Oleh: M Mas’ud Adnan --- Beberapa tahun terakhir ini banyak sekali politisi atau aktivis politik yang minta dipanggil Gus, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi atau terselubung. Bahkan pimpinan partai yang semula sudah populer dipanggil Cak tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi Gus.
Ini fenomena menarik. Baik secara politik maupun antropologi dan budaya. Betapa tidak. Panggilan Gus yang semula hanya populer di lingkungan pesantren kini membahana di tingkat nasional.
Baca Juga: Puisi Prof Dr 'Abd Al Haris: Pimpin dengan Singkat, Gus Dur Presiden Penuh Berkat
Gus adalah produk budaya original pesantren. Panggilan kehormatan pada putra kiai pesantren. Atau dzurriyah (keturunan dan trah) kiai. Baik anak, cucu, cicit, dan seterusnya.
Tentu juga menguasai ilmu agama. Atau paling tidak, paham tentang ilmu agama. Tapi – sekali lagi - ia berasal dari keluarga kiai atau pesantren. Faktanya, meski seseorang pandai agama, jika bukan bukan dzuriyah atau keturunan kiai, biasanya cukup dipanggil ustadz (guru).
Jadi, sejatinya, panggilan Gus itu natural, alami. Panggilan itu murni datang dari masyarakat. Bukan dibuat-buat atau direkayasa seperti sekarang.
Baca Juga: Hadiri Haul Ke-15 di Ciganjur, Khofifah Kenang Sosok Gus Dur Sebagai Pejuang Kemanusiaan
Dalam tradisi pesantren, Gus berada satu tingkat di bawah kiai. Namun suatu saat status Gus bisa naik menjadi seorang kiai. Hanya saja butuh proses panjang. Sekali lagi, tergantung pengakuan masyarakat atau umat.
Nah, jika status Gus berada satu tingkat di bawah kiai, lalu kiai itu siapa? Secara sederhana, kiai adalah sosok alim, penuh riyadhah, banyak tirakat, terjaga secara akhlak, dan mengajar ilmu – terutama ilmu agama - kepada para santrinya di pondok pesantren.
Jadi seorang kiai harus memiliki pesantren. Atau mengasuh pesantren. Dengan demikian, tugas kiai sangat berat. Apalagi harus banyak riyadlah dan menjaga akhlak. Karena itu Gus Dur secara kelakar mengaku lebih suka dipanggil Gus ketimbang Kiai.
Baca Juga: Tak Ada Data, Keluarga Kiai Besari Minta Gus Miftah Tak Ngaku-Ngaku Keturunan Kiai Besari
“Sebutan kiai terlalu berat buat saya. Kiai itu kan harus kuat tirakat: makan sedikit tidur sedikit, ngomongnya juga sedikit. Nggak kuat saya. Enakan jadi Gus saja: dikit-dikit makan, dikit-dikit tidur, dikit-dikit ngomong,” kelakar Gus Dur dalam buku berjudul “Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia” karya Abdul Wahid.
(M Mas'ud Adnan. Foto: istimewa)
Baca Juga: Kang Irwan Dukung Mbah Kholil, Kiai Bisri dan Gus Dur Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional
FAKTOR GUS DUR
Diakui atau tidak, panggilan Gus populer secara nasional tak lepas dari kiprah dan prestasi Gus Dur, terutama di pelataran nasional. Gus Dur yang nama aslinya Abdurrahman Addakhil – namun lebih suka menuliskan namanya Abdurrahman Wahid (menisbatkan pada ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim) harum semerbak sejak aktif menulis di media massa dan berkiprah di Lembawa Swadaya Masyarakat (LSM).
Gus Dur mengawali dari Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Gus Dur menjadi sekretaris di pesantren warisan kakeknya, Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Sepulang kuliah dari Mesir dan Baghdad, Gus Dur memang tinggal di Jombang. Baik di Denanyar maupun di Tebuireng.
Baca Juga: Sowan ke Tokoh Agama GKJW di Balewiyata Malang, Khofifah Napak Tilas Perjuangan Gus Dur
Dari Pesantren Tebuireng itulah Gus Dur menulis di berbagai media Jakarta. Maka pemikiran Gus Dur yang berkualitas dan cemerlang mulai dikenal para tokoh Jakarta. Hebatnya lagi, berbeda dengan penulis lain yang cenderung menyudutkan kiai dan pesantren, Gus Dur justru mengangkat sisi positif dan kearifan kiai dan pesantren.
Gus Dur yang sangat menguasai berbagai kebudayaan sangat piawai meracik bumbu-bumbu budaya dan kearifan lokal para kiai. Apalagi tulisan Gus Dur sangat genial, inspiratif dan membuka cakrawala pemikiran.
Gus Dur mengangkat satu persatu kiai zuhud pesantren yang sebelumnya tak dikenal secara nasional lewat tulisannya yang benar-benar bernas. Kiai-kiai itu, antara lain: KH Sobary, KH A Muthit Muzadi, KH Adlan Ali, KH Wahab Sulang (Rembang), KH Ali Makshum, KH Zainal dan kiai-kiai lain. Tulisan-tulisan itu oleh penerbit kemudian dibukukan dengan judul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Gus Dur kian cemerlang ketika hijrah ke Jakarta. Gus Dur yang berbasis pesantren itu kemudian menjadi tokoh nasional. Gus Dur malang melintang menjadi pembicara atau nara sumber, baik dalam seminar nasional maupun internasional.
Pada 1984 Gus Dur terpilih sebagai ketua umum PBNU pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Nama Gus Dur kin harum ketika pernyataan dan pemikirannya kritis pada pemeritahan Presiden Soeharto yang otoriter dan korup. Gus Dur menjadi idola para anak muda – terutama mahasiswa. Gus Dur menjadi pembicara dari kampus ke kampus.
Apalagi Gus Dur sangat menguasai ilmu-ilmu sosial modern, disamping ilmu agama tentunya. Gus Dur bahkan sangat konsen pada demokrasi. Sampai dijuluki sebagai pejuang demoraksi.
Baca Juga: Luncurkan Video Kampanye Bareng Dewa 19, Khofifah-Emil Kompak Nyanyikan Hidup adalah Perjuangan
Puncaknya, Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI. Pada 20 Oktober 1999. Dalam sidang MPR Gus Dur ditetapkan sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia dengan 373 suara. Sedang Megawati 313 suara.
Nah, dari kiprah dan prestasi panjang Gus Dur itulah terminolog Gus terangkat drastis dan menjulang ke angkasa.
Kini banyak sekali orang yang ingin dan bahkan minta dipanggil Gus. Terutama kalangan politisi. Mereka menganggap bahwa panggilan Gus bertuah, sakti, keramat, mendatangkan keuntungan politik dan membanggakan.
Baca Juga: Khofifah Pernah Jadi Bintang Senayan, Prof Kiai Asep: Cagub Paling Lengkap dan Berprestasi
Padahal kadang namanya samasekali tak “matching” alias tak cocok dengan panggilan Gus yang identik kultur pesantren.
Lalu apa arti Gus sebenarnya? Suatu ketika Gus Dur diundang Walikota Surabaya Soenarto Soemoprawiro dalam suatu acara di Pemkot Surabaya.
Saat menyampakan sambutan, Walikota Cak Narto – panggilan akrab Soenarto Soemoprawiro - menyampaikan salam hormat pada Gus Dur. “Kepada yang terhormat Cak Gus Dur,” kata Cak Narto.
Mendengar itu Gus Dur tertawa. Saat menyampaikan pidato Gus Dur menyatakan. “Artinya, Gus itu ya Cak. Masak dobel Cak,” kata Gus Dur yang disambut tawa para hadirin.
M Mas’ud Adnan adalah alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair. Ia banyak menulis buku tentang Gus Dur, NU, pesantren dan kiai. Diantaranya buku berjudul Gus Dur Hanya Kalah dengan Orang Madura dan buku Kiai Miliarder Tapi Dermawan yang kini viral.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News