SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Industri ban vulkanisir merupakan penyerap karet alam terbesar kedua setelah industri ban. Setiap tahun, industri ban vulkanisir menyerap sekitar 90.000 ton karet yang dihasilkan petani.
Terbilang cukup jauh dibanding serapan dari industri ban yang saban tahun menyerap sekitar 220.000 ton karet alam. Tapi dua sektor industri tersebut yang terbesar.
Baca Juga: Sejoli di Wonoayu Sidoarjo Diamankan saat Akan Transaksi Sabu Sistem Ranjau
Menurut Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi, Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Taufik Bawazir, perputaran uang yang dihasilkan dari industri ban vulaknisir mencapai kisaran Rp 12 triliun.
"Artinya, potensi industri di sektor ini sangat bagus. Sehingga pemerintah harus melindunginya, serta mendorong sektor ini agar terus berkembang," kata Taufik Bawazir di sela acara Munas Pervindo (perkumpulan pengusaha vulaknisir Indonesia) di Sidoarjo, Rabu (25/9/2019).
Nah, untuk melindungi dan memperkuat industri vulaknisir, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi. Diantaranya membatasi ban import yang beredar di pasaran Indonesia.
Baca Juga: Direksi dan Karyawan Sekar Laut Sidoarjo Kompak Dukung Khofifah, Disebut Cagub Paling Ngayomi
Ban yang tidak bisa divulkanksir, tidak boleh masuk ke Indonesia. "Pemerintah sudah menerapkan SNI Wajib, semua ban yang beredar di pasaran harus memenuhi itu. Jika tidak, tentu akan diproses sama polisi," tegasnya.
Wajib SNI juga bertujuan untuk menjaga keselamatan pengguna kendaraan. Terus bagaimana dengan ban vulaknisir? Menurut Taufik, khusus vulaknisir sedang digodok ketentuan kualitasnya.
"Diatur dalam GMP (good manufacturing proces) atau cara membuat ban vulaknisir yang baik dan benar," jawab dia. Ketentuannya berbeda, karena vulaknisir dan van pabrikan juga beda.
Baca Juga: Kepergok Pemilik saat Beraksi, Maling Motor di Anggaswangi Sidoarjo Ditangkap Warga, 1 Orang DPO
Menurut Ketua Pervindo Taufik Rochman, kondisi van vulaknisir yang dijual dipasaran itu 80 persen ban baru dari toko. Tapi harganya hanya sekitar separo harga toko atau harga ban baru. "Jika ban baru harganya Rp 1,3 juta, yang vulaknisir sekitar Rp 600 ribu atau Rp 700 ribu saja. Kualitasnya 80 persen ban baru," sebut dia.
Sejauh ini, dari sekitar 700 anggota Pervindo, mayoritas masih memproduksi dengan cara manual. Hanya sekitar 15 persen yang memakai mesin atau peralatan canggih. "Makanya, kami terus mendorong semua anggota di berbagai wilayah di Indonesia agar mulai memanfaatkan teknologi. Selain memudahkan, juga hasilnya lebih bagus," pungkasnya. (cat/ian)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News