Shalat dan Rezeki, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Shalat dan Rezeki, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA Dr KH Ahmad Musta'in Syafi'i. Foto: Tebuireng Online

Oleh: Dr. K.H. Ahmad Musta'in Syafi'i, M.Ag

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Direktur Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in membahas tafsir Surat Thaha: 132. Selamat membaca.

Pada ayat kaji sebelumnya Tuhan menasehati agar kita tidak mata duwitan. Tidak terlalu memburu duniawi hingga menjadikan uang seperti Tuhan. Tidak menjadikan uang adalah segala-galanya, meskipun segala-galanya butuh uang.

Diingatkan, bahwa dunia itu bagai kembang yang sedang mekar dan sedap, tapi hanya sekejap. Lalu, pada ayat kaji ini Tuhan memberi panduan, agar orang beriman berlaku imbang dengan memperhaitkan shalat keluarganya. Hal demikian karena orang yang memburu uang itu pasti mencurahkan tenaga dan memutar otak pinter-pinter agar mendapat rezeki santer.

Saat manusia dalam kondisi konsentrasi begitu itu, biasanya lupa urusan ibadah keluarganya, apalagi kerjaannya di luar rumah. Terhadap shalatnya sendiri, bisa jadi tidak terpengaruhi, karena keimanannya kuat dan sudah terlatih beribadah.

Tapi bagaimana dengan ibadah, dengan shalat anak dan istrinya di rumah?. Di sini, peran istri menjadi sangat penting dan istrilah yang menjadi penanggungjawab ibadah keluarga, saat sang suami di luar rumah. Meskipun begitu, tetap saja tidak bisa menghapus kewajiban suami sebagai penanggung jawab utama.

“Wa u’mur ahlak bi al-shalah wa sihthabir ‘alaiha”. Perintahlah keluargamu agar disiplin shalat. Tidak sekedar menyuruh saja, melainkan ulet, aktif dan selalu dibimbing. Itu artinya :

Pertama, suami, kepala keluarga adalah yang bertanggung jawab atas urusan ibadah keluarganya, utamanya shalat lima waktu.

Kedua, tidak sekedar diperintah, lalu selesai, melainkan harus bersabar, harus dibimbing dan diawasi terus-menerus. Kenapa perintah shalat di sini digandeng dengan perintah bershabar “fa ishtabir ‘alaiha”.

Karena shalat itu kewajiban yang harus dikerjakan secara terus-menerus, lima kali sehari, sehingga butuh pengawasan yang terus menerus pula. Ulet dan bersabar begini inilah yang sering gagal.

Kadang seorang ibu justeru yang mudah frustasi. “Tadi si Mamat sudah saya suruh shalat berkali-kali, sampai lambe meniren. Dasar geregetno, gawe perkoro ae. Ya sudah.” Model begini ini namanya ibu yang sukses di bidang “menyuruh”, tapi gagal di bidang “bersabar”.

Ketiga, tersirat arahan agar orang tua bisa berperan sebagai guru yang memandu dan memberi contoh kepada anak-anaknya. Bagaimana mungkin seorang bapak memerintahkan anak-anaknya shalat, sementara dia sendiri nongkrong di depan TV atau bermain gadget.

Keempat, mengisyaratkan agar orang tua bisa lebih dekat dengan anak-anaknya yang salah satunya menggunakan media sahalat berjamaah. Sangat indah jika satu keluarga itu disiplin shalat berjamaah. Hikmahnya jelas memperlancar komunikasi, sehingga persoalan bisa cepat dicari solusinya. Tidak bagus, satu keluarga, satu rumah tapi shalat sendiri-sendiri.

Kelima, perintah “wa isthabir ‘alaiha”, selain faedah-faedah di atas juga sangat bagus bagi pribadi kepala keluarga tersebut untuk melatih diri menjadi penyabar. Selain nilai spiritualnya meningkat, juga tidak mudah menyalahkan guru atau pendidik ketika anaknya sendiri susah dididik.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO