SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kedung Pengkol. Dalam arti harfiah, Kedung berarti bagunan. Pengkol berarti pengkolan/belokan. Itulah kawasan yang terletak di Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya. Tergolong unik. Seperti halnya kampung asli lain di Surabaya, Kedung Pengkol bisa digolongkan sebagai kawasan heriatge.
Bahasa Suroboyoan, gampang kita temui. Dalam percakapan warga, misalnya. Jarang ditemui mereka menggunakan bahasa Indonesia, meski bukan berarti tak bisa. Kosa kata; `matamu’, `mbokne ancuk’, `raimu’, kerap terlontar. Meski bukan berarti mengumpat, kosa kata yang terucap oleh lidah Suroboyo seperti itu, terkesan biasa dan mahfum. Bahkan, ada kesan familier dalam konteks guyon.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Oleh-Oleh Legend Khas Surabaya yang Wajib Dibawa Pulang saat Mudik Lebaran
Karakter warganya, juga egaliter. Guyub dan bergotong royong. Saling kenal satu sama lain, hingga garis turunan di atasnya. Mereka menyebut `uwak’ kepada yang lebih sepuh. Wak Dolah (maksudnya Uwak Abdullah), misalnya. Atau, Wak Kaji Patah (maksudnya; Uwak Haji Fatah).
Di Kedung Pengkol gang 2 misalnya. Di sana, ada masjid tua yang semula tak bernama khusus. Warga hanya menyebut Masjid Pengkol. Cukup megah di era 1960-an. Kini, masjid itu kini sudah bernama Al Qurba. Semula, masjid itu berdiri di sebuah lahan luas di tengah pemukiman warga. Ada jam matahari di sana. Ini sebagai penanda datangnya waktu shalat.
Sekitar tahun 1980-an, lahan yang mengelilingi masjid itu berubah menjadi bangunan pondok pesantren. Bangunan masjid pun, termodernisasi. Begitu pun, jam matahari. Juga tergusur dan raib entah ke mana. Sayang, pondok yang sudah berdiri di sana, tak terlihat ada aktivias pesantren seperti biasanya. Hanya bangunan kokoh tak berpenghuni.
Baca Juga: Membangun Kawasan Wisata Kampung Peneleh, Dapur Kebangsaan Indonesia di Surabaya
Di gang 2 itu pula, ada tanah makam. Para leluhur dan sesepuh Kedung Pengkol, dimakamkan di sana. Batu batu nisan berkuran besar dan berbentuk kuno, terjajar rapi dan terawat. Kondisi makam juga bersih, rapi dan terawat saat ini. “Biasa, cak. Resik resik makam. Lha wong emak, bapak, mbah mbah, yo dimakamno nang kene. (Biasa mas, bersih bersih makam. Emak, bapak, juga kakek nenek juga dimakamkan di sini),” ujar Helmi (54), salah satu arek Kedung Pengkol asli. Bahkan, di makam itu juga sering digelar Tawassul.
Tak hanya makam, masjid dan pesantrennya. Banyak rumah warga di sana, masih dipertahankan berarsitek jaman dulu. Tak tersentuh moderenisasi sama sekali. Bahkan, sebagian besar sudah kusam dan rusak. Juga sudah tak perpenghuni. Ke mana mereka? “Wis gak jelas. Gak ono sing ngurusi. Kabeh wis duwe omah dewe dewe, nang njobo. (Sudah gak jelas. Tidak ada lagi yang mengurusi. Mereka sudah punya rumah masing masing di luar Kedung Pengkol,” sahut Gufron, putra alm Wak Sama’, yang juga asli arek Pengkol.
Tak dijualkah rumah rumah dengan kondisi seperti itu? “Sulit,” sambung Gufron lagi. Ada alasan tertentu yang melatari. Konon, orang orang tua di Kedung Pengkol, selalu berpesan kepada anak anaknya. Kelak, jika anak anak itu mampu, dipersilahkan membeli rumah sendiri di luar. Rumah yang ada di sana, hanya boleh ditempati mereka yang belum mampu. Tapi, juga tidak boleh sama sekali dihaki. Apalagi, dijual kepada pihak luar. “Marai kuwalat,” kekeh Hemi.
Diskusi warga soal hak menempati rumah.
Baca Juga: Monumen di Surabaya yang Wajib Dikunjungi Wisatawan
Ini yang kemudian menjadi misteri soal status tanah di Kedung Pengkol. Konon, ada yang menyebut tanah di kasawasan itu hanya berstatus eigendom. Artinya, tanah itu pemberian pemerintah Belanda saat itu. Meski tanah di sana terdaftar dan ber IMB, namun tak banyak yang bersertifikat.
Status hanya menempati rumah turun temurun dan tak boleh menghaki itulah, yang kerap menjadi perselisihan. Mereka mengkalim, orang lain tak berhak menempati rumah itu. Terutama pada turunan tertentu, yang mengklaim, bahwa sebenarnya mereka masih merasa sang cucu dari si A atau si B. Padahal sejatinya jika diurut, mereka sesaudara. Setidaknya jika diurut dari kakek, nenek, atau buyut mereka.
Pemkot Surabaya, sebenarnya bukan tak tanggap masalah seperti itu. Namun akan lebih bermakna, jika KedungPengkol dijadikan wisata Heritage. (bnu)
Baca Juga: Harga Tiket Masuk Monumen Kapal Selam Surabaya Bulan ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News