MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Maraknya pemberitaan Kiai Asep yang tidak setuju dengan vaksin jenis AstraZeneca, namun sangat mendukung program vaksinasi nasional, mendapat tanggapan dari beberapa pakar.
Salah satunya adalah H. Ainul Yaqin, S.Si., M.Si., Apt. Pakar Farmasi dan LPPOM ini menyampaikan bahwa sebagaimana diketahui, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah menerbitkan fatwa No. 14 tahun 2021 tertanggal 16 Maret 2021 yang isinya menyatakan bahwa vaksin yang diproduksi oleh AstraZeneca hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi (procine trypsin).
Baca Juga: Imam Suyono Terpilih Jadi Ketua KONI Kabupaten Mojokerto Periode 2024-2029
Fatwa MUI pusat itu didasarkan atas hasil audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI pusat terhadap produk vaksin dari AstraZeneca. Temuan audit menunjukkan fakta adanya penggunaan tripsin yang diperoleh dari pankreas babi pada tahapan penyiapan inang virus dan tahap penyiapan bibit vaksin rekombinan (tahap master seed dan working seed).
"Agar tidak salah paham terhadap keputusan fatwa ini, perlu pelurusan pemberitaan media, yang menyebutkan vaksin produk AstraZeneca diharamkan oleh MUI karena mengandung enzim babi," ujarnya.
"Fatwa MUI tidak menyebut demikian, tetapi yang tepat seperti yang tercantum dalam diktum keputusan fatwa sebagaimana di atas, bahwa vaksin diharamkan karena pada tahapan produksinya diketahui terdapat penggunaan tripsin babi (procine trypsin). Pihak Astra-Zeneca sendiri juga menjelaskan bahwa di produk vaksin memang sama sekali tidak ada kandungan babi," sambungnya.
Baca Juga: Doakan Kelancaran Tugas Khofifah-Emil, Kiai Asep Undang Kiai-Kiai dari Berbagai Daerah Jatim
Tak berselang lama tertanggal 22 Maret 2021, Komisi Fatwa MUI Provinsi Jawa Timur juga menerbitkan fatwa -dengan sistematika penulisan agak berbeda- menyatakan bahwa vaksin yang dibuat oleh AstraZeneca hukumnya halal, tidak najis.
Tak kurang dari itu, Ketua MUI Provinsi Jawa Timur KH. Hasan Mutawakkil Alallah menyampaikan, sebagaimana dimuat beberapa media, bahwa vaksin AstraZeneca Halalan Thayyiban. Kesimpulan MUI Jatim ini bertolak belakang dengan keputusan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat di atas.
BACA JUGA: vaksin-jenis-astrazeneca">Dianggap Mengandung Tripsin Babi, Kiai Asep Tolak Vaksin Jenis AstraZeneca
Ainul membeberkan proses produksi vaksin Covid-19 dari AstraZeneca muulai dari penyiapan inang virus. Sel inang yang digunakan berasal dari sel diploid manusia dengan kode HEK 293 (Human Epithelial Kidney Cells) yang didapat dari jaringan ginjal bayi manusia puluhan tahun lalu. Sel tersebut ditumbuhkan pada media Fetal Bovine Serum dengan diberi suplemen asam amino, sumber karbon, bahan tambahan lain, dan antibiotik.
Baca Juga: Kiai Asep Beri Reward Peserta Tryout di Amanatul Ummah, Ada Uang hingga Koran Harian Bangsa
"Pada tahap ini ada penggunaan enzim tripsin yang diperoleh dari pankreas babi yang digunakan untuk memisahkan atau melepaskan sel dari plate-nya. Sel ini dijual oleh Thermo Fisher dengan merk T-Rex-293," bebernya.
Selanjutnya, kata Ainul, sel HEK 293 yang diperoleh dari Thermo Fisher dilakukan perbanyakan di CBF, Oxford UK sesuai kebutuhan. Sel dilepaskan dari pelat menggunakan enzim TrypLETMSelect. Kemudian dilakukan proses pencucian, sentrifugal dan penambahan medium DMEM, dan diinkubasi. "Proses ini dilakukan berulang sampai memperoleh jumlah sel yang diinginkan," jelasnya.
Enzim TryPLEselect yang digunakan adalah enzim yang dibuat dari rekayasa genetika menggunakan jamur yang dibuat secara rekombinan. Di antaranya, sel yang telah diperbanyak ini kemudian disimpan sebagai bank sel master, Penyiapan bibit vaksin rekombinan (Research Virus Seed) hingga siap digunakan untuk produksi (tahap master seed dan working seed).
Baca Juga: Klaim Didukung 37 Cabor, Imam Sunyono Optimis Terpilih Ketua KONI Kabupaten Mojokerto
"Yang menjadi masalah, perbedaan itu mencuat ke publik secara terbuka tanpa penjelasan yang mencukupi, sehingga menimbulkan kebingungan. Lebih-lebih, lembaga yang menerbitkan fatwa berbeda ini, sama-sama MUI, yang satu MUI pusat, satunya lagi MUI Provinsi Jawa Timur. Di era media sosial saat ini, informasi bisa menyebar secara luas, namun demikian bisa menimbulkan paradoks, yakni kebingungan terhadap informasi itu sendiri," ungkap Ainul.
Pada kasus perbedaan fatwa ini, akar masalahnya adalah karena dasar istinbath hukum yang digunakan berbeda. Komisi Fatwa MUI pusat mendasarkan pada larangan intifa’ (pemanfaatan) babi dalam kondisi normal. Komisi Fatwa MUI pusat menyimpulkan, adanya pemanfaatan bagian dari babi (intifa’) dalam proses produksi menjadi dasar keharaman produk yang dibuat. "Dalam hal ini, adanya istihalal selama proses produksi menjadi tidak dilihat, karena intifa’ mendahuluinya," pungkasnya. (ris/ian)
Video Terkait
Baca Juga: Gegara Mitos Politik dan Lawan Petahana, Gus Barra-dr Rizal Sempat Diramal Kalah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News