BangsaOnline-Makin banyak pendukung Jokowi saat Pemilu Presiden yang prihatin. Setelah Abdee Slank, seniman Jay Subiakto
angkat bicara. "Jokowi itu harus tegas kepada dirinya sendiri, bahwa
saat ini dia itu Presiden (dan) punya legitimasi bilang iya atau tidak,"
kata Jay kepada Tempo, Senin 26 Januari 2015.
Ini keprihatinan Jay yang kesekian. Sebelumnya ia kecewa dengan kinerja Jokowi.
Jay
mengatakan kali ini ia geram melihat perang antara Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan Polri kembali pecah. "Dari dulu sampai
sekarang yang paling bermasalah itu penegak hukum kita. Mereka yang
memiliki kewenangan untuk melindungi justru memanfaatkan kekuasaannya,"
kata Jay kepada Tempo, Senin 26 Januari 2015.
Penata artistik
itu juga menyadari awal kisruh Cicak vs Buaya part 2 ini berawal dari
pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri. "BG itu sudah jelas memiliki
rekening gendut, ngapain dicalonkan," kata Jay.
Tapi, Presiden sepertinya punya cara sendiri, seperti ia tuliskan di akun Facebook
pribadinyapada Ahad, 25 Januari 2015. Ia menulis status dalam kalimat
Jawa Kuno. Bunyinya: "Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti".
Dalam Bahasa Indonesia kalimat itu kira-kira berarti: angkara murka atau
kejahatan sebesar apapun akan kalah atau hancur jika dihadapi dengan
kelembutan dan kasih sayang.
Status
ini muncul di tengah tekanan publik yang berharap Presiden Jokowi mampu
mengambil sikap tegas mengatasi perseteruan antara Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Mabes Polri. Atas sikap lembutnya itu, banyak pihak
menuding Jokowi tidak independen dan tegas.
Konflik
antara kedua lembaga penegak hukum itu sendiri terasa panas. Pematiknya
adalah keinginan Presiden mencalonkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan,
disusul langkah KPK yang menetapkan calon pilihan presiden sebagai
tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi semasa menjadi Kepala Biro
Pengembangan Karir di Polri.
Panasnya perseteruan itu terlihat
dari cara Ketua KPK Abraham Samad dijemput Komandan Paspampres untuk
pertemuan dengan Jokowi di Istana Bogor.
Dari mana kalimat itu berasal? Status yang ditulis oleh Jokowi dalam Facebook-nya tersebut adalah potongan kalimat dalam naskah tembang keraton kuno, Kinanthi. Naskah itu karangan penyair Ronggowarsito atau Rangga Warsita yang lahir pada 1802 dan hidup di Keraton Solo. Seperti yang dilansir blog jejaktapak.com, Kinanthi menceritakan, awal mula munculnya kalimat itu berasal dari cerita kesombongan pewaris takhta raja bernama Pangeran Citrasoma. Karena tahu kekuasaannya dan kesaktiannya yang tiada batas, Citrasoma kerap lupa diri dan takluk oleh nafsu. Diceritakan Citrasoma jatuh cinta kepada wanita cantik bernama Nyai Pamekas. Pun, sang pangeran tidak peduli jika sang tambatan hati sudah memiliki suami bernama Tumenggung Suralathi. Suatu hari, Citrasoma nekat menyelinap masuk ke rumah Nyai Pamekas ketika Suralathi sedang tidak ada di rumah.
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
Kepada Nyai Pamekas, dengan penuh nafsu dan gelap mata, Citrasoma
terang-terangan mengutarakan ingin segera menidurinya. Nyai Pamekas
sadar tidak mungkin dirinya menolak dan melarikan diri melihat kondisi
dan jabatan Pangeran Citrasoma. Melawan pun, dipastikan sia sia. Karena
itu, dirinya memutar otak dengan memberikan syarat kepada Pangeran agar
bisa menidurinya.
Pangeran
Citrasoma diminta Nyai Pamekas untuk menidurkan semua orang agar tidak
ada yang mengetahui tindakan terlarang tersebut. Dengan segera sang
pangeran mengeluarkan ilmu saktinya yang membuat orang segera terlelap.
Citrasoma langsung meminta 'jatah'-nya segera berhasil menidurkan semua
orang. Namun, Nyai Pamekas menolak dan mengatakan bahwa masih ada yang
belum tidur.
Pangeran
Citrasoma tidak mempercayai omongan Nyai Pamekas, dan bertanya siapa
lagi yang belum tertidur. "Gusti Yang Maha Kuasa (Allah)," ujar Nyai
Pamekas. Kalimat singkat tersebut seperti palu godam yang memukul kepala
Citrasoma dan mengembalikan kesadarannya. Sontak pangeran sadar, malu,
dan segera meminta maaf kepada Nyai Pamekas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News