Ramadhan dan Reaktualisasi Kesalehan Digital

Ramadhan dan Reaktualisasi Kesalehan Digital Dosen Departemen Sosiologi Universitas Negeri Malang, Ahmad Arif Widianto.

Oleh: Ahmad Arif Widianto

adalah bulan yang mulia bagi masyarakat Muslim. Bulan ini sangat dinantikan karena menjadi ladang pahala dan pengampunan. Selama ramadhan, masyarakat berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengekang hawa nafsu dan kemunkaran.

Baca Juga: 3 Bulan Terakhir, FS UM Raih Penghargaan Kategori IKU dan Tata Kelola Fakultas

Sayangnya, esensi puasa seringkali hanya diartikan sebagai rutinitas ukhrawi semata di mana kuantitas dan kualitas ibadah ditingkatkan. Padahal, lebih dari itu, dalam puasa tersirat pesan untuk mengarusutamakan kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Secara sosiologis, puasa merupakan momentum sosial untuk saling menebar semangat kebaikan (amar ma`ruf, nahi munkar) dan menguatkan perdamaian. Segala bentuk ketegangan dan keburukan dalam relasi sosial dinetralkan kembali dan diperbarui dengan nilai kebersamaan. 

Dalam menjalani hidup, tentu ada banyak tantangan dan godaan kemaksiatan yang menciderai rasa persatuan dan persaudaraan. Prasangka, ujaran kebencian, gesekan sosial dan sebagainya acapkali mewarnai proses interaksi. 

Baca Juga: Beri Fleksibilitas bagi Mahasiswa Pascasarjana, Fakultas Sastra UM Punya Program Kuliah Paruh Waktu

Jika kondisi demikian diabaikan, Tidak dipungkiri akan membawa pada perpecahan yang berujung pada degradasi peradaban. yang hadir setiap tahun sekali dalam konteks ini menetralisir dan mendetoksifikasi racun-racun dalam hubungan sosial baik dalam kehidupan nyata maupun dunia maya atau digital.

Jebakan Kemaksiatan di Dunia Digital

Kemajuan iptek membawa kehidupan manusia pada kecanggihan. Revolusi kehidupan terjadi secara total dan massif sehingga mengubah pola-pola lama menuju pada kebaruan. Pada satu sisi, perubahan drastis ini berdampak positif bagi keberlangsungan hidup manusia karena menyediakan kemudahan dan kepraktisan melalui inovasi teknologi. Namun di sisi lain, timbul dampak negatif yang dapat kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Bagikan Tafsir Al-Jailani, Khofifah Ajak GenZi Jadi Generasi yang Cinta dan Mengamalkan Quran

Inovasi telah melahirkan sebuah era baru, yakni era digital di mana praktik sosial tidak lagi konvensional. Era ini seakan menciptakan dunia baru yang lebih canggih, serba cepat dan praktis. 

Masyarakat kini seperti memiliki dua dunia, yakni kehidupan nyata dan maya yang terkadang penuh ketidakpastian dan kepalsuan. Pola interaksi pun berubah, menjadi lebih fleksibel dan cukup dengan memanfaatkan gawai atau perangkat elektronik lainnya. Masyarakat bebas berekspresi dan berjejaring melalui media sosial dengan memanfaatkan internet tanpa terbatas tempat dan waktu.

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube dan sebagainya menarik masyarakat untuk migrasi ke dunia digital yang seringkali membuat terlena dan hanyut dalam jebakan kemaksiatan. 

Baca Juga: Lebaran Tinggal Hitungan Hari, Ini Tips Berhijab Bagi yang Punya Pipi Tembem

Bahkan, aktivitas sosial lebih sering dihabiskan di ruang virtual daripada di kehidupan nyata akibat kenikmatan berselancar di dunia maya. Mengutip data dari laporan We Are Social dan Hootsuite, pengguna media sosial di seluruh dunia mencapai 4,76 Miliar atau setara separuh lebih dari total populasi di bumi pada awal tahun 2023 ini. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 167 juta orang adalah masyarakat Indonesia yang aktif sebagai pengguna media sosial. Data tersebut menunjukkan bahwa dunia maya memiliki kehidupan seperti dunia nyata berikut juga permasalahannya.

Disadari ataupun tidak, dunia digital tidak ubahnya dunia nyata yang memunculkan permasalahan dan kemudharatan. Banyak kasus-kasus terjadi di media sosial yang berimplikasi pada kehidupan riil ataupun sebaliknya. 

Baca Juga: Lucu! Polisi Bagikan Takjil, Pengendara Putar Balik, Jalan Raya Sepi, Mengira Tilang

Beberapa di antaranya adalah ujaran kebencian, cyberbullying, hoaks, penistaan dan yang terkini adalah budaya pamer harta dan kekayaan atau flexing. Beberapa kasus tersebut menyebabkan renggangnya integrasi sosial bahkan berujung pada sanksi hukum pidana. Hal ini semakin menguatkan jargon “ kontenmu harimaumu” atau “ jarimu harimaumu”.

Kemaksiatan yang terjadi di dunia digital tidak hanya berhubungan dengan dosa akhirat, tetapi juga dosa sosial karena menciderai hati nurani dan moral sosial. Perilaku di dunia virtual seringkali lepas kontrol, tanpa filter nilai dan etika sosial karena terbuai kebebasan dalam menggunakannya. 

Tanpa disadari, konten, komentar dan postingan di media sosial memicu permusuhan dan keretakan hubungan sosial. Banyak contoh kasus aktivitas di media sosial yang terjerat kasus sampai dipenjara karena melanggar UU ITE. 

Baca Juga: Al-Quran tentang Makna Digital

Lebih lagi jika menyangkut tentang SARA dan politisasi identitas, tentu ia berpotensi besar merusak persatuan dan kesatuan dalam kebhinnekaan kita. Oleh karena itu, Sudah seharusnya kita menguatkan kembali kesalehan digital kita untuk mengoptimalkan media sosial sebagai ruang menyemai kebajikan.

Puasa dan Peningkatan Kesalehan Digital

Bulan ramadhan ini menjadi momentum untuk reaktualisasi nilai, etika dan moral sosial dalam beraktivitas di dunia virtual. Puasa dalam konteks ini tidak hanya untuk menempa fisik kita dalam menahan lapar dan dahaga, melainkan untuk menguatkan kembali kesalehan kita. 

Baca Juga: Selama Ramadhan, Polres Jember Gelar Patroli Kamtibmas

Kita patut merefleksikan spirit kenabian dalam berpuasa, yakni mencegah kemunkaran dan menyebarkan kebaikan di segala bidang kehidupan, dalam hal ini di dunia virtual. Tentu hal ini bukan perkara mudah, tapi setidaknya bisa dilakukan melalui beberapa hal berikut. 

Pertama, Menjaga perilaku di jagad maya agar tidak memunculkan kemudharatan, menyinggung perasaan atau memicu permusuhan dengan cara menjunjung tinggi nilai, etika dan moral sosial di media sosial. 

Kedua, Menyebarluaskan semangat kebaikan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama melalui konten atau postingan positif dan produktif. Misalnya, membangun ruang-ruang publik yang interaktif dan kolaboratif untuk mengembangkan gagasan inovatif atau menciptakan kultur demokratis. 

Baca Juga: Jangan Main-Main dengan Kata Kiblat, Ketahui Sejarah Perpindahannya yang Penuh Hikmah

Ketiga, Mengoptimalkan fungsi media sosial sebagai sara pengembangan diri untuk meraih tujuan dan kepentingan yang kita harapkan. 

Ketiga poin ini niscaya terwujud jika mendapatkan dukungan kita bersama melalui penciptaan sistem dan kultur yang baik dalam bermedia sosial demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Semoga.

Penulis adalah Dosen Departemen Sosiologi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Semua Penonton Bioskop Disalami, Anekdot Gus Dur Edisi Ramadan (18)':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO