KOTA KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar, memberi kuliah umum bertajuk 'Upaya Pesantren Dalam Mencegah Intoleransi, Terorisme, Radikalisme dan Ideologi Transnasional di Indonesia' di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kota Kediri, Selasa (29/11/2022).
Berbicara dihadapan para Masyayikh dan mahasantri di Aula Muktamar NU Ponpes Lirboyo, Boy mengatakan bahwa saat ini sudah berkembang virus yang berbahaya selain Covid-19, yakni intoleransi.
Baca Juga: Jaring Atlet untuk Porprov, Pordasi Kediri Gelar Kejurprov Berkuda di Lapangan Desa Wates
"Nah, sekarang virus intoleransi, radikal terorisme juga mulai berkembang. Mindset warga negara (terutama) anak-anak muda dicoba dipengaruhi agar kita menjadi bangsa yang intoleran yaitu sikap abai atau rasa ketidakpedulian terhadap eksistensi orang lain," ujarnya.
Padahal, kata Boy, bangsa Indonesia ini dilahirkan menjadi bangsa yang bertoleransi karena sudah jelas ideologi negaranya yaitu Pancasila, sudah jelas keberagaman dalam beragama tidak ada masalah, sudah jelas perbedaan suku bangsa yang sampai 1300, tapi kita tetap kompak bersatu.
"Karena kita sudah diajarkan bahwa intoleransi yang dikembangkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu adalah intoleransi yang bersifat transnasional, maka kita harus hati-hati," tuturnya.
Baca Juga: Buka Rakerda Kejati Jatim 2024 di Kediri, Kajati: Pentingnya Penegakan Hukum Humanis dan Profesional
Oleh karena itu, ia mengajak jangan sampai dasar berpikir bangsa Indonesia yang sudah bagus kemudian harus terpengaruh dengan pola pikir yang intoleransi itu. Karena dengan berpikir intoleransi pada akhirnya dia akan naik tingkat menjadi radikal teror.
Menurut dia, radikal ini adalah konotasi radikal yang jelek. Jadi kalau orang ingin mencapai sesuatu boleh membunuh, boleh menyakiti orang lain berarti ini sesuatu yang berbahaya tidak boleh dibiarkan.
"Paham yang bermuatan permusuhan secara eksplisit mengizinkan penggunaan kekerasan yang dilandaskan cara berpikir yang intoleran, cara berpikir yang tidak bisa menerima perbedaan di dalam negara kita. Maka harus dicegah sejak dini," paparnya.
Baca Juga: Gandeng Peradi, Fakultas Hukum Uniska Adakan Ujian Profesi Advokat
Ia menyebut, masalah radikalisme yang menjurus ke terorisme ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, lanjut Boy, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
"Bapak Presiden Jokowi pernah menyampaikan satu tahun lalu, bahwa terorisme adalah musuh negara, sehingga beliau mengajak semua anggota masyarakat untuk bersama-sama memerangi terorisme, memerangi radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai agama nilai-nilai luhur kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan,"ujarnya. (uji/mar)
Baca Juga: Uniska dan ID Consulting Jepang Teken MoU Strategis untuk Penyerapan Tenaga Kerja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News