Nasib Terigu seperti Pemikul Salib, Harga Indomie Terus Naik, RI Impor Gandum dari Ukraina

Nasib Terigu seperti Pemikul Salib, Harga Indomie Terus Naik, RI Impor Gandum dari Ukraina Dahlan Iskan di area persawahan Amerika Serikat yang ditanami gandum. Foto: ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Harga mie, roti dan makanan lain yang bahan bakunya terus merangkak naik. Ironisnya, Indonesia tak bisa menanam . Negara kita justru impor dari Ukraina yang sekarang lagi perang. Tapi benarkah jadi bencana nasional? Apa hubungannya dengan pemikul salib?

Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com pagi ini, Kamis 24 Maret 2022. Selamat membaca:

Baca Juga: Amerika Bentuk Mujahidin, Putin pun Tunjuk Si Rambut Putih Komandan Perang

APA sih maunya Rusia ini? Kok lama banget tidak menyelesaikan serangannya ke Ukraina. Harga di Indonesia sudah begini tingginya. Juga harga elpiji. Dan banyak lainnya.

Apa juga sih maunya Ukraina ini? Kok begitu-begitu terus. Ini, harga batu bara sudah tak tertahankan.

Dan apa sih maunya NATO itu? Seperti membiarkan keadaan digantung tidak menentu.

Baca Juga: Ciptakan Perang agar Senjata Laris? Simak Kisah Wartawan AS Top Ini

Sampai-sampai saya baca berita di kantor berita asing, Al Jazeera, kemarin dulu: orang Medan kini lebih sulit mencari Indomie di toko-toko. Diceritakan di situ: satu orang Medan sangat fanatik Indomie. Ia begitu mengeluhkan kelangkaan Indomie. Harga Indomie yang biasanya Rp 2.300-Rp 2.500 kini menjadi Rp 2.700 - Rp 2.800. Ia tahu: sulitnya mendapat Indomie itu akibat perang di Ukraina.

Saya pun bertanya ke beberapa sumber yang dekat dengan . Ternyata Indonesia memang impor sangat besar dari Ukraina: 3 juta ton. Setahun. Itu angka tahun 2020.

Anehnya dari negara lain juga terpengaruh. Misalnya yang dari Australia. Ikut terganggu. "Kami kian sulit mendapat dari Australia," ujar pengusaha di Makassar. "Masih bisa dapat sih, tapi harganya naik drastis," katanyi. "Naik sampai 50 persen," tambahnyi.

Baca Juga: Cara Sehat Makan Mie Instan

Kenaikan harga itu membuat pengusaha mie dan roti di persimpangan jalan. Sebagian berani menaikkan harga jual. Sebagian lagi pilih mengurangi produksi. Hanya sedikit yang berani menurunkan kualitas: dengan cara mengganti bahan baku dengan yang lebih murah.

Dengan kenaikan " rel="tag">harga sampai 50 persen, tidak mungkin tidak menaikkan harga jual. Pada akhirnya. Kecuali perang segera selesai. Terigu kembali normal.

Faktor harga sangat sensitif bagi produk seperti Indomie.

Baca Juga: Heboh Indomie Rasa Ayam Picu Kanker, Ini kata Pakar Farmasi UGM

Bisa saja, awalnya, produsen akan memilih menurunkan produksi. Tanpa menaikkan harga. Sekadar untuk mengurangi kerugian. Sekalian untuk merencanakan pembentukan harga baru. Sambil lihat-lihat apa yang dilakukan pesaing.

Di tahap inilah persaingan antar produk menjadi sangat seru. Kini saatnya mereka adu cerdik strategi marketing. Agar kerugian bisa ditekan, tapi pangsa pasar tidak dimakan pesaing.

Tentu dengan perang Ukraina yang seperti slow motion ini, menahan harga tidak akan bisa bertahan lama. Pada akhirnya adalah: laba. Memang harga Indomie, sampai kemarin, masih Rp 2.900/bungkus. Tapi harga itu bisa bertahan berapa lama lagi? Untuk apa laris tapi rugi? Untuk apa kian laris produknya kian besar kerugiannya?

Baca Juga: Finlandia akan Resmi Bergabung Jadi Anggota NATO Ke-31 Besok

Maka menaikkan harga, pada akhirnya tidak bisa dihindari. Apalagi bagi produsen roti. Yang harga gula pun ikutan naik. Dan harga elpiji tidak mau ketinggalan. Akhirnya konsumen juga yang jadi pemikul beban terakhir semua itu: bukan hanya Volodymyr Zelenskyy dan apalagi Vladimir Putin.

Terigu ini bagi Indonesia adalah bencana nasional jangka panjang. Bahkan seumur hidup.

Problem jangka panjang impor BBM bisa diatasi dengan mobil listrik. Kalau mau. Masih ada jalan. Kalau bisa. Tapi persoalan jangka panjang akan seperti pemikul salib: seumur hidup.

Baca Juga: Presiden Tiongkok Jinping Kunjungi Rusia saat Putin Diputuskan sebagai Penjahat Perang

Konsumsi nasional terus naik. Kenyataannya begitu. Rasa mie pun kian diperbanyak. Sampai pun ke rasa laksa dan rendang. Bahkan rasa soto.

Konsumsi tidak bakalan bisa turun. Generasi baru kian beralih ke mie dan roti. Padahal kita tidak pernah bisa menanam . Kita negara tropis. Gandum tidak bisa tumbuh baik di Indonesia.

Dari logika itu terlihat ketahanan pangan kita paling rawan. Gandum adalah supremasi negara Barat. Tidak mungkin Barat melahirkan hasil penelitian bidang pengganti .

Baca Juga: Rusia Diprediksi akan Tingkatkan Eskalasi Perang Terhadap Ukraina Pada 24 Februari 2023

Eropa sepakat: krisis minyak akibat perang Ukraina harus jadi momentum penentu. Perang ini harus jadi pemaksa agar Eropa beralih ke green energy.

Mereka tidak punya problem . Biar pun sedang perang mereka tetap bisa menanam . Sedang kita, perangnya di sana, sakitnya di sini. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Baca Juga: Dana Bantuan Perang Ukraina Dikorupsi, Wartawan Gigih Membongkar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO