Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
34. wakaana lahu tsamarun faqaala lishaahibihi wahuwa yuhaawiruhu anaa aktsaru minka maalan wa-a’azzu nafaraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
dan dia memiliki kekayaan besar, maka dia berkata kepada kawannya (yang beriman) ketika bercakap-cakap dengan dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat.”
35. wadakhala jannatahu wahuwa zhaalimun linafsihi qaala maa azhunnu an tabiida haadzihi abadaan
Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap merugikan dirinya sendiri (karena angkuh dan kafir); dia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
36. wamaa azhunnu alssaa’ata qaa-imatan wala-in rudidtu ilaa rabbii la-ajidanna khayran minhaa munqalabaan
dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada ini.”
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ayat sebelumnya tentang percontohan sosok dua orang laki-laki, yang satu konglomerat kafir dan yang satu muslim miskin. Mereka sama-sama punya harta melimpah, tapi yang kafir harta makin melimpah dan tidak disedekahkan, sedangkan yang milik muslim menyusut dan habis karena disedekahkan.
Sama-sama senang dan bangga. Si kafir bangga karena kenyataannya, hartanya makin melimpah, sedangkan yang muslim juga sangat senang dengan keadaannya, karena yakin akan kaya raya di akhirat nanti. Jika terjadi olok-olokan, pastilah yang muslim kalah. Karena kebahagiaan akhirat tidak bisa dibuktikan sekarang. Lihat dialog pada ayat kaji ini:
Al-Aswad (kafir) mengolok saudaranya yang muslim (Abdullah), bahwa dirinya lebih kaya dibanding Abdullah. Tidak hanya kaya harta, melainkan kaya keluarga, kaya pengikut, pembantu, dan pekerja. "ana aktsar minka mala wa a'azz nafara" (24).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Tidak hanya itu, al-Aswad menuntun saudaranya memasuki tanah perkebunannya yang luas, subur, dan berbuah melimpah. Di celah-celahnya ada sungai kecil mengalir segar nan bening. Terbayanglah kenyamanan hidup dan nilai aset yang tinggi. Abdullah hanya diam dan sama sekali tidak bergeming terhadap pamer kekayaan itu.
Kebangetan si al-Aswad memuji-muji kekayaannya, hingga berucap bahwa apa yang dimiliki ini akan kekal selamanya. "ma adhunn an tabid hadzih abada". Tidak hanya itu, saking cintanya terhadap harta, hingga mengingkari adanya hari Kiamat. "... wa ma adhunn al-sa'ah qaimah..". Bahkan, andai saja hari kiamat benar-benar terjadi, maka dialah yang mendapat perlakukan istimewa dari Tuhan, "wa la'in rudidtu ila Rabby la'ajidann khaira munqalaba".
Ya begitulah kebiasaan orang-orang kaya, tidak dulu tidak sekarang. Dia lebih bangga kepada hartanya ketimbang pada dirinya sendiri. Baginya, uang adalah "Tuhan". Tidak beda dengan para selebriti negeri ini. Apa yang mereka pamerkan kalau tidak keduniawian, nafsu dan bangga-banggan? Pamer aset, mobil mewah, rumah mewah, tas bermerk, plesiran ke luar negeri, hewan piaraan, dan lain-lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Semua itu tidak ada manfaatnya bagi agama. Orang beriman tidak bisa mengambil manfaat dari tontonan itu. Sedikit saja bersedekah, sudah diacarakan dan dipublis. Siapa pun, jika masih punya pola hidup seperti itu, maka berarti hatinya masih "kafir", meskipun dia sudah lama beragama islam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News