Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
85. Wayas-aluunaka ‘ani alrruuhi quli alrruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum mina al’ilmi illaa qaliilaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”
TAFSIR AKTUAL
Kelima, menanggapi pertanyaan "mengapa hari raya 'id al-adha atau 'id al-qurban, pelaksanaannya dibarengkan dengan waktu pelaksanaan ibadah haji?". Dalam hikmah al-tasyri' memang tersirat sekian banyak. Terserah mau ditilik dari sisi apa. Kali ini dikemukakan sisi kaitannya dengan ibadah sosial saja. Kira-kira begini :
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pertama, ibadah haji itu ibadah yang sangat heboh, viral, dan monumental bagi pelakunya. Bisa dibanyangkan, mau berangkat saja sudah diketahui orang banyak. Di negeri ini, kurang belasan tahun dari hari keberangkatan sudah harus ada dalam daftar tunggu. Kurang beberapa bulan harus mondar-mandir ke kecamatan atau ke markas KBIH untuk bimbingan manasik. Ada juga acara selamatan haji menjelang berangkat. Tetangga, bolo, lan konco pasti tahu.
Kedua, persepsi umat, bahwa apa saja yang terkait dengan ibadah haji dianggap suci dan sakral. Makkah disebut dengan tanah suci. Kembali dari ibadah haji diyakini mabrur dengan jiwa yang suci. Pakaian ihramnya berwarna putih suci. Termasuk peci pak haji, juga putih. Walhasil, ada citra tersendiri bagi orang yang usai menunaikan ibadah haji.
Ketiga, show, citra ini berpotensi membawa palaku haji merasa ada di puncak kesucian. Lalu lupa dengan ibadah sosial yang sejatinya punya pahala tersendiri yang tak kalah istimewa dengan haji. Memberi makan orang lapar, menyantuni fakir dan miskin, membantu sesama kala kesusahan memang tidak menguntungkan dari sisi pamor. Ya, karena tidak terlihat seperti haji.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Tapi ingat syariah islam, bahwa daging qurban boleh diberikan kepada nonmuslim. Hal itu sebagai sapaan keberagamaan dalam keberagaman. 'Idul Qurban dan haji bak mata uang yang sisi-sisinya saling melengkapi, ada dimensi teologis yang konek ke atas, dibarengi dengan dimensi sosial yang nyumrambah ke sekitar. Tak bisa salah satunya diabaikan. Pulang haji, kok tetap saja pelit. Ada apa dengan hajinya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News