Pemkab Dituding Tak Peka, Peneliti Lingkungan Sebut Bojonegoro Sedang Krisis Iklim

Pemkab Dituding Tak Peka, Peneliti Lingkungan Sebut Bojonegoro Sedang Krisis Iklim Korban banjir di Desa Sobontoro, Kecamatan Balen, Sabtu (26/11/2022) kemarin

BOJONEGORO, BANGSAONLINE.com - Penggiat Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) , Abdul Wahid Syaiful Huda menilai, dampak perubahan iklim atau krisis iklim sudah banyak dirasakan oleh warga .

Hal itu, dirasakan oleh warga saat musim kemarau, setiap tahun suhu udara di naik, sehingga semakin terasa panas. Banyak titik sumber air tanah mengalami penurunan debit air, bahkan, banyak titik sumber mata air mengering.

Baca Juga: Deklarasi Relasi Jamur, Ketua Dekopinwil: Jangan Sampai Jatim Dipimpin Selain Khofifah

"Suhu udara yang terus meningkat ini, berpotensi menyebabkan masalah kesehatan. Tidak hanya manusia tapi juga bagi ekosistem yang lain," katanya saat ditemui BANGSAONLINE.com, Senin, (28/11/2022).

Begitu pula saat musim hujan tiba, lanjutnya, cuaca ekstrim dan intensitas hujan tinggi, apalagi ditopang kawasan resapan air yang semakin minim. Hal ini menyebabkan, banjir bandang dan tanah longsor di beberapa wilayah meningkat.

"Pada November ini saja tercatat sudah ada puluhan desa diterjang banjir bandang, dan Minggu kemarin seribuan lebih rumah warga tergenang banjir di Kecamatan Balen. Banyak tanaman pertanian yang terendam, diantaranya, ada yang harus dipanen dini," tegasnya.

Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Masjid Darussalam Trucuk Bojonegoro, Khofifah Bahas soal Perdamaian Gaza

Ia menjelaskan, hujan deras juga menyebabkan wilayah perkotaan tergenang banjir. Bahkan, dalam bulan November ini, seputaran perkotaan sudah tergenang banjir air hujan lebih dari 3 kali. Jika ruas jalan sering tergenang, tentu saja dapat menurunkan kualitas jalan, seperti berlobang dan lainnya.

Wahid menyebut, dampak cuaca ekstrem akibat krisis iklim paling nyata dirasakan petani dan buruh tani. Krisis iklim berikut cuaca ekstrem termasuk menyebabkan serangan hama dan penyakit tanaman meningkat. Banjir bandang yang cukup sering terjadi, lama kelamaan juga bisa mengikis lapisan atas tanah yang mengandung unsur hara, dikarenakan ikut terbawa arus air.

Krisis iklim juga dinilai menyebabkan peralihan musim jadi tidak menentu, sehingga para petani mengalami kesulitan menentukan waktu tanam dan juga pilihan jenis komoditas pertanian yang akan ditanam. Misal, pada Juni 2021, kurang lebih 450 hektar tanaman tembakau di 5 (lima) kecamatan di Kabupaten , mati terendam air hujan. Hujan deras ini, terjadi kala musim kemarau, fenomena yang jarang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga: Berangkatkan Jalan Sehat Hari Koperasi di Bojonegoro, Khofifah: Penggerak Ekonomi Kerakyatan

Peristiwa serupa juga terjadi di awal September 2022 kemarin, kurang lebih 60 hektar tanaman tembakau milik petani Desa Banjaran dan Desa Sraturejo, Kabupaten , mengalami gagal panen setelah sebelumnya diguyur hujan lebat.

"Sementara kita tahu, anggaran untuk pertanian hanya sekitar 2 persen dari APBD. Mengingat pertanian merupakan lokomotif perekonomian basis masyarakat , tingkat kemiskinan daerah juga mayoritas di sektor pertanian, dan juga para petani dan buruh tani yang paling rentan terdampak krisis iklim dan bencana ekologi, maka anggaran segitu saya rasa sangat kecil, harus dinaikkan," jelas Wahid.

Meskipun dampak krisis iklim di sudah nyata di depan mata, menurutnya, perhatian para pemangku kebijakan di daerah, selama ini masih sangat minim. Penilaian ini, didasarkan pada, diantaranya, kebijakan perencanaan dan anggaran pembangunan di yang belum memiliki perspektif ramah lingkungan.

Baca Juga: Baru Sebulan Musim Kemarau, Satu Desa di Bojonegoro Sudah Terdampak Kekeringan

Anggaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk lingkungan, hanya Rp50,9 miliar atau sekitar 0.9 persen dari total belanja daerah. Ini menurun jika dibanding tahun 2021, yang mencapai Rp142,3 miliar atau sekitar 2,3 persen. Belum lagi, dari total anggaran fungsi lingkungan hidup ini banyak yang terserap untuk alokasi belanja pegawai, kegiatan-kegiatan koordinasi, sementara alokasi anggaran yang langsung bersentuhan dengan upaya pelestarian lingkungan ataupun recovery (pemulihan) kawasan lindung terkadang justru minim.

Kabupaten juga dinilai belum memiliki kebijakan ataupun rencana aksi pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK). Padahal, jika mengacu Perpres 98/2021, ada mandat kepada Pemerintah Kabupaten untuk menyusun rencana aksi adaptasi perubahan iklim di daerah.

Dengan melihat berbagai persoalan yang berkaitan dengan ancaman krisis iklim dan bencana ekologi, sebagaimana dijelaskan di atas, dia menyebutkan, berdasarkan diskusi-diskusi yang dilakukan para pegiat Lingkar Studi Ekologi dan Energi Terbarukan (SuKET) , diharapkan Pemkab memberikan perhatian serius terkait ancaman krisis iklim dan bencana ekologi.

Baca Juga: Ratusan Jemaah MCA Bojonegoro Gelar Salat Iduladha dan Sembelih Hewan Kurban Hari ini

Terlebih lagi di merupakan daerah penghasil migas terbesar di Indonesia. Pendapatan daerah (APBD) mayoritas dari pendapatan migas. Oleh sebab itu, Pemda harus memiliki rasa tanggung jawab atas rantai karbon yang dihasilkan dari migas yang diambil dari ‘Kota Ledre’ ini. Meskipun 'fosil oil’ (bahan bakar minyak) tersebut tidak dibakar di , tetapi setiap tetes bahan bakar minyak yang berasal dari yang dibakar di luar sana terdapat jejak emisi karbon dari daerah ini.

" harusnya menjadi kabupaten pelopor dalam pengendalian emisi gas rumah kaca, diantaranya dibuktikan dengan ikut mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sebagaimana sudah ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, 2021," pungkasnya.(nur/sis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Perahu Penyeberangan Tenggelam di Bengawan Solo, Belasan Warga Dilaporkan Hilang':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO