Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
7. Innaa ja’alnaa maa ‘alaa al-ardhi ziinatan lahaa linabluwahum ayyuhum ahsanu ‘amalaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Rasulullah SAW mengingatkan adanya bahaya besar yang ada di balik zinah ini. "Ketahuilah, dunia itu hijau dan manis sekali. Hati-hatilah". "Hal yang paling aku takutkan atas kalian, ketika Tuhan membuka zahrah al-dunya". Sahabat bertanya: "apa itu?". Nabi menjawab: "barakat al-ardl". Limpahan berkah dari bumi ini yang tercurah ruah.
Pada riwayat lain ada tambahan begini, "barang siapa yang mengambilnya dengan puas dan benar, maka dia diberkahi. Dan barang siapa mengambilnya secara berlebihan, maka selamanya dia tidak akan pernah kenyang".
Hadis riwayat Muslim dari Abi Sa'id al-Khudry di atas, lalu disyarahi sebagai berikut:
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Pertama, bahwa dunia itu bagai kebun rindang dengan aneka buah yang manis rasanya. Siapa ada di dalam akan betah dan terpesona. Buah-buah segar yang ranum membuat selera tergiur dan air ludah mengalir lembut. Dan di situlah seorang mukmin diuji. Maka berbahagialah orang yang dikaruniai harta berlimpah dan mensedekahkan sebagai mana mestinya. Orang kaya itu sesungguhnya sangat berpeluang masuk surga, karena tinggal membeli saja. Tapi, sedikit sekali yang punya kesadaran surgawi macam itu.
Dialah Umar ibn al-Khattab R.A., ketika mendengar paparan Nabi terkait ayat kaji ini, Umar menengadahkan wajah ke langit sembari mengangkat tangan dan berucap: "Ya Tuhan, sesungguhnya kami sama sekali tidak mampu untuk tidak bersuka ria atas hiasan dunia ini. Kami manusia biasa yang punya nafsu dan keinginan. Tapi kami punya Engkau yang Maha Penyayang. Berilah kami kemampuan menunaikan apa yang menjadi hak dunia ini. Berilah kami kemampuan berinfaq dan mensedekahkan sebagaimana yang Engkau kehendaki.
Kedua, bahwa ungkapan Rasulullah SAW tersebut jelas menggambarkan, bahwa beliau sama sekali tidak mengkhawatirkan kemiskinan yang menimpa umatnya. Tetapi yang dikhawatirkan adalah ketika mereka digelontor rezeki berlimpah, hidup serba mewah tanpa kekurangan suatu apa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Maka ada dua tinjauan. Pertama, rasanya umat Muhammad SAW pasti diberi kecukupan oleh Tuhan. Berkah dari langit dan dari bumi selalu siap mengucur jika memang dibutuhkan dan diunduh. Yang ada, mereka hanya butuh tanpa mau mengunduh secara sungguh-sungguh.
Kedua, kekhawatiran Rasulullah SAW terkait hiasan dunia ini urusan keagamaan, keimanan, ketaqwaaan. Jika umat Muhammad SAW diuji dengan kekurangan, kemiskinan, maka Nabi sangat yakin mereka akan tangguh memegangi agamanya. Bahkan beberapa kaum sufi makin berasyik-asyik ketika sedang dalam kekurangan, kelaparan.
Tidak sama ketika umat diuji dengan zahrah al-hayah al-dun-ya, hiasan dunia yang gemerlap dan menggiurkan. Mau apa saja serba bisa dan keturutan. Di sinilah Rasul mulia itu mengkhawatirkan. Semisal sama-sama mampu dan ambisi untuk maju menjadi pimpinan daerah. Sudah bisa dilihat apa yang mereka lakukan. Bersaing dan saling bermusuhan, serta tidak peduli berapa saja biaya yang harus dikeluarkan. Saat serius berebut dunia, sudah pasti rasa keakhiratan terlempar jauh.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Dari sekian varian terkait gemerlap dunia itu, mereka yang selamat dari godaannya disebut sebagai hamba Tuhan yang cerdas dan mengerti. Ya, karena pikirannya jauh ke depan, ke akhirat nanti. Sedangkan mereka yang terbuai dan terperangkap di dalamnya disebut sebagai hamba yang bodoh. Ya, karena pikirannya kerdil dan terbatas pada kehidupan sesaat. Yang lolos itu yang oleh ayat ini digelari sebagai "AHSAN 'AMALA". Apa itu?
Pertama, Ibn Athiyah mengatakan: "Dulu, ayahku pernah berkomentar soal makna ahsan amala ini. Katanya, "Akhdz bi haqq wa infaq bi haqq". Mengambil dunia secara benar dan menginfaqkan secara benar. Didasari keimanan dan diekspresikan dalam menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan. Dia itu suka banget beribadah sunnah".
Kedua, ketika Rasulullah SAW membincang agama, seorang sahabat meminta nasehat: "Ya Rasulallah, nasihatilah kami dengan singkat terkait keislaman, di mana sekiranya dengan nasihat itu kami tidak tanya-tanya lagi hal lainnya". Nabi menjawab: "Qul amantu bi Allah, tsumm istaqim". Berimanlah secara bagus dan istiqamah lah (disiplin) dalam beramal. Jadi, istiqamah itulah amal terbaik. Begitu versi Sufyan ibn Abdillah al-Tsaqafy.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Ketiga, Sufyan al-Tsaury memilih lelaki zuhud sebagai amal terbaik. Zuhud ialah sedikit punya nafsu duniawi, secukupnya. Bukan berpakaian buruk dan murahan, melainkan seperlunya, secukupnya dan tidak berlebihan. Begitu pula soal makanan, secukupnya. Selebihnya dan sebanyak-banyaknya dimasukkan deposito akhirat.
Busr ibn al-Haris menambahkan, orang yang senang dunia itu mesti suka bergumul dengan orang banyak, viral, dan disanjung. Sedangkan orang yang ZUHUD itu tidak suka ngumpul-ngumpul. Apalagi viral dan dipuji. Ungkapan senada diungkap pula oleh para pemuka sufi, seperti Fudail ibn Iyadl, Ibrahim ibn Adham, Ibn Mubarak, dan lain-lain. Yang pamungkas menandaskan, bahwa tanda zuhud itu siap bahkan pingin banget menghadapi kematian. Bak pria yang rindu kekasihnya.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News