Oleh: M Mas’ud Adnan --- Sampai kini calon presiden (Capres) yang muncul ke permukaan belum meyakinkan publik. Padahal mereka sudah habis-habisan tebar pesona, terutama lewat media sosial (medsos). Bahkan ada seorang kepala daerah justru lebih sibuk memainkan medsos ketimbang fokus pada tugas kerjanya sebagai abdi negara.
Hasil survei memang sudah bertebaran, baik yang serius maupun yang abal-abal. Tapi rakyat tetap saja tak percaya. Kenapa? Jawabannya sangat sederhana. Karena mereka tak punya prestasi menonjol, baik dari segi visi atau pemikiran maupun dari segi kinerja sebagai pejabat publik.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Bahkan rakyat meyakini bahwa visi dan orientasi politik mereka tak jelas. Figur-figur Capres itu bahkan ditengarahi tak mampu mandiri dan berdaulat sehingga berpotensi menjadi boneka negara lain, terutama Amerika Serikat (AS) dan China.
Meski demikian, ada tokoh partai yang selama ini terindikasi korupsi malah sangat confiden. Ia tiap hari sibuk tebar pesona mencari dukungan sebagai calon presiden atau wakil presiden. Padahal ketika digertak KPK pasti nyalinya langsung ciut.
Saya tak habis pikir. Bukankah realitas politik ini menghina akal sehat kita. Tapi faktanya masih ada saja tokoh – bahkan kiai - hanyut memberi dukungan secara terbuka. Baik lewat rekaman video maupun tertulis.
Baca Juga: Pergunu Sebut 42.0 % Korban Pinjol Berprofesi Guru, Kiai Asep: Jangan Boros, Jangan Pelit
Mereka lugu secara politik?
Ini memang ironis. Rakyat Indonesia yang sekarang (2023) berjumlah 273, 52 juta jiwa mengalami krisis pemimpin nasional. Berarti para pemimpin negeri ini selama ini gagal menyiapkan regenerasi. Ini terpaksa harus saya kakatan. Apa boleh buat. Faktanya, mereka selama ini sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sehingga tak sempat – bahkan tak peduli – menyiapkan kader pemimpin masa depan.
INTERVENSI AMERIKA DAN CHINA
Baca Juga: Habib Pasuruan yang Rendahkan Putra Pendiri NU Dianggap Merasa Tersaingi Kiai NU dan Tak Berakhlak
Dalam sejarah pemilihan presiden Indonesia, Amerika dan China selalu intervensi. Maklum, Indonesia negara besar dengan kekayaan alam melimpah. Dua negara itulah yang selama ini menyedot kekayaan alam bangsa Indonesia, diakui atau tidak. Kasus menyedihkan Freeport dan Nikel adalah contoh tak terbantah. Dan mereka akan terus berusaha mengangkangi Indonesia. Lewat presiden yang bisa diajak kerjasa sama.
KH A Hasyim Muzadi, almaghfurlah, pernah mngungkap pengalamannya sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2004. Ketua Umum PBNU dua periode itu mengaku diajak bertemu agen negara asing.
“Dia mau memenangkan saya. Tapi saya diminta menandatangani dokumen atau MoU perjanjian,” kata Kiai Hasyim Muzadi kepada saya.
Baca Juga: Habib Pasuruan yang Rendahkan Putra Pendiri NU Dianggap Merasa Tersaingi Kiai NU dan Tak Berakhlak
Mau memenangkan? Berarti sudah punya cara dan pasti menang? “Ya, kan negara dia bisa mengatur pemilu atau capres,” kata Kiai Hasyim Muzadi.
Kiai Hasyim pun membaca poin-poin MoU yang disodorkan agen negara asing itu.
Sepakat? “Saya tak sanggup. Syaratnya terlalu berat bagi saya,” kata Kiai Hasyim Muzadi kemudian sembari mengatakan bahwa syarat itu sangat merugikan bangsa Indonesia, baik dari segi kedaulatan, politik maupun ekonomi.
