JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Menguatnya indikasi dinasti politik dan oligarki politik di bawah Presiden Joko Widodo menimbulkan kekecewaan rakyat secara meluas. Salah satu indikasi poliik paling menonjol adalah skandal Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan capres-cawapres di bawah umur 40 tahun asal pernah jadi kepala daerah. Putusan MK ini dinilai banyak pihak sangat janggal dan “slintutan”, karena tak didasarkan pada kepentingan konstitusi. Sebaliknya, diduga semata untuk kepentingan personal, untuk memberikan jalan pada Gibran Rakabuming Raka – putra sulung Jokowi – sebagai calon wakil presiden.
Apalagi Gibran Rakabuming Raka langsung bergerak menghadiri Rapimnas Golkar yang secara terbuka mengusulkannya sebagai cawapres. Wajah Gibran tampak ceria, selalu senyum, saat berada di tengah pengurus Golkar.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ironisnya, Jokowi seolah tak tahu menahu tentang manuver politik pencawapresan Gibran, anaknya itu. Padahal sejumlah kepala daerah di bawah usia 40 tahun sudah membocorkan tentang operasi politik yang dilakukan oleh orang yang mengaku “utusan” Istana. Para kepala daerah itu mengaku “digerilya” pihak istana lewat aparatur pemerintah di daerahnya masing-masing.
“Awalnya, ngomongnya muter-muter. Tapi kemudian ia bilang nanti akan ada utusan dari istana,” tutur seorang kepala daerah yang usianya masih 30-an tahun kepada BANGSAONLINE.
Dan benar. Beberapa hari kemudian datanglah sang utusan politik itu. Ia mengaku akan membantu memenangkan pencalonan kepala daerah usia muda pada Pilkada akan datang asal ia mau menjadi pemohon ke MK untuk menurunkan batas usia di bawah 40 tahun. Tak aneh jika sebagian nama mereka kemudian tercatat sebagai pemohon di MK.
Baca Juga: Laporkan Fufufafa dan Esemka ke Layanan "Lapor Mas Wapres", Pakar Forensik Ini Kecewa, Kenapa
Kini misi politik itu goal. Setidaknya, untuk sementara. MK meloloskan capres-cawapres usia di bawah 40 tahun, dengan cacatan pernah pernah menjadi kepala daerah. Gibran yang baru menjadi walikota Solo dua tahun pun bisa melenggang sebagai cawapres Prabowo Subianto yang memang berharap dapat limpahan suara dari pengaruh Jokowi.
Namun gelombang kekecewaan dan protes dari berbagai eskponen rakyat justru meluas. Media cetak, online, elektronik, hingga media sosial dipenuhi berita kekecewaan rakyat. Termasuk protes para mahasiswa. Padahal Prabowo menggandeng Gibran berharap mendapat suara milenial – termasuk mahasiswa – disamping pengaruh suara Jokowi.
Skandal MK ini dianggap bukan saja terjadi diluar nalar dan kepatutan moral tapi juga merusak sendi-sendi demokrasi dan tata kelola negara yang selama 9 tahun Jokowi menjabat presiden indeks demokrasi terjun bebas. Apalagi skandal MK itu terjadi tak lepas dari sepak terjang ketua MK, Anwar Usman, yang tak lain paman Gibran dan adik ipar Jokowi.
Baca Juga: Saluran Pengaduan Ala Gibran, Manuver Politik yang Bumerang
Namun itulah tampaknya realitas politik dari pengejewantahan pernyataan Jokowi yang secara terang-terangan mengaku akan cawe-cawe dalam Pilpres. Kini cawe-cawe politik itu benar-benar ia lakukan. Terutama dengan cara mendesain politik anak kandungnya sendiri, Gibran, di panggung politik pilpres.
Sontak reaksi bermunculan di seantero nusantara. Yang mengejutkan, kekecewaan yang meluas itu tidak hanya ditunjukkan oleh eksponen masyarakat obyektif dan rival politik Jokowi, tapi juga oleh para pendukung fanatiknya selama ini.
Salah satu pendukung fanatik Jokowi adalah Goenawan Mohamad, budayawan dan sastrawan kondang. Ia mengaku sadar bahwa ia telah dibodohi Jokowi. "Yg kita dapat dari tontonan “MK untuk Gibran” adalah kesadaran bhw kekuasaan membuat si penguasa bodoh dan takabur," cuit GM – panggilan akrab Goenawan Mohamad - di akun X, Selasa (17/10/2023).
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Bodoh dan takabur, tegas GM, karena mengira rasa keadilan masyarakat bisa dilecehkan dengan sebuah sandiwara murahan. Ia tak bisa membayangkan jika Prabowo-Gibran menang. “Jika nanti Prabowo-Gibran/Jokowi menang, kita dan generasi anak kita akan mewarisi kehidupan politik yang terbiasa culas, nepotisme yang menghina kepatutan, lembaga hukum yang melayani kekuasaan,” tulis GM.
Yang juga mengejutkan, Fadjroel Rachman, Dubes RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan, malah mengunggah foto halaman 1 Harian KOMPAS yang memuat berita dan foto Prabowo saat diberhentikan dari Panglima Kostrad TNI. Dalam keterangannya, mantan juru bicara Presiden Jokowi itu menulis: GENTLE REMINDER: Mungkin @gibran_rakabuming dan Generani Milenial serta Generasi Z memerlukan informasi ini untuk menghadapi #pilpres14Februari.
Mungkin Fadjroel Rachman tidak menentang Jokowi. Tapi ia menunjukkan sikap politik berbeda karena tak sependapat soal Prabowo.
