Siapa pun Presidennya, Tanah PTPN Makin Tak Terkelola, Aset Negara Terus Berkurang

Siapa pun Presidennya, Tanah PTPN Makin Tak Terkelola, Aset Negara Terus Berkurang Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Sejarah membuktikan. tak mampu mengelola kebun yang ribuan hektare. Tanah semakin tidak terkelola. Luasannya terus menyusut. Lalu bagaimana solusinya?

Simak tulisan wartawan terkemuka, Dahlan Iskan, di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Jumat 29 Oktober. Atau di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Khusus pembaca di BaBe, sebaiknya klik ‘lihat artikel asli’ di bagian akhir tulisan ini. Tulisan di BaBe banyak yang terpotong sehingga tak lengkap. Selamat membaca:

TEMPULU DPR kita lagi selalu always: serbasetuju, apa saja. Mumpung pula kita lagi punya yang suka bagi-bagi sertifikat tanah.

Maka ide ini kelihatannya bisa menemukan waktunya yang tepat.

Ini ide lama tapi baru satu-dua orang yang sudah saya ajak bicara. Dulu. Delapan tahun lalu. Menjelang saya expired.

Ini juga hasil pemikiran baru dari realitas di lapangan. Bukan teori yang lahir di atas kertas. Bahkan bisa jadi inilah jalan baru setelah bertahun-tahun menekuni jalan yang lama. Yang selalu gagal. Yang kegagalan itu akan terus menumpuk menjadi gunung berapi.

Siapa pun nya –sejak Indonesia Merdeka– hanya terus menambah bara di dalam gunung itu.

Intinya: sudah waktunya menjadi Nike atau Adidas. Yakni bisa menjadi perusahaan sepatu terhebat di dunia – tanpa perlu punya pabrik sepatu.

Waktu itu saya dalam perjalanan dari pabrik gula di Brebes. Akan menuju ke pabrik gula di dekat Semarang. Saya ditemani dirut waktu itu dan stafnya.

Pabrik gula di Brebes itu sekarang sudah menjadi rest area jalan tol yang sangat menarik. Apalagi kalau bisa sebersih rest area di Salatiga –rest area terbaik saat ini. Saya sudah beberapa kali mampir di dua rest area itu. Terakhir Selasa lalu. Rest area Salatigalah juaranya –Ungaran runner-up-nya. Brebes punya potensi mengalahkan semuanya.

Dalam perjalanan itulah saya sampaikan: coba bikin konsep baru menjadi Nike atau Adidas.

Tidak usahlah mengelola kebun yang ribuan hektare. Sudah terbukti tidak mampu. Tanah semakin tidak terkelola. Luasannya terus menyusut. Banyak yang sudah menjadi kampung. Bahkan di Medan sudah ada yang jadi kota.

"Tidak akan ada direksi yang bisa menyelesaikan itu," kata saya. Apalagi di itu sulit diharapkan sukses yang berkelanjutan.

Katakanlah di zaman Eric Thohir ini sukses. Apakah bisa dijamin ganti kelak bisa tetap sukses?

Belum lagi kenyataan ini: Masyarakat di sekitar perkebunan miskinnya bukan main. Lihatlah penduduk yang hidup di sekitar kebun teh di Jawa Barat. Atau penduduk yang hidup di sekitar kebun tembakau di Jember, Jatim. Betapa miskin mereka.

Aset negara terus berkurang.

Penduduk yang menempatinya ilegal seumur hidup –untuk tidak mengatakan hidup dari tanah haram.

Perusahaan negara kian lemah di situ.

Masyarakat sekitarnya miskin sekali.

Manajemen perusahaan lebih sibuk menghadapi masalah daripada membuat kemajuan.

serbakalah.

Itu seperti main sepak bola kalah 0-5. Kalau yang kalah itu MU, mungkin hanya lagi nasibnya saja yang sial. Tapi yang kalah ini sudah diketahui semua orang: pasti akan kalah 0-5. Pun sejak sebelum bermain.

Yang terbayang di otak saya waktu itu: memberi hak garap kepada penduduk sekitar. Setiap orang mendapat 2 hektare. Dipilih yang mau bekerja keras. Yang mau diikat perjanjian hukum dengan .

-lah yang menentukan desain kebun, jenis tanaman, model penggarapan, tata cara pemeliharaan, pemupukan, penanganan panen, dan bagi hasilnya.

menjadi off taker mereka dan memasarkannya.

Kebun itu menjadi ''milik'' puluhan ribu rakyat, dengan supervisi oleh –atau konsultan yang ditunjuk.

Langkah itu bisa dimulai dari perkebunan tebu, teh, karet dan tembakau di Jawa. Atau dimulai dari yang paling ruwet: di Sumut.

Lihat juga video 'Emak-emak di Surabaya Kecewa Tak Bisa Foto Bareng Jokowi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO