Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya

Tafsir Al-Isra 11: Dulu, Soekarno Juga Menggugat Adzan, Kini Anaknya Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .  

Wayad’u al-insaanu bialsysyarri du’aa-ahu bialkhayri wakaana al-insaanu ‘ajuulaan (11).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Ayat studi ini mengingatkan, betapa watak dasar manusia itu tak sabaran, maunya segera terwujud apa yang diingikan. "… wakaana al-insaanu ‘ajuulaan". Orang manjadi tidak sabaran atau "al-‘ajul" biasanya dilatarbelakangi beberapa hal, antara lain: Pertama, memang otaknya cingkrang dan pikirannya pendek. Dia tidak mampu berpikir. Kedua, sinyalemen ini bedasar makna dasar dari kata "‘ajul", sangat tergesa-gesa. Hal mana menunjukkan singkatnya waktu dan pendeknya kesempatan untuk melakukan sesuatu.

Dalam al-Qur'an, berpikir panjang dan pendek ini dicontohkan dengan keimanan dan kekafiran. Menyikapi hidup ini, orang kafir hanya berpikir satu kali, yakni yang ada di hadapan matanya sekarang, yang ada di dunia saja. Kehidupan di kemudian hari, di akhirat nanti tidak masuk dalam jangkauan pikiran mereka. Makanya, mereka ingkar dan tidak percaya. Konsekuensinya, perbuatannya hanya berorientasi pada kurikulum dunia saja. Makan enak, bersenang-senang, berkuasa, tidak ibadah dan lain-lain.

Sedangkan orang beriman berpikir dua kali dan ke depan. Justru kehidupan di hari akhir nanti yang menjadi prioritas. Makanya, mereka percaya kepada hari pembalasan nanti. Lalu, amal perbuatannya diproyeksikan untuk Allah SWT, untuk akhirat nanti. Meski berat, tetap mendermakan hartanya untuk agama. Meski malas, tetap saja bangun pagi demi shalat subuh berjamaah. Ya, karena sangat sadar, pahalanya banyak dan akan dinikmati nanti.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Kedua, karena merasa superior. Merasa dirinya orang hebat, ningrat, terhormat yang menurut anggapannya mesti dipatuhi, mesti dimuliakan publik. Rasa superior ini bisa mereduksi nalar futuristik sehingga merasa tidak perlu berpikir panjang atau menimbang-nimbang akibat.

Itulah, maka Allah SWT, setelah membicarakan watak dasar manusia yang buruk ini, pada ayat berikutnya dipapar soal waktu, ada malam dan ada siang. Semuanya sebagai servis bagi manusia agar menggunakan waktu sejenak demi berpikir ke depan sebelum bertindak.

Beberapa waktu lalu sempat ramai soal Sukmawati Soekarno Putri. Anak perempuan proklamator ini membaca puisi yang isinya merendahkan jilbab, kalah dengan konde dan suara adzan yang kalah enak dibanding kidungan, tarian, dan sebangsanya. Atau semakna dengan itu. Walhasil, diktum syari'ah islam dihadap-hadapkan dengan budaya, lalu dinilai sendiri secara sepihak dan diputuskan, bahwa adzan kalah indah dan jilbab lebih buruk. Perspektif tafsir aktual berbicara begini:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Pertama, soal jilbab dan adzan sungguh ada dan tertera dalam al-qur'an sebagai syari'ah islam. Beljilbab bagi wanita muslimah adalah kewajiban. Memang, jilbab berangkat dari budaya, tapi syariah telah memilih dan menetapkan. Maka, dalam agama, jilbab adalah syariah dan bukan budaya lagi. Toh tidak semua budaya dilegitimasi oleh agama. Jadi berjilbab itu murni masalah keimanan. Wanita yang imannya mapan pasti aktif berjilbab atas dasar ibadah dan ketaqwaan. Sementara yang munafik, banyak alasan dan menyepelekan.

Perspektif etik, muslimah yang berjilbab menandakan kecantikan dan keindahan wajah dan tubuhnya adalah amanah Allah yang mesti dijaga. Dengan berjilbab, muslimah tersebut seolah memberi peringatan, bahwa dirinya tidak siap dinikmati laki-laki lain secara haram. Dan itulah ekspresi ketaqwaan.

Tidak sama dengan wanita berpakaian terbuka atau setengah terbuka, termasuk yang berkonde tanpa tutup kepala. Secara kasat mata adalah sajian gratis untuk umum. Semua laki-laki dipersilakan menikmati tampilannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Untuk itu, wanita dengan pakaian terbuka atau setengah terbuka sejatinya telah"melacurkan diri" sebagian tubuhnya dan gratis. Dibanding pelacur, wanita berpakaian setengah terbuka lebih sosial, karena pelacur bertarif dan berbayar. Dibanding pelacur, wanita terbuka terbatas servisnya, sementara pelacur los dan bebas.

