JAKARTA(BangsaOnline)Pemilu kepala daerah oleh rakyat
secara langsung sejatinya melanggar Undang Undang Dasar 1945.
Hal itu disampaikan oleh Hakim Agung, Profesor Abdul Gani Abdullah SH, MH.
Ditemui dalam acara diskusi publik di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Abdul
Gani menyatakan bahwa secara filosofis, UUD mengatur agar Pemilihan Kepala
Daerah dilakukan oleh sistem perwakilan karena perbedaan yang ada di
masing-masing daerah Indonesia.
"Karena tiap daerah beda, maka itulah pembuat UUD mengaturnya dengan
sistem perwakilan. Kalau sekarang dipaksakan jadi langsung ya ubah dulu
UUD-nya, karena kan dalam UUD jelas diatur begitu," ujarnya.
Abdul Gani menilai, lolosnya penggunaan sistem pemilukada langsung seperti yang
sekarang dipraktikkan di Indonesia tidak lain merupakan akibat euforia
demokrasi di era reformasi.
"Makanya sekarang bisa kecolongan digunakan sistem ini semata-mata adalah
karena euforia demokrasi. Waktu itu demokrasi belum terarah, jadi dibuat saja
peraturan tanpa melihat pembukaan UUD," sambungnya.
Walau begitu, lanjut Abdul Gani, Pilkada lewat DPRD diperlukan untuk
mengembalikan Indonesia pada konstitusi awal.
"Jadi ini bukan kemunduran tapi justru meletakkan demokrasi sesuai dengan
Konstitusi, begitu saja," tandasnya.
Baca Juga: Mengingat Kembali Deklarasi Ciganjur, Pentingnya Menjaga Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat
Sebelumnya, Ketua Ketua Majelis Pertimbangan Partai DPP PAN, Amien Rais, menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menghindarkan adanya politik uang saat proses Pilkada.
Bahkan, Amien mengaku menyesal atas kenyakinannya terdahulu, yang percaya bahwa Pilkada secara langsung dipilih rakyat dapat memberantas tindakan kecurangan, seperti halnya politik uang untuk membeli suara rakyat.
"Jadi saya termasuk yang yakin sekali bahwa pemilihan langsung, politik uang bisa diatasi karena tidak mungkin puluhan atau ratusan juta lebih masyarakat dimainkan dengan uang. Tapi ternyata saya keliru," kata Amien di rumah Akbar Tandjung, jakarta Selatan, Rabu (10/9/2014) malam.
Baca Juga: [Hoaks] - Presiden Jokowi Undang Ketua Umum Partai Politik ke Istana
Amien pun, melihat proses pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang berlangsung beberap waktu lalu, sangat kental dengan politik uang guna mecapai tujuannya sebagai pemenang. "Pilpres pun politik uang berbicara sangat lantang," cetusnya.
Seperti diketahui, RUU Pilkada saat ini masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di dalam RUU Pilkada tersebut, agar kepala daerah tidak dilaksanakan secara langsung, tetapi dipilih melalui DPRD.
Partai Nasdem memandang pembahasan RUU Pilkada terlalu
dipaksakan untuk diselesaikan DPR RI periode 2009-2014 yang akan habis masa
jabatannya.
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, yang dulu menyerukan penghapusan Pilkada
langsung, kini putar haluan. Dia berpendapat, pengesahan RUU Pilkada jangan
dilakukan secara terburu-terburu atau dipaksakan.
"Kita perlu duduk bersama, merenungkan serta mengevaluasi kembali apakah
proses Pilkada selama ini sudah berjalan seperti yang diharapkan atau belum.
Jika semua itu telah dilakukan maka pengesahan RUU akan membawa perubahan
positif," ujar Surya dalam siaran persnya, Jumat (12/9).
Dengan melakukan perenungan dan evaluasi, sambung Surya, setidaknya ada data
yang bisa dipersandingkan dan diujicoba.
"Kalau belum ada maka kita sedang meraba. Dan dalam kondisi ini sebaiknya
kita mengelaborasinya lebih jauh. Kalau dipaksakan tentu akan menjadi polemik
berkepanjangan, yang bakal menguras energi dan waktu kita sebagai bangsa,"
terang Surya.
Pendiri Ormas dan Partai Nasdem ini mengimbau agar DPR saat ini tidak
memaksakan kelahiran RUU Pilkada.
"Sikap Nasdem menyayangkan kalau saja ini dipaksakan kelahirannya,"
tandas Surya Paloh.
Pernyataan Paloh ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakannya soal
Pilkada langsung pada tahun lalu (2013). Menurutnya, Indonesia memerlukan
terobosan baru dalam memperbaiki sistem kebangsaan dan kenegaraan, termasuk
mengevaluasi kembali proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung
oleh masyarakat.
"Nasdem mendukung penghapusan Pilkada dan mengembalikannya ke tangan DPRD.
Terlalu banyak waktu, energi, dan biaya yang terbuang tanpa adanya hasil yang
optimal dari penyelenggaraan Pilkada" tambah dia.
Menurut Paloh, kepala-kepala daerah yang dipilih rakyat secara langsung tidak
serta-merta membuktikan kualitas dan integritas orang yang terpilih. Hal itu
terbukti dengan begitu banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus. korupsi dan
pelanggaran hukum lainnya. Data Kemendagri menyebutkan, hingga Juli 2013
sebanyak 298 kepala daerah yang terdiri dari gubernur, bupati, maupun walikota
tersangkut kasus korupsi.
Pernyataan Paloh pada Oktober tahun lalu itu terkait penangkapan atas Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Baca Juga: Sempat Ditolak, Sardjono Cerita Peliknya Perjuangan Daftarkan Partai Ummat di KPU RI
Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta Pangi Syarwi Chaniago mengkritisi wacana pengembalian sistem pemilukada melalui perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Pemilukada langsung memperkuat partisipasi politik, pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD mematikan partisipasi politik. Ini yang menjadi alasan pemilukada langsung tetap dipertahankan. Pemilukada langsung memperkuat legitimasi kepala daerah,” tegas Ipang, panggilannya, senin (8/9).
Namun, dikembalikannya pemilihan gubernur kepada DPRD tidak akan menyelesaikan masalah. Ia melihat, justru nilai demokrasi di daerah menjadi mundur.
Baca Juga: Optimistis Raih Kursi, Ketua Partai Ummat Jatim: Melawan Keadzaliman, Menegakkan Keadilan
Apabila mahalnya biaya pemilu dan timbulnya motif untuk melakukan korupsi menjadi argumen dasar, apakah dengan dipilihnya gubernur oleh DPRD mampu menghemat biaya pemilu?
Sebaliknya, Ipang menilik, dengan pemilihan gubernur diserahkan kepada DPRD, peluang permainan politik uang dan transaksi politik tetap terbuka lebar.
Argumen tersebut diperkuat dengan bukti ketika rezim Orde Baru berkuasa,
politik uang berlangsung di tataran DPRD. Ipang menyarankan jalan tengah. Untuk
menghemat biaya politik pemilihan langsung dapat dilakukan melalui pemilihan
secara serentak, baik pemilihan presiden maupun gubernur, wali kota, dan
bupati.
“Konflik horizontal di masyarakat saat pertama kali pemilihan kepala daerah
dilangsungkan memang terjadi. Namun, kini skala maupun kualitas konflik
tersebut kian menurun, hanya ada beberapa daerah yang pemilukadanya terjadi
konflik dari ratusan kabupaten,” tegasnya.
Baca Juga: Keniscayaan Deklarasi Anies-Muhaimin, Surya Paloh: Selamat Tinggal Cebong dan Kampret
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News