BangsaOnline - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan ada
keanehan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 mengenai
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikeluarkan Megawati
Soekarnoputri. FITRA mendesak agar Presiden Joko Widodo menyelidiki
Inpres tersebut.
Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto
mengatakan, para obligor BLBI telah dilepas begitu saja oleh Megawati
saat Inpres diterbitkan. Yenny mengharapkan agar kasus para
obligor tersebut dikawal penyelesaiannya.
"Menurut saya ini sebuah
ironi karena Megawati mengeluarkan bagi para obligator yang mencuri
obligasi tapi tiba-tiba mereka dilepas begitu saja," ujar Yenny saat
ditemui di Jakarta, Ahad (1/3).
Yenny mengungkapkan, kejanggalan dalam Inpres mulai terlihat saat para
obligor kelas atas mendapat stempel lunas padahal mereka masih memiliki
kewajiban melunasi uutang ke negara. Dari total dana BLBI sebesar Rp
89,9 triliun, baru sejumlah Rp 27 triliun yang dibayarkan.
Sebagai
catatan, lima obligor yang disebutkan Yenny dan telah menerima Surat
Keterangan Lunas adalah PT Bank Central Asia (BCA), dengan Salim Group
sebagai obligor; PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) dengan Sjamsul
Nursalim sebagai obligor; PT Bank Umum Nasional (BUN) dengan M Hasan
sebagai obligor; Bank Surya dengan Sudwikatmo sebagai obligor; dan Bank
RSI dengan Ibrahim Risjad sebagai obligor.
"Penerbitan Inpres
oleh Megawati memiliki keterkaitan dengan dominasi partai politik dan
elite korporasi. Itu menjadi salah satu alasan kami meminta Jokowi
meninjau kembali Inpres tersebut," kata Yenny.
Selain itu Yenny
pun meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengaudit dana serta nilai aset dari
BLBI.
Yenny menegaskan Jokowi harus memiliki keberanian besar
dalam melakukan peninjauan kembali Inpres tersebut. Jika Jokowi berani
membuat kebijakan pro rakyat maka dia juga harus berani untuk pro
penegakan hukum.
"Perlu keberanian besar Jokowi dan saya yakin Jokowi cukup konsisten," katanya.
BLBI
merupakan skema bantuan dari Bank Indonesia yang diberikan kepada 48
bank bermasalah saat krisis moneter 1997-1998. Total nilainya mencapai
Rp 140 triliun.
Aset bank bermasalah tersebut kemudian diambil
alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal itu dilakukan
lantaran para pemilik bank gagal bayar. Namun dalam perjalanannya,
penjualan aset pemilik bank yang kala itu dimaknai sebagai solusi, hanya
menutupi 26 persen dari total utang.
Surat Keterangan Lunas
(SKL) BLBI diterbitkan BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun
2002 yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada dasarnya,
Inpres tersebut pada intinya memberikan jaminan kepastian pada obligor
yang kooperatif dan sanksi bagi yang tidak kooperatif.
Namun
bukannya menagih utang para obligor, Inpres tersebut malah digunakan
untuk menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk lima obligor.
Baca Juga: Khofifah Kembali Dinobatkan sebagai 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News