Menunda Pemilu Bertentangan dengan UUD 45 dan Ciptakan Kekacauan, PN Jaksel Tak Punya Kompetensi

Menunda Pemilu Bertentangan dengan UUD 45 dan Ciptakan Kekacauan, PN Jaksel Tak Punya Kompetensi Ilustrasi. Foto: hukumonline.com

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Respon terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda pemilu 2024 langsung gegap gempita. Banyak sekali komentar terhadap putusan kontroversial PN Jakpus yang dianggap tak punya kompetensi. Bahkan PN Jakpus dianggap berlebihan dan bertentangan dengan UUD 45.

Prof Dr Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menegaskan bahwa pengadilan negeri tak punya kompetensi untuk menunda pemilu.

Baca Juga: Luhut di Balik Penundaan Pemilu: Jokowi Bakal Melawan Mega?

"Tidak bisa pengadilan negeri, tidak punya kompetensi untuk menunda pemilu. Putusan-putusan yang di luar yuridiksi seperti ini, adalah putusan yang tak punya dasar, dan karenanya tidak bisa dilaksanakan," tegas Prof Denny kepada para wartawan, Kamis (2/3/2023).

Menurur dia, penundaan pemilu bisa dilakukan apabila situasi kondisi tak memungkinkan, seperti terjadinya perang atau bencana alam.

"Itu pun harus dengan dasar yang kuat buktinya, tak bisa dengan putusan-putusan yang tidak punya yurisdiksi atau kompetensi semacam ini," katanya.

Baca Juga: Selesaikan Krisis Minyak Goreng dan Tahu Tempe, Jangan Buat Lelucon Politik Menunda Pemilu

Atas dasar itu, Denny menilai, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut harus ditolak. "Putusan ini harus ditolak, dan harusnya dari awal tidak dikeluarkan," tegasnya lagi.

Pendapat senada disampaikan Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI). Ia bahkan menilai PN Jakpus berlebihan.

“Putusan itu melebihi batas kewenangan pengadilan,” kata dikutip Jawapos.

Baca Juga: Hakim Agung: Pemilukada Langsung Melanggar UUD 45

Menurut dia, substansi putusan PN Jakarta Pusat itu bertentangan dengan UUD 1946. Selain itu juga bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait dengan pasal yang mengatur bahwa Pemilu harus 5 tahun sekali dan pasal terkait dengan masa jabatan Presiden yang 5 tahun.

Jeirry menegaskan, jika KPU mengikuti putusan tersebut akan mengacaukan tahapan Pemilu yang sudah berjalan. Karena itu, tegas dia, tepat jika KPU akan melakukan banding.

Menurut Jeirry, jika KPU melanggar proses administrasi dalam hasil verifikasi Partai Prima, semestinya hanya hak dari Partai Prima dalam tahapan verifikasi yang dipulihkan. Atau KPU yang dijatuhkan sanksi.

"Tidak tepat jika masalahnya ada di tahapan verifikasi, tapi semua tahapan harus ditunda. Bisa repot kita jika banyak putusan seperti ini. Disamping tak ada kepastian hukum, juga bisa jadi ruang politik untuk menciptakan ketidakstabilan demokrasi,” kata Jeirry.

Seperti diberitakan, hari ini, Kamis (2/3/2023), PN Jakpus minta KPU menunda tahapan Pemilu 2024. PN Jakpus mengabulkan seluruh gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima).

"Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," bunyi amar putusan tersebut.

Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu diadili oleh ketua majelis hakim T. Oyong dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban. Putusan dibacakan pada Kamis (2/3).

Pengadilan menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. KPU diminta membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada Partai Prima.

"Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat [KPU] sebesar Rp410 ribu," tegas hakim

Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Sebab, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.

Padahal, setelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.

Partai Prima menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.

Kini KPUmenyatakan menempuh upaya hukum yaitu banding. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO