Oleh: Dr. K.H. Ahmad Musta'in Syafi'i, M.Ag
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Direktur Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in membahas tafsir Surat Thaha: 132. Selamat membaca.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Pada ayat kaji sebelumnya Tuhan menasehati agar kita tidak mata duwitan. Tidak terlalu memburu duniawi hingga menjadikan uang seperti Tuhan. Tidak menjadikan uang adalah segala-galanya, meskipun segala-galanya butuh uang.
Diingatkan, bahwa dunia itu bagai kembang yang sedang mekar dan sedap, tapi hanya sekejap. Lalu, pada ayat kaji ini Tuhan memberi panduan, agar orang beriman berlaku imbang dengan memperhaitkan shalat keluarganya. Hal demikian karena orang yang memburu uang itu pasti mencurahkan tenaga dan memutar otak pinter-pinter agar mendapat rezeki santer.
Saat manusia dalam kondisi konsentrasi begitu itu, biasanya lupa urusan ibadah keluarganya, apalagi kerjaannya di luar rumah. Terhadap shalatnya sendiri, bisa jadi tidak terpengaruhi, karena keimanannya kuat dan sudah terlatih beribadah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Tapi bagaimana dengan ibadah, dengan shalat anak dan istrinya di rumah?. Di sini, peran istri menjadi sangat penting dan istrilah yang menjadi penanggungjawab ibadah keluarga, saat sang suami di luar rumah. Meskipun begitu, tetap saja tidak bisa menghapus kewajiban suami sebagai penanggung jawab utama.
“Wa u’mur ahlak bi al-shalah wa sihthabir ‘alaiha”. Perintahlah keluargamu agar disiplin shalat. Tidak sekedar menyuruh saja, melainkan ulet, aktif dan selalu dibimbing. Itu artinya :
Pertama, suami, kepala keluarga adalah yang bertanggung jawab atas urusan ibadah keluarganya, utamanya shalat lima waktu.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Kedua, tidak sekedar diperintah, lalu selesai, melainkan harus bersabar, harus dibimbing dan diawasi terus-menerus. Kenapa perintah shalat di sini digandeng dengan perintah bershabar “fa ishtabir ‘alaiha”.
Karena shalat itu kewajiban yang harus dikerjakan secara terus-menerus, lima kali sehari, sehingga butuh pengawasan yang terus menerus pula. Ulet dan bersabar begini inilah yang sering gagal.
Kadang seorang ibu justeru yang mudah frustasi. “Tadi si Mamat sudah saya suruh shalat berkali-kali, sampai lambe meniren. Dasar geregetno, gawe perkoro ae. Ya sudah.” Model begini ini namanya ibu yang sukses di bidang “menyuruh”, tapi gagal di bidang “bersabar”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Ketiga, tersirat arahan agar orang tua bisa berperan sebagai guru yang memandu dan memberi contoh kepada anak-anaknya. Bagaimana mungkin seorang bapak memerintahkan anak-anaknya shalat, sementara dia sendiri nongkrong di depan TV atau bermain gadget.
Keempat, mengisyaratkan agar orang tua bisa lebih dekat dengan anak-anaknya yang salah satunya menggunakan media sahalat berjamaah. Sangat indah jika satu keluarga itu disiplin shalat berjamaah. Hikmahnya jelas memperlancar komunikasi, sehingga persoalan bisa cepat dicari solusinya. Tidak bagus, satu keluarga, satu rumah tapi shalat sendiri-sendiri.
Kelima, perintah “wa isthabir ‘alaiha”, selain faedah-faedah di atas juga sangat bagus bagi pribadi kepala keluarga tersebut untuk melatih diri menjadi penyabar. Selain nilai spiritualnya meningkat, juga tidak mudah menyalahkan guru atau pendidik ketika anaknya sendiri susah dididik.
