Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
42. wauhiitha bitsamarihi fa-ashbaha yuqallibu kaffayhi ‘alaa maa anfaqa fiihaa wahiya khaawiyatun ‘alaa ‘uruusyihaa wayaquulu yaa laytanii lam usyrik birabbii ahadaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu dia membolak-balikkan kedua telapak tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang telah dia belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur roboh bersama penyangganya (para-para) lalu dia berkata, “Betapa sekiranya dahulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku dengan sesuatu pun.”
43. walam takun lahu fi-atun yanshuruunahu min duuni allaahi wamaa kaana muntashiraan
Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia pun tidak akan dapat membela dirinya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
44. hunaalika alwalaayatu lillaahi alhaqqi huwa khayrun tsawaaban wakhayrun ‘uqbaan
Di sana, pertolongan itu hanya dari Allah Yang Mahabenar. Dialah (pemberi) pahala terbaik dan (pemberi) balasan terbaik.
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ayat studi kemarin menuturkan keadaan si kaya yang terancam hartanya berantakan karena kesombongannya. Kini kutukan itu benar-benar terjadi dan segalanya lenyap, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa. Teman dekatnya yang biasa ngopi dan dugem bareng boro-boro menolong, malah podo minggat dan tidak mendekat. (wa ma kan lah fi'ah yanshurunah..).
Dia hanya bisa membalik telapak tangan (yuqallib kaffaih) tanda kebangkrutan model arab. Wong arab jika kecewa, maka berekspresi dengan membalik tapak tangan. Lalu berkata menyesali diri: "Ya laitany lam usyrik birabby ahada". Andai saja saya tidak musyrik kepada Tuhan, maka saya tidak akan melarat seperti ini.
Arah ayat ini:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Pertama, sebagai tamsilan terkait orang kafir dan orang beriman. Orang kafir hanya berpedoman pada kehidupan nyata saja, di dunia, dan tidak mengimani akhirat. Makanya, mereka mau membayar berapa pun demi kepuasan nafsunya, tapi enggan mendermakan hartanya untuk kebahagiaan akhirat.
Kedua, ayat ini menunjukkan hukum dunia yang berlaku bagi manusia, tanpa membedakan keyakinan yang dianut: muslim atau kafir, taat atau durhaka. Bahwa terhadap sesama manusia berlaku juga hukum konsekuensi, baik berkah maupun kualat.
Orang yang berderma akan mendapat kebajikan, tambah rezeki atau kesehatan, dan orang yang zalim dan merugikan orang lain akan mendapat kutukan atau kesengsaraan. Maka dari perspektif sosial, nonmuslim yang berderma lebih bagus ketimbang muslim yang pelit.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News