JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M, ahli hukum tata negara melihat ada indikasi sponsor di balik tergesa-gesanya para anggota DPR untuk memutuskan RUU KPK menjadi Undang-Undang. “Kelihatan telanjang sekali,” kata Refly Harun dalam wawancara dengan Radio Elshinta, Jumat siang (27/9/2019). Sponsor itu bisa dari kelompok kepentingan, termasuk pebisnis.
Ia menunjukkan indikasi itu, antara lain, RUU KPK tidak masuk prioritas Prolegnas. Tapi para anggota DPR itu memutuskan cepat sekali.
Baca Juga: KPK Periksa Bupati Karna di Polres Bondowoso, Sejumlah Nama ini Turut Masuk Jadwal
Yang menarik, Refly juga menyoroti peran politik Menkumham Yasonna Laoly yang dianggap cenderung berpihak kepada DPR ketimbang mewakili politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam wawancara menjelang pukul 12 siang itu, Refly awalnya mendapat pertanyaan dari pendengar Radio Elshinta. Pendengar bernama Dadi dari Tangerang itu mengaku heran dengan sikap Yasonna Laoly yang condong ke DPR.
“Saya heran, yang namanya Pak Loly (Yasonna Laoly-Red) itu selalu menyatakan Presiden Jokowi tidak akan mengeluarkan Perppu UU KPK. Padahal Perppu itu hak prerogatif presiden,” katanya. “Ini (Yasonna), masyarakat menilai nggak bener ini,” tambahnya.
Baca Juga: Peringatan Harkodia di Pasuruan, Pj Gubernur Jatim Tekankan Pilar Utama Pencegahan Korupsi
Refly mengaku sepakat dengan pernyataan pendengar Radio Elshinta itu. Refly bahkan mengaku khawatir dengan sikap politik Yasonna, yang politikus PDIP itu, tak mewakili kepentingan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi lebih memihak kepada DPR.
Menurut dia, ada dua kemungkinan terjadi pada diri Jokowi dalam menghadapi RUU KPK, terutama terkait posisi Yasonna sebagai pembantu presiden. “Pertama, (Pak Jokowi) diberikan update yang keliru (oleh Yasonna). Kedua, presiden memang terbelenggu,” kata Refly Harun.
Ia lalu memberi contoh soal kemungkinan Jokowi diberi update yang keliru. “Kalau kita baca RUU KPK jelas penindakan itu lemah sekali, tidak akan ada OTT,” katanya. Dalam RUU KPK, kata Refly, untuk melakukan penyadapan, tidak hanya harus izin ke dewan pengawas, tapi izin penyadapan itu baru bisa diberikan setelah gelar perkara. Padahal gelar perkara itu adalah tahap akhir menjelang penyidikan. “Jadi ada colongan (dalam RUU KPK) itu,” katanya.
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
Nah, menurut Refly, tampaknya Presiden Jokowi tak paham tentang RUU KPK itu sehingga sempat menyetujui. “Karena ahli hukum pun tak paham jika tidak baca,” kata Refly.
Karena itu, Refly menyarankan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu UU KPK. “Kalau saya masih menyebutkan RUU KPK, belum UU KPK, karena belum disahkan,” katanya.
Refly juga mengatakan bahwa tidak mungkin KPK hanya fokus kepada pencegahan karena tidak akan efektif memberatas korupsi. Maka ia tak percaya terhadap salah satu pimpinan KPK yang baru terpilih yang mengatakan akan fokus kepada pencegahan. Sebab personel KPK sangat terbatas, sedang wilayah yang harus jadi sasaran pencegahan korupsi meliputi seluruh Indonesia.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadiri Puncak Hakordia 2024
Rafly bahkan menganggap lucu keberadaan RUU KPK tersebut, terutama pasal pencegahan yang menyebut, jika ada pejabat korupsi, maka harus dilaporkan kepada menterinya agar sang menteri menegur dan mencegah, sehingga tak perlu penindakan.
Menurut Refly, sejak awal yang paling getol ingin merevisi UU KPK adalah PDIP. Jadi, inisiator revisi UU KPK itu adalah pimpinan parpol koalisi pendukung Jokowi sendiri.
Kenapa? “Karena KPK ini sangat mengganggu…,” Elshinta langsung mematikan dan mengakhiri wawancara itu. Sehingga suara Rafly tiba-tiba terputus dan tak terdengar.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
Sebelumnya diberitakan, Masinton Pasaribu, politikus PDIP yang anggota Komisi III terang-terangan menyatakan bahwa dirinya menjadi pengusul revisi UU KPK bersama rekannya Risa Mariska dari PDIP, Achmad Baidowi (anggota Komisi II dari Fraksi PPP), Ibnu Multazam (anggota Komisi IV dari Fraksi PKB), Saiful Bahri Ruray (anggota Komisi III dari Fraksi Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (anggota Komisi III dari Fraksi NasDem).
Sebelumnya juga diberitakan bahwa rapat untuk memutuskan RUU KPK itu hanya dihadiri 80 anggota DPR dari jumlah total 560 anggota DPR RI. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News