Sama sekali tidak sama dengan wanita muslimah bertutup aurat, mereka sama sekali tidak memberi peluang kepada pria lain menikmati keindahan tubuhnya meski sekadar dilihat. Wanita muslimah selalu menjaga amanah Tuhannya dengan mematuhi segala perintah dan menjahui larangan-Nya. Lalu, menurut akal sehat, mana yang bermoral?

Kedua, soal adzan. Adzan adalah panggilan shalat, di mana sang muadzin menyeru umat Islam agar segera menunaikan ibadah shalat dan yang laki-laki diseru segera ke masjid. Adzan tidak harus pakai lagu, tapi suara harus lantang dan disunnahkan enak didengar. Jika dilagukan secara proporsional, maka makin indah dan magis.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Seorang rocker kenamaan Eropa punya studio musik yang letaknya tidak jauh dari masjid yang baru didirikan oleh sebagian umat Islam. Suatu ketika, pas mereka sedang latihan, suara adzan berkumandang dan terdengar sayup-sayup. Sang rocker terkejut sejenak mendengar ada nada aneh, tapi magis dan menyentuh. Tanpa iringan musik, tanpa gamelan dan tarian, suara adzan bisa menembus kalbu.

Makin dihayati, makin terpanggil hatinya untuk datang mendekat ke sumber suara, padahal si rocker sama sekali tidak mengerti artinya. Adzan selesai dan dia tahu, bahwa suara itu dari sebuah masjid. Esok harinya, adzan itu sengaja ditunggu dan didengarkan. Terus dan terus, akhirnya mengerti bahwa lirik adzan itu luar biasa. Tidak ada yang tidak mungkin, bila Allah memberi hidayah, maka berislamlah sang rocker.

Makanya, adzan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan nyanyi, tarian, gamelan karena dimensi berbeda. Hanya telinga taqwa saja yang bisa menikmati alunan adzan. Telinga munafik apalagi kafir pasti berebeken dan terganggu, makanya merendahkan dan membenci.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Sekelas ibu Sukma pasti paham bahwa adzan dan jilbab adalah bagian dari agama Islam, walau beliau tidak tahu syariah Islam. Boleh saja menangis dan meminta maaf, maka maafkanlah. Tapi tidak salah jika ada sebagian umat Islam yang membela kehormatan agama, lalu menyeretnya ke ranah hukum atas tuduhan penistaan agama, seperti dia dulu menuntut Habib Rizieq ke ranah hukum atas tuduhan menghina Pancasila, Soekarno, atau sebangsanya. Padahal itu tesis yang sudah diuji di hadapan guru besar dan sudah disahkan oleh perguruan tinggi yang sah.

Dulu, bapaknya, yakni Soekarno juga pernah menggugat terkait adzan, tapi persoalannya berbeda. Soekarno dulu pernah mempermasalahkan kalimat jawaban adzan bagi orang yang mendengar adzan. Tepatnya pada kalimah nida', "hayya ala al-shalah" dan "hayya 'ala al-falah". Katanya, bukankah lebih tepat dijawab dengan "insya Allah". Hal demikian karena adzan adalah ajakan atau undangan, seperti lazimnya orang yang diundang datang ke tahlilan, rapat, resepsi dll. Bukan dengan hauqalah, "La haula wa la quwwah illa bi Allah al-aliy al-'adhim".

Dari sisi akademik, tawaran Soekarno ini menunjukkan daya nalarnya yang kritis dan kecerdasannya yang prima. Analognya logik dan cantik. Tapi sayang, kecerdasan Soekarno itu kurang diikuti oleh anak-anaknya, sehingga nampak beda jauh.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Soekarno sangat bijak, gugatan itu disampaikan di forum tertutup, di majelis para kiai ketika kumpul bareng, bukan di depan publik dan terbuka. Dia memang sedang dirundung persoalan agama, tapi tetap dewasa dan arif. Bapak proklamator ini menggunakan nada tanya sembari menimba ilmu, bukan sok ningrat dan asal ceplos.

Lalu, seorang kiai menjelaskan, bahwa kalimah hauqalah (La haula wa la quwwah illa bi Allah al-'aliy al-adhim) lebih filosufis, makanya dan lebih santun ketimbang kalimah masyi'ah, "insya Allah".

Hauqalah punya tiga dimensi makna. Pertama, pengakuan atas kelemahan totalitas seorang hamba. Kedua, pengakuan atas kemaha-kuasaan Allah SWT secara mutlak. Dan ketiga, - sekaligus - permohonan limpahan anugerah kemampuan. Inilah tauhid tingkat tinggi dengan kepasrahan mendalam.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Artinya, si hamba sejatinya sudah sangat siap menyambut seruan adzan, tapi semua bergantung kepada pemberian kekuatan dari Tuhan. Meski adzan juga atas nama Dia, maka percuma saja bila kemampuan merespon tidak diberikan. Sedangkan kalimah masyi'ah, meski sama-sama terkait dengan kehendak Tuhan, tapi hanya mencerminkan kesanggupan saja, tanpa pengakuan keterbatasan diri, tanpa pemujian atas keperkasaan-Nya. Allah a'lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO