MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto, Jawa Timur, mengaku prihatin terhadap keberadaan media berbasis Islam dan NU, terutama media dari pesantren yang masih terpinggirkan.
“(Media) kita masih ada di pinggiran. Untung ada HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE,” kata Kiai Asep Saifuddin Chalim di depan sekitar 500 santri yang tergabung dalam Media Pondok Jawa Timur (MPJ) di Masjid Kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC), Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu (24/12/2022).
Baca Juga: Imam Suyono Terpilih Jadi Ketua KONI Kabupaten Mojokerto Periode 2024-2029
Meski demikian, Kiai Asep mengaku optimistis, setelah menyaksikan keseriusan para pengurus dan aggota MPJ. “Saya optimis melihat wajah-wajah kalian,” kata Kiai Asep saat memberikan sambutan di depan mereka.
MPJ adalah organisasi para santri yang aktif di media. Organisasi ini berdiri sekitar tiga tahun lalu. Namun perkembangannya sangat pesat. Mereka aktif menggelar event. Salah satunya adalah MPJ Festival 2022 di Kampus IKHAC yang menggelar dialog media.
Anggota MPJ juga terus bertambah. Bahkan kini menjangkau 400 pondok pesantren seluruh Jawa Timur.
Baca Juga: Doakan Kelancaran Tugas Khofifah-Emil, Kiai Asep Undang Kiai-Kiai dari Berbagai Daerah Jatim
Kiai Asep mengaku optimis karena situasinya berbeda dibanding ketika dirinya masih menjadi santri yang miskin. Menurut dia, kini para santri banyak akses.
“Sekarang banyak beasiswa,” kata Kiai Asep yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).
“Kalau saya dulu mau kuliah saja harus jadi kuli bangunan dulu,” tambah Kiai Asep.
Baca Juga: Kiai Asep Beri Reward Peserta Tryout di Amanatul Ummah, Ada Uang hingga Koran Harian Bangsa
Tapi ia tak pernah pesimis. Kiai Asep mengutip Surat Al Hud ayat 6: Wa min dabbatin fil-ardhi illa ‘alallahi rizquha wa ya’lamu mustaqoroha wa mustawda’aha kullu fi kitabin mubin. Artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia (Allah) mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfuz).”
Karena itu Kiai Asep berharap para santri punya cita-cita besar seperti dirinya. “Harus punya cita-cita kuat, tak boleh putus dan tahan banting,” kata Kiai Asep.
Kiai Asep juga berharap para santri bisa mendirikan media yang representatif. Selain itu, Kiai Asep juga berharap para santri menjadi tokoh ulama besar yang bisa menerangi dunia, pemimpin nasional yang mampu menegakkan keadilan dan kesejahteraan, konglomerat besar dan professional yang bertanggungjawab.
Baca Juga: Kedudukan Pers Sangat Tinggi dalam Undang-Undang, Wartawan Harus jaga Marwah Pers
bangsaonline.com/images/uploads/berita/59258fc2bbaa1464869b1c2fefda20ec.jpg">
(Para santri peserta MPJ Fest 2022 yang digelar Media Pondok Jawa Timur (MPJ) di Masjid Kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC), Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu (24/12/2022). Foto: mma)
Kiai D Zawawi Imron yang tampil berbicara kali pertama menekankan pentingnya santri – termasuk seniman atau sastrawan santri - berakhlaqul karimah. Menurut dia, para santri harus hormat dan ta’zim pada guru dan kiainya. Sebab, kata Zawawi Imron, akan ada konsekuensi logis, jika santri berani dan benci pada guru, dosen apa lagi pada kiainya.
Baca Juga: Klaim Didukung 37 Cabor, Imam Sunyono Optimis Terpilih Ketua KONI Kabupaten Mojokerto
Pertama, akan lupa pada ilmunya. Bahkan lebih berbahaya lagi, yaitu ilmunya tak bermafaat. “Untuk apa punya ilmu kalau tak bermanfaat,” kata penyair yang pernah mendapat penghargaan sebagai sastrawan terbaik se-Asia itu.
Kedua, omongannya tidak akan dihargai orang, meski omongannya bagus. Bahkan walau cara bicaranya lebih bagus dari Soekarno sekalipun. “Tapi kalau dia berani pada gurunya, ia tak akan pernah direken oleh orang,” katanya.
“Soekarno itu sangat hormat pada gurunya, pada ibunya. Pada gurunya HOS Tjokroaminoto, cucunya Kiai Hasan Besari Tegalrejo Ponorogo yang masih famili dengan Nyai Kiai Haji Hasyim Asy’ari, ” katanya.
Baca Juga: Gegara Mitos Politik dan Lawan Petahana, Gus Barra-dr Rizal Sempat Diramal Kalah
Ketiga, matinya suul khotimah. “Naudzubillahi mindzalik,” kata Zawawi Imron.
Ia tak setuju dengan istilah guru pahlawan tanpa tanda jasa. “Guru dan kiai adalah pahlawan yang harus kita beri tanda jasa,” tegasnya.
bangsaonline.com/images/uploads/berita/2a6ea1e56d643a0492ee9351e047a4f0.jpg">
Baca Juga: Raih 53,4 Persen di Pilbup Mojokerto 2024, Pasangan Mubarok Kalahkan Petahana
(KH DZawawi Imron (duduk) dalam acara MPJ Fest 2022 yang digelar Media Pondok Jawa Timur (MPJ) di Masjid Kampus Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC), Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu (24/12/2022). Foto: mma)
Menurut dia, sastrawan dan pengarang buku juga guru kita. “Kalau anda baca buku Pak Mas’ud Adnan, anda telah berguru pada Pak Mas’ud Adnan. Jadi sastrawan, pengarang buku, harus kita beri tanda jasa, apalagi kiai, ulama, Rasulullah,” tegasnya.
Apa tanda jasa yang paling tinggi untuk guru? “Satu saja, tapi lebih tinggi dari tumpukan emas se tinggi gunung semeru. Yaitu satu surat al-Fatihah,” katanya sembari menegaskan bahwa hati seorang santri harus lembut dan bersih.
Baca Juga: Warga Jatim Berjubel Hadiri Kampanye Terakhir Khofifah-Emil, Kiai Asep: Menang 70%
Menjawab pertanyaan peserta, Kiai Zawawi Imron juga menjelaskan tentang cara berpakaian seniman. Menurut dia, seniman - terutama santri - harus berpakaian sopan sebagai mana umumnya santri.
"Saya sejak dulu berpakaian seperti ini. Saya tak pernah pakai celana bolong-bolong," katanya.
Ia mengakui ada seniman yang mengenakan pakaian nyentrik dan tak lasim. Tapi, menurut Kiai Zawawi Imron, sebaiknya seniman santri mengenakan pakaian yang sopan seperti layaknya santri.
Sementara M Mas’ud Adnan membenarkan apa yang disampaikan Kiai Asep. Menurut dia, media pesantren atau tradisi penulisan di pesantren sangat fatal karena mengalami kevakuman cukup lama. Padahal ulama-ulama kita seperti Al-Ghazali, As Syafii, Imam Nawawi, Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari dan ulama besar lainya punya tradisi menulis sangat kuat da produktif.
"Kita tak bisa membayangkan seandainya para ulama itu tak punya tradisi menulis. Kita tak akan punya literasi atau khasanah intelektual. Lalu apa yang akan dikaji oleh para kiaidan santri di pesantren. Apa bedanya dengan kelompok lain yang hanya mengkaji al Quran dan Hadits tanpa punya kekayaan intelektual," kata Mas'ud Adnan.
Mas'ud juga menggambarkan sejarah perkembangan intelektual NU. Ia mengutip pernyataan Indonesianis Benedict Anderson. "Anderson pernah menyatakan bahwa sampai tahun 1975 belum ada karya ilmiah tentang NU," kata Mas'ud Adnan. Sarjana Barat tak tertarik dengan NU karena dianggap terbelakang dan kolot.
