Oleh: Surokim As
Mengelola mahasiswa dengan jumlah di atas 20rb dengan beragam dinamikanya memang tidak mudah. Selalu ada kerumitan dan romantika yang melingkupinya. Ya bisa dibilang gampang gampang susah, ngeri-ngeri sedap. Apalagi jika melihat keinginan, harapan masing masing mahasiswa pastilah punya keinginan 1001 yang beragam.
Baca Juga: 100 Mahasiswa Prodi Hukum Bisnis Syariah FKis UTM Ikuti Pendidikan dan Pelatihan Paralegal
Aneka kebutuhan, keinginan selalu mengiringi dalam gerak langkah mengelola, manajemen kemahasiswaan. Apalagi jika setiap tuntutan, aspirasi dan keinginan tersebut _beyond_ diatas anggaran yang tersedia. Selalu ada dilema yang mengiringi. Sering pengelola menghadapi dilema etis antara harus menuruti, tetapi di sisi lain kemampuan sumber daya belum support dan memadai.
Memang ada yang tampak mudah, ada yang tampak rumit dan bahkan butuh pendekatan khusus untuk teknis penangganan dilapangan. Daya kritis mahasiswa juga kadang tidak mudah dikendalikan jika tidak memahami konteksnya. Belum lagi terpaaan informasi yang meluber membuat mahasiswa bisa membandingkan dengan mudah terkait dengan layanan yang mereka dapatkan rasakan di kampus lainnya.
Tapi itulah seni, seni mengelola seni memimpin dan juga seni kepentingan akomodasi. Tipikal mahasiswa yang khas juga bisa potensial menambah kerumitan jika tidak dbisa dipahami dengan baik. Kompleksitas itu akan selalu hadir dan selaku butuh pendekatan local wisdom. Akhirnya, komunikasi tetap menjadi kunci.
Baca Juga: Tak Cukup Bukti, Bawaslu Bangkalan Hentikan Kasus Dugaan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu
Ketersediaan informasi yang akurat, terkait sarana dasar seperti penginapan, asrama, kost, sarana kesehatan, tempat makan minum, beasiswa, sarana kesra dan support teknologi saat ini sdh menjadi kebutuhan urgent yg perlu perhatian saat ini. _Alhamdulillah_ peran itu sudah dibantu teman teman BEM sejauh ini.
Sementara mahasiswa punya ekspektasi lebih untuk mendapatkan layanan _excellent service_. Saya pikir itu wajar dan tidak mengada-ada. Bisa jadi itu bagian dari cara mereka juga mencintai kampus ini.
Setelah 6 bulan membersamai mahasiswa dilevel univ, ternyata memang banyak sekali mahasiswa kita yang hidup serba pas-pasan dan membutuhkan penguatan dalam banyak hal. Benar sekali mereka sebagian besar hanya memiliki modal semangat, semangat merubah hidup dan mereka ingin dan sedang menjalankan perubahan struktural dalam hidup mereka dengan menyandang status mahasiswa. Mereka datang ke kampus serba dalam keterbatasan untuk bisa merubah kehidupan mereka.
Baca Juga: Pj Bupati Bangkalan, Kadispora dan EO Ramai-Ramai Minta Maaf Atas Insiden Pembukaan POPDA Jatim
Mereka butuh support kesra yang lain agar bisa terfasilitasi. Sementara prioritas hari ini mereka hanyalah ingin kuliah. Yang penting bisa ngampus dulu, sesuatu yang luhur dan menurut saya mengandung spirit keren merubah kehidupan.
1001 cerita tentang mahasiswa, kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa datang silih berganti harus refleksi bersama dan menjadi dasar bagi kita untuk membuat legacy besar. Bahwa kampus ini bisa menjadi medium perubahan dan harapan. Ia bisa menjadi secercah harapan untuk merubah nasib dan menjadi tumpuan masa depan, maka kampus harus bisa membantu menyiapkan itu semua. Bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka bisa mendapat support kesejahteraan, bagaimana kampus support beasiswa dll. Dan itu jelas sulit jika pendekatan kita masih mengandalkan dana negara yang kadangkala masih superrumit. Harus ada ikhtiar jalan lain.
Legacy, ya itu wajar untuk dipikirkan melalui pelibatan pihak ke3, para dermawan dan filantroper. Tuntutan pelibatan orangtua, alumni bisa jadi solusi jangka pendek, tetapi itu juga tidak mudah. Yang ideal tentu fund rising dari non mahasiswa.
Baca Juga: Panitia Larang Puluhan Wartawan Masuk ke Acara Pembukaan POPDA dan PAPERDA di Bangkalan
Kita bisa membayangkan betapa bahagianya ada mahasiswa sakit lalu bisa ditangani dengan cepat tanpa kepikiran biaya, rasanya ada kepuasan dan kebahagiaan yang tak terkatakan. Apalagi tidak semua mahasiswa punya fasilitas bpjs dan kartu sehat dan jauh dari orang tuanya. Masih ada juga yang belum punya tibalah sakit butuh opname butuh darah, dll sementara mahasiswa itu jauh berasal dari seluruh nusantara. Kampus apalagi yang sebagian besar mahasiswa kalangan menengah ke bawah.
Mahasiswa BEM UTM saat PKKMB kemarin sudah berhasil membuktikannya bagaimana _fundrising_ untuk support maba mendapat dukungan fasilitas transportasi sepeda motor.
Semua happy, semua bahagia dan memancar sinar abadi menyuntikkan semangat optimistik . Kita semua yang menyaksikan menjadi terharu hingga meneteskan air mata. Bahwa doa doa keluarga _masakin, dluafa wal mustadafin_ itu menjadi nyata adanya.