Baca Juga: Alasan Hadratussyaikh Tolak Anugerah Bintang Hindia Belanda, Kenapa Habib Usman Bin Yahya Menerima
Hari gini, gadget, ponsel, hampir semua anggota keluarga punya sendiri-sendiri. Sudah bersama-sama pergi ke restoran untuk makan bersama. Naik mobil bersama dan duduk dalam satu meja. Setelah pesan makanan sesuai selera masing-masing dan mereka punya waktu selama mununggu pesanan.
Eh.. masing-masing membuka ponselnya sendiri-sendiri dan berkomunikasi, menyapa, memperhatikan orang lain “yang tidak ada”. Tersenyum sendiri, tertawa dan seterusnya. Keluarga yang sudah di depan tidak tersapa sama sekali.
Subhanallah, padahal saat itu sangat bagus dimanfaatkan untuk saling berbincang- bincang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
“La nas’aluk rizqa, nahn narzuquk”. Aku tidak memintamu rezeki, justeru Aku yang memberi rezeki kepada kamu. Begitu pernyataan Tuhan terhadap kita saat Dia memerintahkan kita agar disiplin mendidik keluarga mengerjakan shalat.
Lalu apa hubungan perintah shalat dengan rezeki?
Tidak dipungkiri, bahwa keakraban kepala keluarga dengan anak dan istri zaman sekarang tidaklah berjalan mulus, mengingat banyaknya gangguan, seperti pekerjaan yang menghabiskan waktu, sehingga waktu bercengkerama dengan mereka sangat minim.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Celakanya, andai sang ayah dikritik soal minimnya waktu untuk anak, biasanya bersungut-sungut dan tidak terima. “Saya bekerja siang malam, cari makan, banting tulang untuk siapa... Semua itu untuk keluarga, untuk anak. Bukan kepentingan saya sendiri..dan seterusnya.” Jarang sekali yang insyaf dan menyadari.
Bapak model begini ini lupa, bahwa anaknya itu berupa manusia, bukan kambing dan bukan ayam. Anak manusia itu tidak cukup sekedar diberi makan dan selesai seperti hewan. Anak ayam ditaruh di kotak, diberi makan, minum dan penghangat listrik, cukup. Bisa sehat dan gemuk-gemuk.
Itu betul, tapi anak manusia tidak cukup hanya dengan diberi makan, minum dan fasilitas materi saja. Anak manusia adalah makhluq Tuhan yang paling sempurna, paling mulia, paling bermartabat, sehingga kebutuhannya lebih sekedar materi. Justeru sapaan, pendidikan, sentuhan kasih sayang paling dibutuhkan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Ayat kaji ini memberi teguran sekaligus jaminan, bahwa rezeki itu mutlak urusan Tuhan, bukan urusan manusia. Seolah Tuhan hendak berkata begini, :”Hai manusia, janganlah kamu habiskan waktumu untuk mencari uang sehingga melalaikan tugas utamamu mengurus ibadah keluarga.
Percayalah, bahwa rezekimu tidak akan berkurang, jika waktumu, selain untuk bekerja juga untuk ngurus shalat keluarga. Rezeki itu, Akulah yang mengatur, bukan kamu”. “Wa al-‘aqibah li al-taqwa”.
Kata “’aqibah” semiripan maknanya dengan kata “akibat” dalam bahasa Indonesia. Hanya saja di dalam al-Quran, kata “aqibah” lebih digunakan untuk akibat yang baik, hasil akhir yang baik. Sedangkan dalam bahasa Arab secara umum, termasuk bahasa keseharian kita bisa dipakai untuk akibat buruk juga. Dan pada penutup ayat ini, aqibah diproyeksikan sebagai imbalan mereka yang bertaqwa.
Itu artinya, bahwa seorang mukmin yang aktif memerintahkan shalat kepada keluarganya, istiqamah dan bersabar, maka selain di dunia rejekinya dijamin bagus juga di akhirat nanti dianugerahi dengan surga dengan segala fasilitasnya. Surga inilah makna nyata dari kata “al-aqibah” tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News