Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
74. Fainthalaqaa hattaa idzaa laqiyaa ghulaaman faqatalahu qaala aqatalta nafsan zakiyyatan bighayri nafsin laqad ji'ta syay-an nukraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan
Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”
75. Qaala alam aqul laka innaka lan tastathii’a ma’iya shabraan
Dia berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka
76. Qaala in sa-altuka ‘an syay-in ba’dahaa falaa tushaahibnii qad balaghta min ladunnii ‘udzraan
Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku.”
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Setelah tes pertama di atas perahu dan tidak lulus, Musa menempuh ujian gelombang kedua dan kali ini Khidir menuruni perahu menuju darat. Berjalan santai di pulau itu, berkeliling menyusuri gang dan lorong kampung seperti layaknya wong plesiran.
Khidir melihat banyak anak kecil bermain-main dengan riang dan senda gurau. Khidir menghampiri salah seorang anak yang cukup ganteng dan tiba-tiba dibekuk dan dibunuh, maka matilah bocah itu. “... hatta idza laqiya ghulama faqatalah”.
Perkara tehnik pembunuhannya, beragam pendapat dikemukakan para mufassir. Pertama, dibaringkan dan disembelih kayak menyembelih kambing. Kedua, kepalanya dipukul dengan batu, dan ketiga, kepala anak itu diuntir hingga mati. Ya, sadis sekali.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Melihat kejadian biadab di depan mata, Musa berteriak keras dan kembali memaki-maki Khidir dengan kata-kata lebih tajam lagi. Kejam kamu, biadab, sadis, dsb. Kau membunuh anak yang tidak berdosa. “aqatalta nafsa zakiyyah bi gahir nafs, laqad ji’ta syai’a nukra”.
Untuk mengolok Khidir, pada tragedi sebulumnya pakai kata “imra” dan pada pada tragedi ini mamakai kata “nukra”. Mana yang lebih tajam? Jumhur mufassirin cenderung “nukra” lebih tajam, lebih kasar, lebih menyakitkan ketimbang “imra”.
Tentang tafsiran kata “Ghulam”, anak yang dibunuh, apakah anak kecil atau sudah dewasa? Pada dasarnya, Ghulam itu anak kecil, tapi sering pula dipakai untuk membahasakan remaja, pemuda, atau anak yang sudah dewasa. Begitu ‘urf al-isti’mal dalam tradisi arab.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Bagi mufassir yang memilih Ghulam sebagai remaja atau pemuda, maka tafsiran kalimat “nafsa zakiyyah bi ghair nafs” adalah, bahwa pemuda itu tidak melakukan tindak pidana pembunuhan kepada orang lain sebelumnya. Sedangkan ulama’ yang memilih bahwa “Ghulam” itu anak yang masih kecil, karena anak kecil itu bersih dan tidak punya dosa apa-apa.
Mendengar cacian Musa, nabi Khidir A.S. hanya tersenyum saja, lalu berkata: jauh-jauh sudah saya bilang, bahwa kamu tidak akan mampu bersabar menuntut ilmu bersama saya, dan terbukti. Kini kesempatan kamu tinggal satu kali. Sekali lagi cerewet, maka pergilah dan jangan kemari lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News