Baca Juga: Tragedi Sosial, Tak Bisa Belikan iPhone, Seorang Ayah Berlutut Minta Maaf pada Putrinya
Pendiri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Depok Jawa Barat itu pun pasrah. Ia akhirnya kalah. Tapi ia tak punya beban dan dosa kepada bangsa Indonesia.
REALITAS POLITIK CAPRES 2024
Sekarang muncul beberapa figur calon presiden. Dari segi jejaring politik, akses, kelompok dan latar belakang partainya, rakyat sudah paham siapa capres yang berorientasi ke Amerika dan China. Meski saya tahu juga ada Capres yang independent dan tegar menjaga kedaulatan bangsa Indonesia.
Baca Juga: Sekolah Islam Integrasi Hira Malaysia Kunjungi Amanatul Ummah, Kiai Asep Doakan dengan Khusu'
Tapi ini realitas politik yang sulit dihindari. Siapa pun Capresnya pasti akan menghadapi dua pilihan berat itu: membungkuk pada China atau Amerika. Tinggal kecerdasan dan independensi politik Capres masing-masing.
Memang, tak ada negara berdaulat dan independen 100 persen di dunia ini. Apalagi dalam era digital seperti sekarang. Meminjam istilah Marshall McLuhan, dunia sekarang sudah menjadi global village (desa global). Ini teori komunikasi lawas tapi tetap relelvan. Jadi, berkat teknologi komunikasi semua gampang terjangkau, betapun jaraknya sangat jauh. Bahkan membidik negara cukup lewat remote.
Alhasil, ketergantungan kepada negara lain pasti ada. Maklum, kita hidup dalam dunia global yang saling membutuhkan, disamping saling membantu.
Baca Juga: WNA asal China Tewas, Usai Terpeleset ke Jurang Kawah Ijen Banyuwangi
Karena itu tinggal jiwa nasionalisme presiden terpilih yang bisa menentukan. Apakah akan menjadi pemimpin tangguh dan cerdas bersanding sebagai mitra politik yang wajar dan seimbang atau justru mengobral kedaulatan sebagai boneka negara lain.
Selain itu tentu juga harus melihat tren kerjasama China dan Amerika. Selama ini China banyak menggelontorkan dana ke berbagai negara, terutama ke negara-negara Asia Tenggara. Dana itu, terutama untuk pembangunan infrastrutur lewat proyek-proyek yang mereka namakan Belt and Road Initiative (BRI).
Berbeda dengan Amerika, hutang yang diberikan China selalu dengan syarat menyuplai tenaga kerja dari negara China. Bahkan termasuk tenaga kerja kasar yang dikemas sebagai tenaga ahli. Ini tentu sangat rawan bagi masa depan Indonesia. Apalagi banyak kasus, sebagian mereka lalu menyelinap dan menetap di Indonesia. Konsekuensinya, menimbulkan konflik. Termasuk kasus tawuran antara tenaga kerja China dan warga negara Indonesia yang selalu ditutup-tutupi oleh oknum pemerintah.
Baca Juga: Wakil Ketua Golkar Jatim: Semua Presiden dan Calon Presiden Ingin Bertemu Kiai Asep
Amerika juga sama. Yang memproduksi penjahat perang dunia selama ini adalah Amerika. Negara inilah yang menciptakan penjahat-penjahat ekstrem dan radikal yang bertebaran di berbagai negara. Termasuk yang memporakporandakan negara-negara di Timur Tengah.
Bukankah Amerika telah mengakui bahwa mereka yang membentuk ISIS dan sejenisnya itu? Nah.
Jadi Capres pro Amerika atau pro China sama tak menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Apalagi dari segi ideologi. China jelas-jelas komunis yang tak percaya Tuhan sehingga menghalalkan segala cara.
Sementara Amerika identik Yahudi imprealis yang kesohor sebagai penjahat perang brutal tak kenal prikemanusiaan. Alhasil, dari sisi ideologi, baik Amerika maupun China sama merugikan negara kita yang berdasarkan Pancasila.
Karena itu, sekali lagi, perlu presiden yang kokoh pendirian dan tangguh berbasis nasionalisme, sehingga mampu mengimbangi manuver China dan Amerika, meski tetap kerjasama dengan mereka.
Siapa? Wallahua’lam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News