(4) Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (14: 4)
(5) Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (14: 5)
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
TAFSIR
Bacalah sebaik mungkin terjemahan dua ayat studi ini, bila perlu diulang dan dicermati maksudnya. Hayatilah isi pesannya dan renungkan pula pelajaran apa yang tersembunyi di balik pesan itu. Saat ini musim kampanye presiden, di mana pikiran-pikiran pada sensitif dan cepat emosi.
Tafsir ini punya tanggung jawab akademik untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran yang diambil dari pesan ayat suci. Tapi sadar-sesadarnya terhadap kemungkinan adanya tanggapan sepihak yang menuduh tafsiran ini sebagai kampanye hitam yang menyudutkan salah satu calon presiden dengan memanfaatkan firman Tuhan untuk kepentingan politik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Agar tidak monopoli penulis saja yang mengelaborasi firman Tuhan dan memetik pelajaran dari ayat studi ini, maka akan disajikan poin-poin pesan utuhnya saja, selanjutnya pembaca sendiri yang mesti mengambil hikmah dan pelajaran. Tesis pada dua ayat studi itu antara lain :
Pertama, “wa ma arsalna min rasul illa bi lisan qawmih liyubayyin lahum”. Rasul itu diutus kepada bangsanya sendiri, dengan menggunakan bahasa kaumnya sendiri agar lebih mudah menjelaskan pesan-pesan wahyu dan menunaikan amanat kepemimpina secara optimal. Apa yang bisa kita fahami di balik pesan itu ?
Pertama, bahwa pemimpin itu harus pandai berkomunkasi kepada rakyat, memahami bahasa rakyat, baik bahasa secara verbalistik atau bahasa kondisi, utamanya bahasa kebutuhan sehari-hari (lisan qawmih). Kebutuhan rakyat tersebut bisa ditemukan melalui blusukan langsung ke pasar-pasar, ke gorong-gorong, atau melalui laporan aparat di bawahnya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Yang blusukan itu terpuji dan bercitra, tapi bisa jadi sistem kepemimpinannya stagnan. Sedangkan yang melalui kementrian nampak kurang merakyat dan hanya di belakang meja, tapi menunjukkan sistem kinerjanya lancar. Yang terbagus adalah, sistem kinerjanya lancar dan membuktikan sendiri di lapangan.
Kedua, kata “qaumih” artinya seluruh rakyat, seluruh bangsa, seluruh penjuru negeri. Artinya, pemimpin itu harus punya wawasan nasional, wawasan nusantara, pengalaman menjiwai watak berbagai suku dan bangsa. Bukan pemimpin etnis yang lokal dan kurang pengalaman di luar daerahnya. Itulah cuplikan kecil dari pesan ayat studi nomor 4. Silakan pembaca memahami ayat ini dalam perspektif lain.
Ketiga, dari kriteria rasul (pemimpin) seperti dipapar pada ayat tersebut, ayat berikutnya (5) menampilkan sosok nabi Musa A.S. yang diutus untuk mengentas kaumnya dari kegelapan menuju pencerahan ( min al-dzulumat ila al-nur). Artinya, Tuhan memberikan gambaran sosok pemimpin itu setidaknya kayak nabi Musa A.S.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Rasul yang tidak sekedar sehat jiwa, melainkan juga sehat raga. Tidak sekedar merakyat, tapi juga cerdas, perkasa dan berwibawa, baik di mata bangsa sendiri maupun di mata internasional. Selanjutnya, silakan pembaca mengangan-angan sendiri
Keempat, “wadzakkirhum bi ayyamillah”. Pemimpin yang mampu merefleksikan “ayyamillah”, kasus-kasus masa lampau, baik siksaan atau kenikmatan untuk diambil pelajaran. Pemimpin yang memiliki integritas dan daya gertak (dzakkirhum) yang meyakinkan, sehingga tak dianggap remeh oleh bangsa lain.
Kita sudah pernah menelan pengalaman sangat pahit. Dua pulau kaya minyak raib diambil negeri tetangga sendiri, Malaysia. Bu Presiden tak berkutik dan delegasi Indonesia kalah di pengadilan internasional. Maka dibutuhkan presiden yang tegas dan berani, sehingga tak sejengkalpun tanah negeri ini boleh diganggu dan tak sedikitpun kebijakan negeri ini bisa diintervensi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Siapapun presiden terpilih nanti, dia adalah putra terbaik bangsa yang wajib kita patuhi. Semoga membawa berkah seperti bulan Ramadan yang penuh berkah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News