Baca Juga: Optimalisasi dan Tantangan Literasi Menulis bagi Mahasiswa !!!
Saya juga sdh membuktikan dan menyaksikan sendiri bagaimana kekuatan magis para filantroper keluarga madura di Jakarta dalam membantu mahasiswa Madura saat bergiat di Jakarta. Luar biasa dan diluar dugaan.
Para dermawan, para filantropis, dan para good people adalah sektor yang bisa bertahan dari krisis dan harus ada ikhtuar ke arah sini dalam rangka penguatan dana abadi kesra mahaasiswa.
Bagaimana cara melibatkan para filantroper ini. Ikatan alumni penting untuk bisa menginisiasi hal ini. Apalagi situasi kriris selalu datang sikih berganti. Di sisi lain, lembaga filantropi relatif bisa bertahan dari gempuran pandemi. Sehingga, lembaga filantropi idealnya bisa membantu pendidikan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Baca Juga: Gandeng Pewanida Kuala Lumpur, Fkis UTM Abdimas Internasional Kajian Al Quran di Malaysia
Sebagaimana pernah ditulis Yusuf (2021) dalam laman lazismu.org bahwa salah satu poin dalam Arah Kebijakan dan Strategi Penguatan Perguruan Tinggi yang dikeluarkan oleh Bappenas menyebut bahwa Perguruan Tinggi harus mulai melakukan pengembangan dana abadi _(endowment fund)_ dan pengembangan filantropi. Namun, hingga kini masih belum banyak kampus di Indonesia yang melakukan dua hal tersebut. Padahal, di kampus-kampus besar dan tua di dunia telah menggunakan dana abadi untuk membiayai operasional pendidikannya, seperti Universitas Al-Azhar Kairo, Harvard, Oxford, dan Cambridge.
Dalam hal ini, papar Yusuf (2021) bahwa perguruan Tinggi di seluruh Indonesia dan juga di luar negeri memiliki potensi yang besar untuk mulai menggunakan sistem wakaf tunai atau dana abadi untuk membiayai operasional pendidikan. Besarnya aset dan wakaf yang dimiliki bisa saja digunakan untuk pengembangan dana abadi.
Lebih lanjut Yusuf (2021) memaparkan bahwa ada kolaborasi pentahelix lima sektor yang harus dilakukan untuk memajukan perguruan tinggi, yaitu sektor perguruan tinggi itu sendiri, sektor industri, sektor filantropi, pemerintah, dan masyarakat. Sektor filantropi tidak bisa ditinggalkan untuk pengembangan dan kolaborasi perguruan tinggi.
Baca Juga: Bersama Unair, FH UTM Jalin Kerja Sama dengan Faculty of Law Maastricht University
Sekadar ilustrasi bahwa filantropi memiliki potensi dana 346 triliun rupiah. Sedangkan yang bisa dikelola baru sekitar 50 triliun. Di sisi lain, sektor filantropi juga lebih bisa bertahan di tengah pandemi.(Yusuf, 2021)
Hasil survei Lazismu tentang Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 Terhadap Perilaku Berderma Masyarakat tahun 2021 menyebut bahwa meskipun pendapatan masyarakat menurun, namun semangat berderma masyarakat tidak menurun.
Belakangan muncul model crowdfunding digital yang begitu besar seperti Kitabisa. Percepatan sektor filantropi ini semakin menggembirakan dunia filantropi, dan membuat pelaku filantropi semakin optimis bahwa ia memiliki potensi yang sangat besar.(Yusuf, 2021)
Baca Juga: Tindak Lanjuti Kerja Sama, FT UTM Lakukan Kunjungan Balasan ke FDSIT INTI International University
Di dalam filantropi ada tiga level, yaitu karitatif (sekedar sumbangan), empowering (pemberdayaan), dan advokasi. Karitatif biasanya berbentuk pemberian beasiswa. Empowering biasanya berbentuk bantuan modal untuk pelaku UMKM dengan pendampingan dan pembinaan. Sedangkan advokasi bisa digunakan untuk mendanai riset-riset yang memiliki luaran perubahan kebijakan. Hal ini masih jarang dilirik oleh perguruan tinggi. Padahal, ia bisa mendanai pendidikan dan riset. (Yusuf, 2021)
Mari kita masuki era Shodaqoh (digital). Mari kita galakkan shodaqoh digital alumni dengan menangung renteng bersama adik adik yang masih kekurangan dan kesulitan biaya kuliah. Mekanisme tentang ini bisa dimulai bersama dengan mengandeng baiz dengan sistem sukarelaan. Pak Rektor sudah pernah memberi arahan tentang hal ini agar kegiatan amal para civitas academica punya koneksi langsung dengan kebutuhan dan pengembangan kampus, khususnya bersedekah ke mahasiswa yang menbutuhkan.
Mari kita nnyalakan obor kehidupan dan jangan terus mengumpat terus keadaan gelap karena kampus ini butuh banyak legacy yang mesti diperjuangkan dan bukan ditunggu untuk turun dari langgit tanpa ikhtiar bersama.
Sembari kita terus memperbanyak _book corner_, menambah taman santai _garden, and helper corner_ di kampus, serta ruang ruang publik agar mahasiswa tertahan dan krasan berada dikampus. Jika Cicero mengatakan " if we have a garden dan libary we have everything we need, It is not enough. We must have a new pathway to empower the students' spirit through welfare n humanity".
Penulis merupakan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Trunojoyo Madura
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News