SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Hari ini, 14 Februari, 150 tahun lalu – tepatnya 14 Februari 1871, bayi Muhammad Hasyim Asy’ari lahir. Kelak, bayi yang lahir di Desa Keras, Kecamatan Diwek Jombang, dari pasangan KH Asy’ari dan Nyai Halimah itu menjadi ulama besar.
Muhammad Hasyim Asy’ari tidak hanya jadi ulama nasional tapi juga internasional. Ketika masih belajar di Makkah, Muhammad Hasyim Asy’ari sangat dihormati dan disegani karena ketinggian ilmu dan akhlaknya. Bahkan para ulama besar dan internasional kemudian memanggil Muhammad Hasyim Asy’ari dengan panggilan kehormatan: Hadratussyaikh. Sang mahaguru.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Selain dikenal alim allamah, Hadratussyaikh juga popular sebagai tokoh kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan sejak di Makkah. Saat belajar di Makkah, Hadratussyaikh sering melakukan doa bersama di depan Ka’bah bersama para santri dan ulama asal Indonesia. Hadratussyaikh memohon kepada Allah SWT agar Indonesia segera merdeka dari penjajahan.
Hadratussyaikh juga mendirikan pesantren. Pesantren itu ia dirikan di kampung hitam. Penuh pencuri, perampok, penjudi, pezina, dan pemabuk. Namanya Pesatren Tebuireng. Kelak, pesantren ini tidak hanya jadi lembaga pendidikan Islam yang melahirkan para ulama besar (NU dan pesantren), tapi juga jadi markas para pejuang kemerdekaan RI.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Hadratussyaikh kemudian - atas inisiatif KH A Wahab Hasbullah –mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi terbesar abad ini.
Apa yang harus kita teladani dari Hadratussyaikh saat kita mengenang hari lahirnya? Tentu banyak. Apalagi saat krisis keteladanan seperti sekarang. Namun yang paling penting adalah sikap tawaddlu dan akhlak Hadratussyaikh terhadap guru.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Saya ingin mencuplik cerita KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), cucu Hadratussyaikh. Suatu hari, tulis Gus Sholah, Syaikhona KH. M. Kholil bin Abdul Latif Bangkalan mengalami kesedihan yang amat sangat sehingga tidak dapat disembunyikan. Bahkan tampak di wajahnya.
Hadratussyaikh yang saat itu menjadi santri Syaikhona Kholil bertanya, apa gerangan masalah yang membuat sang guru begitu sedih. Tenyata cincin kesayangan Ibu Nyai Syaikhona Kholil jatuh ke dalam WC.
Hadratussyaikh, tanpa ragu-ragu bertindak. Untuk menghilangkan rasa sedih sang guru. Hadratussyaikh mengaduk-aduk tinja atau kotoran manusia dalam WC itu. Hadratussyaikh membersihkan septic tank agar segera menemukan cincin kesayangan Bu Nyai Syaikhona Kholil.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Ternyata upaya Hadratussyaikh berhasi. Hadratussyaikh bisa menghilangkan rasa sedih sang guru. Cincin Bu Nyai Syaikhona Kholil ditemukan kembali.
“Amat sulit mencari santri lain, saat itu, apalagi sekarang, yang bersedia melakukan apa yang beliau lakukan atas nama takdzim terhadap guru,” tulis Gus Sholah dalam pengantar buku Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan yang ditulis Zuhairi Misrawi pada 2010.
Mari kita kirim fatihah kepada Hadratussyaikh.
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
(M Mas’ud Adnan, alumnus Pesantren Tebuireng)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News