Oleh: M Cholil Nafis
Saat saya wawancara di TV atau radio banyak pertanyaan tentang hadits yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan jum’atan tiga kali berturut-turut jadi keras hatinya bahkan ada yang menyebut kafir dan wajib bersyahadat kembali. Benarkah?
Baca Juga: MUI Sampang Dukung Polisi Kawal Pilkada Damai dan Kondusif
Saya penasaran pada kesimpulan itu. Lalu saya mencari referensi, kira-kira hadits yang mana ya. Sebatas pencarian saya dalam kitab-kitab hadits maka saya temukan hadits riwayat Abu Daud, no. 1052, Tirmidzi, no. 500 dan Nasai, no. 1369 dari Abi Al-Ja'd r.a. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ)
"Barang siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dengan meremehkannya, maka Allah tutup hatinya."
Baca Juga: Selain Tinjau Gedung UPT RPH, Pj Wali Kota Kediri Serahkan Sertifikat Halal dan NKV RPH-R
من ترك ثلاث جمع متواليات من غير عذر طبع الله على قلبه
"Siapa yang meninggalkan jumatan tiga kali berturut-turut tanpa udzur, Allah akan mengunci mati hatinya." (HR. At-Thayalisi dalam Musnadnya 2548)
Hadits ini shahih. Namun pemaknaan tetap harus sesuai kaidah ilmu ushul fikih kalau ingin memetik hukum (istinbathul ahkam) dari teks hadits ini.
Baca Juga: Gus Nasrul: Banyak Sarjana Muslim yang Belum Paham Salat
Pertama, hadits ini menyebutkan bahwa orang yg meninggalkan jum’atan/ shalat Jum’at tiga kali berturut-turut karena meremehkan. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bukan karena udzur. Artinya orang tak salat Jumat karena udzur dan tidak karena mengabaikan, tidak termasuk dalam kategori hadits ini.
Karena itu, orang yang tak jum’atan itu boleh jadi karena udzur juga bisa karena malas bahkan mungkin tak percaya hukum kewajiban shalat Jum’at.
Ulama fikih merinci hukumnya secara berbeda. Bagi yang karena udzur tentu boleh tak Jum’atan dan diganti dengan shalat dzuhur seperti karena sakit atau ketakutan. Dalam kasus Covid-19 bisa karena keduanya yaitu karena sakit bagi Pasien Dalam Pengawasan(PDP) dan takut menular bagi Orang Dalam Pamantauan (ODP) juga masyarakat yang takut tertular.
Baca Juga: Sinergitas Pendidikan Non-Formal, MUI Kabupaten Pasuruan Gelar Lokakarya
Tak jum’atan karena malas atau meremehkan kewajiban shalat Jum’at, hukumnya haram atau maksiat kepada Allah. Nah, dalam hadits ini ancaman bagi orang yang meninggalkan jum’atan tiga kali berturut2 maka dicap oleh Allah sebagai munafik dan anti kebaikan sehingga tertutup hatinya dari menerima kebaikan. Akhirnya ia cenderung menolak terhadap ajakan kebaikan dan bahkan resah dari seruan baik dari agama.
Jika meninggalkan shalat Jum’at karena inkar/tak percaya pada rukun Islam atau kewajiban jum’atan maka tak perlu sampai tiga kali Jum’atan. Saat itu juga ia telah kufur kepada Allah dan keluar dari Islam.
Nah, fatwa ulama se-dunia yang membolehkan tidak shalat Jum’at dan ditetapkan oleh pemerintah DKI dan daerah merah Covid-19 tidak boleh shalat Jum’at itu bukan krn alasan masjid atau kewajiban shalat yang dilarang tapi untuk menghindari kerumunan banyak orang yang dikhawatirkan jadi arena penularan covid-19 yang membahayakan. Jadi larangan itu bukan shalat jum’atan atau jemaahnya tapi berkerumun banyak orang yang membahayakan.
Baca Juga: Judi Online Jadi Bahasan Ormas Islam di Kabupaten Pasuruan
Dalam prinsip Hukum Islam: “Mencegah dari mafsadah/keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan”. Sebab menurut dugaan kuat (ghalabatuzhzhan) virus itu menyebar kepada orang lain dengan cepat saat orang dalam kerumunan. Makanya shalat jum’at diliburkan dan diganti dengan shalat zhuhur itu saddan lidzdzari’ah (langkah preventif) dari bahaya covid-19.
Allah SWT tetap mencatat pahala jum’atan bagi orang yg sudah biasa shalat Jum’at tapi beberapa kali tidak melakukan karena udzur wabah corona. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Baca Juga: Gus Nasrul Sebut Indonesia Darurat Konten Medsos
“Rasulullah SAW bersabda: ‘Apabila seorang hamba sakit atau bepergian (safar), dicatat (amalannya) seperti apa yang dikerjakannya ketika dia bermukim dan sehat.’” (HR Bukhari)
M. Cholil Nafis, Ph.D adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok Jawa Barat dan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News