SURABAYA (bangsaonline)
Dika, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, duduk berhadapan dengan Raisya, mahasiswi perguruan swasta di Surabaya, di food corner, lantai 2 WTC Surabaya.
Baca Juga: Ternyata Tidak Sama! Berikut Perbedaan Smartphone dengan Ponsel yang Harus Kamu Tahu
Kedatangan mereka di WTC adalah untuk upgrade OS smatrphone mereka. Usai urusannya selesai, mereka duduk bersantai di food corner.
Umumnya, sebagai pasangan kekasih, mereka semestinya memanfaatkan waktu bersama mereka untuk bercengkrama. Tetapi, keduanya asyik menunduk, sambil memelototi smartphone masing-masing.
Kadang satu di antara mereka senyum sendiri, karena membaca ‘berita’ lucu di smartphone masing-masing. Dilanjutkan mereka asyik menulis komentar. Hampir setengah jam mereka tak berbicara samasekali.
Baca Juga: Harga Iphone 8 Turun Hingga 1 Jutaan, Smartphone Mungil Ini Layak Digunakan Hingga Tahun 2025?
Lebih parah lagi, terkesan satu keluarga, suami istri dan dua anak, juga duduk di format kursi untuk empat orang. Usai memesan makanan dan minuman, semua asyik dengan smartphone masing-masing. Tanpa komunikasi samasekali.
Sebenarnya, sang ayah atau ibu, kadang menaruh smartphone mereka, sebentar mengobrol, lalu mengambil lagi smartphone. Asyik lagi.
‘Penyakit’ ini sudah mewabah di seluruh lapisan masyarakat. Bahkan di tingkat tertentu, kemungkinan seorang pecandu smartphone perlu bantuan profesional.
Baca Juga: Review Spesifikasi dan Fitur Xiaomi 14 Ultra: Flagship dengan Layar Sangat Mewah dan Berkualitas
Psikiater di Singapura mendorong pihak berwenang urusan kesehatan Singapura untuk secara resmi mengakui bahwa kecanduan internet dan perangkat digital sebagai suatu gangguan jiwa, sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain di seluruh dunia.
Singapura dan Hong Kong merupakan kawasan Asia-Pasifik yang tingkat penetrasi smartphone-nya tertinggi di dunia, demikian menurut laporan perusahaan monitoring media Nielsen tahun 2013.
87 persen dari 5,4 juta penduduk Singapura mempunyai ponsel yang dilengkapi internet dengan kamera. Di Amerika Serikat, ada kekhawatiran yang sama tentang dampak smartphone di masyarakat.
Baca Juga: Gus Iqdam Hadiri Launching OPPO Experience Store di Kediri Town Square
Di Singapura, orang menghabiskan waktu rata-rata 38 menit setiap kali mampir di Facebook, hampir dua kali lebih lama dibandingkan orang Amerika Serikat, demikian menurut sebuah studi oleh Experian, perusahaan jasa informasi global.
Pasien Kecanduan
Adrian Wang, seorang psikiater di Rumah Sakit Gleneagles Medical Centre, mengatakan, kecanduan digital harus diklasifikasikan sebagai gangguan kejiwaan alias 'gila'.
Baca Juga: Penggunaan Smartphone Melesat, Indonesia Perlu Pendidikan Berkualitas
Dia mengatakan telah mengobati seorang siswa laki-laki 18 tahun dengan gejala ekstrim: "Ketika saya melihatnya, ia memiliki rambut panjang tak dicukur-cukur, kurus, dia tidak mandi selama berhari-hari, ia tampak seperti seorang pria tunawisma," kata Wang pada AFP.
Setelah ayahnya mencabut akses internet di rumah, dengan putus asa anak itu mencoba untuk mendapatkan koneksi nirkabel dari tetangga.
Dia akhirnya dirawat di rumah sakit, memakai obat anti-tekanan dan mengikuti banyak konseling, kata Wang. "Kita hanya perlu untuk mematahkan siklus. Ia menjadi lebih baik, ia keluar dari rumah sakit dan saya melihat dia beberapa kali lagi dan dia baik-baik saja."
Baca Juga: Ancamannya UU ITE, Kapolres Gresik: Jangan Menyebarluaskan Berita Hoax
Keinginan dan Kecemasan
Di Singapura, ada dua pusat konseling – National Addictions Management Services and Touch Community Services - dengan program untuk mengatasi kecanduan digital.
Trisha Lin, asisten profesor komunikasi di Nanyang Technological University, mengatakan kaum muda menghadapi risiko yang lebih tinggi karena mereka mengadopsi teknologi baru sebelumnya - tetapi tidak dapat menentukan batas-batas.
Baca Juga: Alasan Mempertahankan iPhone Lama Anda untuk Aktivitas Keseharian
Lin mendefinisikan, kecanduan digital bisa dikenali lewat sejumlah gejala: ketidakmampuan untuk mengontrol keinginan, kecemasan ketika dipisahkan dari smartphone, hilangnya produktivitas dalam studi atau di tempat kerja, dan kebutuhan untuk terus-menerus memeriksa telefon.
Lin memperingatkan bahwa orang tua harus menghindari memberikan anak-anak mereka smartphone atau komputer tablet untuk menjaga agar mereka tenang.
Akhir tahun lalu, sekelompok mahasiswa dari Nanyang Technological University Singapura meluncurkan kampanye untuk mendorong masyarakat agar menempatkan smartphone mereka dalam posisi menghadap ke bawah ketika bersama dengan orang yang dicintai.
Baca Juga: POCO perkenalkan Seri Extreme Experience Terbaru di Mobile World Congress 2022 Barcelona
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News