Baca Juga: Prabowo ke China Bawa Tommy Winata dan Prayogo Pangestu, Siapa Dua Taipan Itu
Pendukung utama Jokowi lain yang tak setuju Gibran maju sebagai cawapres adalah Butet Kartaredjasa. Tokoh teater dan budayawan kondang itu secara terang-terangan minta Gibran jangan mau diminta untuk jadi cawapres. Tapi Gibran tak menggubris.
Butet pun kecewa. Kini ia malah mengaku menantikan debat calon wakil presiden antara Mahfud MD dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Ini tentu satire atau sindiran terhadap Gibran.
"Saya justru mengharapkan Mas Gibran itu maju jadi wapres karena saya sangat merindukan nanti kalau ada perdebatan, wapresnya debat, 35 tahun lawan professor Mahfud MD, apik banget," kata Butet di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Senin (23/10).
Baca Juga: China Bakal Bantu Pendanaan Program Makan Bergizi Gratis Prabowo
"Itu perdebatan paling keren wapres sepanjang sejarah Indonesia, profesor doktor dan berpengalaman dua tahun. Dua tahun kok berpengalaman," sambungnya dikutip CNN.
Para ahli tata negara, ulama, ahli hukum, budayawan, seminan, pakar politik, akademisi, dan pengamat, tak terhitung jumlahnya yang menentang sikap politik Jokowi. Terutama karena mencawapreskan Gibran. Sikap para ahli dan ulama itu bisa dirumuskan dalam pernyataan Rocky Gerung:
“Sebagai kepala keluarga Jokowi baik. Tapi sebagai kepala negara Jokowi sangat buruk,” kata pengamat politik dan ahli filsafat yang memag sangat rajin mengeritik Jokowi itu.
Baca Juga: Desak Presiden Prabowo Adili Jokowi, Massa Aksi 411 Serukan Ganyang Fufufafa
Kekecewaan publik terus meluas. Di media sosial muncul berbagai protes dan juga meme yang beragama. Bahkan akun Twitter Gibran diserbu warganet. Mereka menyarankan agar Walikota Solo itu jangan tergoda, jangan mau dicawapreskan karena, baik usia maupun pemikirannya, belum matang. Mereka yang mengaku pendukung Gibran itu secara baik-baik menyarankan agar Gibran matang secara alami.
Tapi Jokowi dan Gibran cuek bebek. Kini secara sayup-sayup mulai terdengar isu impeachment. Baik kepada Jokowi sebagai presiden maupun Gibran sebagai walikota. Isu pemakzulan Presiden Jokowi itu menggema bukan semata karena Jokowi dianggap merusak tata kelola negara dan demokrasi tapi juga karena para elit parpol yang tidak mengusung Prabowo-Gibran khawatir menjadi korban praktik ketidakadilan dalam pilpres 2024. Alasannya, Jokowi sebagai presiden masih mengendalikan berbagai institusi negara, termasuk institusi Polri dan TNI. Belum lagi para Pjs gubernur dan bupati serta walikota.
Tapi bisakah Jokowi diimpeachment atau dimakzulkan? Bukankah para anggota DPR RI terdiri dari berbagai latar belakang partai yang orientasi politiknya – terutama Pilpres – berbeda-beda?
Baca Juga: Gubernur, Bupati dan Walikota juga Bakal Gunakan Mobil Dinas Maung, Berapa Harganya
Dalam politik tak ada istilah tidak mungkin. Semua bisa terjadi, termasuk impeachment Presiden Jokowi.
Kita bisa memetakan orientasi politik parpol dalam pilpres pada dua kategori.
Pertama, kategori Capres-Cawapres yang dudukung Jokowi. Dalam kategori ini adalah capres Prabowo Subianto dan Cawapres Gibran.
Pasangan Prabowo-Gibran diusung Partai Gerindra yang memiliki 78 kursi di DPR RI. Prabowo-Gibran juga diusung Partai Golkar (85 kursi), Partai Demokrat (54 kursi) dan PAN (44 kursi). Total 261 kursi.
Kedua, kategori Capres-Cawapres yang tidak didukung Jokowi. Yaitu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
AMIN – singkatan pasangan Anies dan Muhaimin - diusung oleh Nasdem yang memiliki 59 kursi di DPR RI. Selain Nasdem, AMIN juga diusung oleh PKB (58 kursi) dan PKS (50 kursi di parlemen). Total 167 kursi DPR RI.
Sementara pasangan Ganjar-Mahfud diusung oleh PDI Perjuangan yang memiiki 128 kursi di DPR RI. Pasangan ini juga diusung PPP yang memiliki 19 kursi DPR RI. Total 147 kursi DPR RI.
Total kursi Capres-Cawapres yang tidak didukung Jokowi 314 kursi DPR RI. Memang dari partai pengusung capres-cawapres yang tidak didukung Jokowi belum tentu punya nyali, kecuali Nasdem, PKS dan PDIP. Tapi jika membayangkan kemungkinan mereka jadi korban ketidakadilan pada Pemilu 2024 niscaya mereka bangkit. Harus diingat, sikap Jokowi mendukung Prabowo-Gibran itu sendiri sejatinya sudah masuk kategori ketidakadilan. Karena seorang presiden harus netral dan obyektif dalam Pilpres.
Walhasil, secara matematika politik Presiden Jokowi sangat mungkin untuk diipeachment. Karena jumlah anggota DPR RI yang pro Jokowi hanya 261 kursi DPR. Sebaliknya, jumlah anggota DPR RI yang kemungkinan kontra Jokowi sebesar 314 kursi DPR RI.
Wallahua’lam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News