Oleh: Mohammad Ghofirin, S.Pd., M.Pd --- Kemandirian pesantren menjadi isu srategis saat ini. Berbagai seminar, sarasehan, dan diskusi sering dilakukan untuk membahas konsep dan program kemandirian pesantren.
Berangkat dari pijakan Undang-Undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, saat ini pesantren berfungsi bukan hanya sebagai lembaga pendidikan dan lembaga dakwah, namun juga sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat.
Baca Juga: Pesantren di Lereng Gunung, 624 Santrinya Lolos PTN dan di 11 Perguruan Tinggi AS, Eropa dan Timteng
Pertanyaannya adalah, apakah bisa pesantren memberdayakan masayarakat, sedangkan pesantrennya sendiri belum berdaya? Untuk menjawabnya tentu bukan sekadar berpijak pada teori pemberdayaan semata, namun wajib dikaji secara mendalam, mengingat pesantren memiliki ciri khas tersendiri.
Pemberdayaan ekonomi yang dilakukan harus simultan antara pemberdayaan intern pesantren dan pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantren. Pemberdayaan ekonomi di internal pesantren dapat dilakukan dengan pendekatan kurikuler untuk para santri, pendekatan entitas bisnis untuk lembaga usaha di pesantren, dan pendekatan kemitraan dengan alumni pesantren.
Jika pemberdayaan di internal berhasil, maka selanjutnya pesantren dapat mengembangkan ke masyarakat sekitar sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat.
Baca Juga: Peringati Hari Santri Nasional, Sekretaris OPOP Dinobatkan Jadi Tokoh Penggerak Ekonomi Pesantren
Pesantren memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan internalnya berupa biaya sarana prasarana, biaya operasional, biaya santri, kesejahteraan, dan biaya pengembangan pondok pesantren. Biaya-biaya tersebut dipenuhi dari SPP santri, dana zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf, hibah pemerintah dan donasi, serta dari hasil usaha/bisnis yang dijalankan pesantren melalui koperasi pondok pesantren dan badan usaha milik pesantren.
Semakin tidak bergantung kepada orang/lembaga lain, maka pesantren dikatakan semakin mandiri. Dari berbagai kebutuhan dan sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi pesantren tersebut, pesantren diharapkan semakin memperbesar usaha/bisnis yang dijalankannya. Sehingga hasil dari usaha tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional pesantren.
Secara nasional, terdapat lima tingkatan existing bisnis di pondok pesantren.
Baca Juga: Rakor Pengembangan OPOP, Khofifah Bagikan 3 Semangat Majukan Ekonomi Pesantren
Pertama, startup business (bisnis rintisan). Pesantren yang termasuk kelompok ini menjalankan usahanya kurang 2 tahun dan skala bisnis mikro (kekayaan bersih 50 juta, omzet paling banyak 300 juta). Pesantren kelompok ini sebesar 22,5% secara nasional.
Kedua, unorganized business (bisnis belum terorganisir dan belum dikelola dengan baik). Pesantren yang termasuk kelompok ini menjalankan usahanya antara 2-3 tahun. Usaha yang dijalankan belum mampu memberikan kontribusi ke pesantren, dan skala bisnis kecil (kekayaan bersih 50-500 juta, omzet paling banyak 300 juta – 2,5 miliar). Pesantren kelompok ini sebesar 39,5% secara nasional.
Ketiga, survive and stable business (bisnis stabil dan dapat bertahan). Pesantren yang termasuk kelompok ini menjalankan usahanya antara 4-5 tahun. Usaha yang dijalankan mampu memberikan kontribusi ke pesantren antara 10-25%, dan skala bisnis menengah (kekayaan bersih 500 juta – 10 miliar, omzet paling banyak 2,5 miliar – 10 miliar). Pesantren kelompok ini sebesar 25,6% secara nasional.
Baca Juga: Tren Santri Belajar di Luar Negeri, Sekarang Peluang Makin Besar dan Tak Terbatas
Keempat, growing and developing business (bisnis tumbuh dan berkembang). Pesantren yang termasuk kelompok ini menjalankan usahanya lebih dari 5 tahun. Usaha yang dijalankan mampu memberikan kontribusi ke pesantren sebesar 25% ke atas, dan skala bisnis atas (kekayaan bersih lebih dari 10 miliar, omzet tahunan 50 miliar ke atas). Pesantren kelompok ini sebesar 9,8% secara nasional.
Kelima, capable and independently (bisnis mampu memandirikan pondok pesantren). Usaha yang dijalankan pesantren yang termasuk kelompok ini mampu membiayai seluruh operasional pondok pesantren dan gratis semua fasilitas, meskipun pesantren tetap menerima sumbangan yang bersifat sukarela. Pesantren kelompok ini sebesar 2,6% secara nasional.
Penulis adalah Sekjen OPOP (One Pesantren One Product) dan dosen Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA).
Baca Juga: Bertemu Kepala Perwakilan BI, Khofifah Ucap Terima Kasih atas Dukungan Pembangunan Ekonomi Jatim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News