Pada tahun 1953 Ketua PBNU KH A Wahid Hasyim, tutur Mas'ud Adnan, juga pernah menyatakan bahwa mencari orang NU lulusan universitas sama dengan mencari penjual jam 1 malam.
"Karena saat itu kita tak punya penulis," kata Mas'ud Adnan. Saat itu yang dominan adalah tulisan Deliar Noer, politsi berhaluan Masyumi yang juga menjadi penulis. "Deliar Noer selalu menulis secara pejoratif tentang NU," katanya. NU digambarkan kolot, terbelakangan dan tak menarik.
Tapi pada tahun 1980-an muncul Gus Dur yang kemudian mengubah paradigma secara mendasar dan luas tentang pesantren dan kiai. "Saat itu Gus Dur banyak menulis tentang pesantren dan kiai yang digambarkan sangat arif," kata Mas'ud Adnan.
Gus Dur bahkan kemudian jadi ikon nasional karena kualitas pemikiran dan ketokohannya. Bahkan, kata Mas'ud, panggilan Gus menjadi populer berkat ketokohan Gus Dur. "Sebelumnya jangankan panggilan Gus, jadi kader NU saja banyak yang tak mau, terutama saat Orde Baru," kata alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair itu.
bangsaonline.com/images/uploads/berita/4541039462d5bc0e06ec4b04396b9556.jpg">
(M Mas'ud Adnan. Foto: MPJ)
Sejak era Gus Dur itulah banyak kader NU menjadi penulis, baik penulis buku maupun media massa, disamping booming intelektual NU. Banyak kader NU jadi doktor dan profesor. NU pun jadi perhatian internasional yang menarik minat untuk dikaji oleh para doktor dan profesor Barat.
Karena itu Mas'ud Adnan sangat mengapresiasi acara yang digelar oleh PMJ.
"Ini sangat cerdas dan saya apresiasi. Ini menjadi obsesi saya sejak lama," katanya.
Mas'ud yang tampil bicara terakhir juga mengingatkan agar kita jangan sampai punya ketergantungan 100 persen kepada digital. “Digital itu adalah produk teknologi. Memang kita harus manfaatkan digital sebaik-baiknya sebagai instrumen. Tapi jangan sampai kita punya ketergantungan 100 persen,” kata Mas'ud Adnan.
Kenapa? “Sangat bahaya,” katanya. Ia mencontohkan Babe, perusahaan agregator dari China. Babe sempat populer di Indonesia karena bisa memperluas berita-berita dari media online di Indonesia. Tapi sejak 15 Oktober 2022 Babe pamit meninggalkan Indonesia.
Begitu juga Google dan Yahoo. Merurut dia, bisa saja suatu saat Google dan Yahoo bubar. “Padahal kita sudah terlanjur ada ketergantungan pada Google dan Yahoo karena dokumen dan arsip kita ada di Google dan Yahoo,” katanya.
Karena itu, tegas Mas’ud Adnan, kita harus punya media alternatif, termasuk media fisik seperti majalah, buku dan surat kabar yang terbit dengan kertas. Sehingga kita tak punya ketergantungan pada media digital yang dikendalikan dunia Barat dan China.
Mas'ud Adnan mengakhiri paparannya dengan mengutip pernyataan Sayid Qutub, Imam Syafii dan Al Ghazali. "Sayid Qutub menyatakan bahwa satu peluru hanya bisa menembus satu kepala. Tapi satu tulisan bisa menembus ribuan kepala bahkan jutaan kepala," katanya.
Imam Syafii juga menyatakan. "Tangan saya akan hancur di dalam tanah. Tapi tulisan saya akan abadi dalam kitab," tegasnya.
Al Ghazali juga menyatakan. "Jika kalian bukan anak raja atau presiden. Jika kalian bukan anak ulama besar, maka jadilan penulis. Karena dengan menulis kamu akan punya pengaruh dan bermanfaat bagi manusia," katanya. (mma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News