Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
71. Fanthalaqaa hattaa idzaa rakibaa fii alssafiinati kharaqahaa qaala akharaqtahaa litughriqa ahlahaa laqad ji'ta syay-an imraan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.
72. Qaala alam aqul innaka lan tastathii’a ma’iya shabraan.
Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
73. Qaala laa tu-aakhidznii bimaa nasiitu walaa turhiqnii min amrii ‘usraan.
Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku.”
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
Keheranan Musa, terhadap tukang perahu komersial yang sudi menyeberangkan Khidir dan rombongan secara cuma-cuma, hal itu karena sesungguhnya Musa benar-benar tidak mengerti bagaimana keyakinan masyarakat sekitar terhadap sosok seorang Khidir.
Khidir diyakini sebagai orang super shalih yang sangat memberi berkah, sehingga setiap orang ingin memberi, ingin dekat dengannya, rela menyerahkan apa yang dia minta. Mereka yakin dengan berderma kepada Khidir pasti akan mendapat imbalan berlimpah dan langsung terbukti, bertambah rezeki, bertambah berkah. Bahkan, rumput kering seketika berubah menjadi hijau bila terinjak kaki Khidir. Luar biasa.
Kisah nyata orang shalih yang memberkahi sekaligus mengkualati sering kita dengar. Salah satunya, KH. Idris Kamali, menantu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Tebuireng. Beliau punya domba banyak sekali, diumbar dan mencari makan seketemunya, termasuk di pasar dan di rumah penduduk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Malahan, kambing itu mengerti jadwal kedatangan kereta api pagi hari yang datang dari arah Jombang menuju Pare dan berhenti di Stasiun Cukir, dekat pasar. Cukir adalah desa dan Tebuireng dusunnya.
Begitu kereta api berhenti, domba-domba itu langsung menaiki gerbong layaknya penumpang biasa. Kondektur sudah mengerti dan diam saja. Sampai di stasiun Pare, domba-domba itu turun dan mencari makan sedapat-dapatnya. Sore hari, mereka sudah ngumpul kembali di stasiun dan ikut kereta balik ke Cukir.
Ada seorang ibu selalu menyediakan makanan apa saja untuk kambing-kambing Kiai Idris. Pengakuannya, al-hamdu lillah, hidup berkejembaran dan ada saja rezeki dari Tuhan yang tak disangka-sangka dan itu sering terjadi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Seorang petani menuntut ganti rugi kepada Kiai Idris, karena tanaman kacangnya habis dimakan kambing-kambing beliau. Dikalkulasi semua dan oleh kiai dibayar lunas. Batin petani, sangat untung, di samping kacang terjual cash, masih banyak tanaman yang tersisa sisa di sawah dan bisa dipanen nanti. Benar, musim panen tiba dan petani itu memanen. Subhanallah, kosong, tidak ada biji kacangnya sama sekali.
Seorang tukang sate mengambil satu ekor kambing beliau yang masih muda. Tentu tidak ketahuan, karena banyak dan liar. Itungannya, bakal dapat uang banyak karena daging kambing muda, gemuk, dan sehat. Pembeli datang dan dilayani. Subhanallah, daging itu tidak bisa matang walau lama dibakar. Tukang sate sowan dan minta maaf.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News