diwudukan” agar kesucian NKRI tetaplah abadi secara insani. Santri tampil dengan kesederhanaannya tetapi memantapkan langkahnya. Berjuta-juta santri memadati setiap jengkal areal untuk mengenang bahwa pada hari santri ini musti ada deburan martabat yang didarmakan bagi NKRI.
Semua eleman pada perkembangannya terpusatkan perhatiannya ke arah santri. Kaum bersarung dan berkopiah ini tampil mengesankan. Upacara digelar di kantor-kantor pemerintahan sambil menengadahkan mimpi bahwa santri memanglah sedemikian bermaknanya. Hanya saja adakah mereka jujur untuk bersantri sambil mengenakan sarung dan berpeci berikut melantunkan shalawat sebagai penanda bahwa dia memang santri. Tampaknya perlu terus membiasakan diri di mana santri menjadi entitas yang melekat pada negara. Kaum berpeci yang menyeimbangkan sabetan sarungnya itu ternyata menggeliatkan perekonomian yang sejatinya tumbuh menggurita. Pabrik-pabrik sarung, kerudung, kopiah dan sajadah ataupun kafiyeh yang tersematkan dalam dirinya pastilah menggulirkan gelombang pendapatan tidak terkatakan.
Pabrik itu untung dan semua tiada hendak buntung sebagai tanda terima kasih atas keputusannya. Maka dipilihlah sesepuh santri untuk mendampinginya dalam pesta perpolitikan. Singgasana “pernikahan demokrasi” antara “nenek moyang” santri dengan “pemilik kursi” yang selama ini merenggangkan elegi itu disorong terus berangkulan agar hajatan sejuta pelantun pun semarak diunggah membentuk formasi yang megelu-elukannya. Santri terjahit menjadi identitas dan untuk itu tidak segan-segan mereka yang kini sedang men-caleg-kan dirinya harus berkopiah dan bersarung sekaligus bersurban memasuki pesantren-pesantren serta memberikan bantuan tanda silaturahmi yang “mbarokahi”. Padahal dia tidak beragama Islam. Ciri dasar pada mulanya santri itu tauhidnya adalah penanda keislamannya, tetapi lama-lama melumer “sekolam” kerumunan asal sarungan nan kopiahan. Tampaknya identitas santri “dipetik” sekadar luaran meski isinya jelas-jelas “menjauhkan” arti historisnya.
Baca Juga: Sholawat Kebangsaan di Bangkalan, Habib Syekh Apresiasi Kepemimpinan Khofifah di Periode Pertama
Pengaruh itu akhirnya menggumpal sampai pada ada adegan ganjil di Hari Santri Nasional. Ada sekelompok orang membakar kain yang dinisbatkan sebagai bendera dengan tulisan kalimat tauhid. Justru yang membakar itu melantunkan asal muasal kelompok yang memanggul penuh gembira tentang kesantriannya. Inilah potret sosial kelabunya martabat iman dalam literasi berbangsa yang punya Pancasila. Antara santri dan akhlak non santri menyatu bersorak dalam geram saat membakar kain bertuliskan kalimat tauhid. Lihatlah di medsos mengenai “erang yang membaur menjadi karang dendam” yang menjingkrakan diri komunitas pembakar yang tengah menyentuh titik paling asasi dalam iman. Alasan yang digulirkan oleh pejabat teras kaum pembakar kalimat tauhid itu adalah niatan untuk memuliakannya agar kain itu tidak berserakan di jalanan.
Sepernafasan kemudian adalah banyaknya unggahan yang mengecam tindakan yang amat ”kentara ke mana tujuan dari pembakaran itu” meski tipis garis tepinya. Garis tepi itu seolah menjadi panggung adu kuat mengenai keabsahan organisasi di NKRI, yang sejak awalnya berdiri di atas kalimat keimanan seperti terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tapi justru pada hari santri itu terpestakan pembakaran yang sekejap mengesankan bahwa “ada santri” yang anti “bendera tauhid”. Santri demikian harus berjalan hati-hati karena berdiri di garis tepi sambil membenturkan “arasy kursi” dengan substansi iman Islam. Lagu-lagu cinta negara dikumandangkan sebagai tebaran keyakinan bahwa itu adalah pengetuk pintu Tuhan.
Saya menyaksi di garis tepi itu kini berjajar banyak orang hendak melangkahkan niatnya yang tidak mampu membeda mana jalan kebenaran dan pasukan asal berkuasa. Jebakan yang menikam itu menyilaukan dengan tikungan yang kelokannya tidak mampu dieja awam walaupun lurah ormas itu tengah asyik untuk dilumuri “dampar kencono” yang layak diperebutkan. Tapi yakinlah bahwa esok akan ada saat dimana carut-marut kejiwaan ini memantulkan cahaya terang.
Baca Juga: Labelisasi, Upaya LTM PCNU Sumenep Amankan Aset Masjid NU
Saya, tentu penuh takzim mengucapkan dirgahayu santri sambil menyimak karya Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang membebar kerancuan kaum filosuf. Sebuah kitab yang sangat fenomenal dalam “membombardir” logika eksistensial yang nirleka tauhid. Pada akhirnya Ibn Rusyd (1126-1198 M) melakukan sanggahan buku sang Hujjah Al-Islam itu dengan Tahafut at-Tahafut. Polemik filsafati yang jenial dan elegan sekaligus mencerahkan. Kritik Ibn Rusyd bukan untuk disanjung dianggap mampu “membungkan” argumentasi Imam Ghazali, mengingat respon Ibn Rusyd itu diberikan jauh setelah Imam Ghazali wafat. Mari menyelami sebuah zaman yang menyodorkan ketidaksetujuan itu dengan kitab, bukan pembakaran.
*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News