Salat di Bulan, Bagaimana Cara Hadap Kiblat, Tafsir Ak-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Salat di Bulan, Bagaimana Cara Hadap Kiblat, Tafsir Ak-Quran Aktual HARIAN BANGSA Dr KH Ahmad Musta'in Syafi'i. Foto: Tebuireng online

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 31-33. Selamat mengikuti.

“Wa ja’alna alsama saqfa mahfudha”. Langit sebagai atap, selain tak mungkin runtuh karena konstruksinya sangat kokoh, juga desainnya indah dan menakjubkan. Kini barulah umat manusia menyadari akan firman-firman suci tentang langit. Ternyata, memanfaatkan kolong langit menjadi transportasi udara paling cepat dan paling efektif.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Langit kini tidak saja menjadi obyek observasi besar-besaran dan canggih-canggihan sehingga di atas sana penuh denga rongsokan satelit yang sudah tidak aktif. Bahkan sudah ada jasa, travel yang menawarkan rekreasi ke sono.

Kata “mahfudah” yang menjadi sifat langit sebagai atap adalah “guaranted statement”, bentuk jaminan Tuhan perihal keamanan langit. Itu artinya, Tuhan memberitahu manusia agar tidak menjadikan bumi sebagai satu-satunya tempat tinggal atau tempat rekreasai. Masih ada planet di kolong langit ini yang aman, planet bulan misalnya.

”Mahfudha”, bisa dalam artian tejaga kekokohan konstruksinya, sehingga tidak mungkin runtuh berkeping-keping seperti gugatan para kafir dulu (al-isra’:92).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Atau cuacanya terjaga dan aman, iklimnya aman, transportasi menuju ke sana aman, tidak ada kemacetan, tidak ada badai dan tidak ada erupsi.

Itu artinya, ke depan, di bulan mungkin bisa dibangun cafe-cafe dengan segala servisnya sehingga penduduk bumi sering ngopi ke sana. Sementara dalam sisi ibadah menunjukkan, bahwa di bulan juga representasi sebagai tempat ibadah.

Tetap wajib menjalankan shalat di sana. Perkara kiblat bisa diijtihadi, dikira-kira dan sah.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

”Wa hum ‘an ayatiha mu’ridlun”. Sayang, mereka berpaling dan mengingkari tanda-tanda kebesaran Tuhan tersebut. Mereka kufur dan tidak bisa mengambil pelajaran.

Andai saja mereka mau menggunakan akal sehatnya sejenak ketika melihat bumi yang mereka injak, melihat langit yang mereka jadikan berteduh, melihat udara yang mereka hirup, maka akan menemukan, : bahwa semua itu pasti ada yang menciptakan dan tidak mungkin ada begitu saja. Penciptanya pasti sangat sakti, sangat berkuasa. Siapa lagi kalau bukan Allah SWT”, Tuhan satu-satunya.

Tentang varian bahasa al-qur’an, kata “ayat” pada ayat kaji ini diidlafahkan (digandengkan) pada dlamir “HA” (‘an ayatiha) yang rujuk-nya, sasarannya ke langit (al-sama’) atau planet-planet tersebut di atas. Ya, hal itu karena planet-planet adalah ciptaan, sekaligus tanda kebesaran-Nya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Sementara di banyak tempat diidlafahkan kepada dlamir “NA” (ayatina), “IY” (ayati) yang menyasar kepada Diri Tuhan itu Sendiri. Hal itu karena Dialah yang menciptakan planet-planet tersebut. Dalam kontek teologis, jika kedua idlafah tersebut digabung, maka membuahkan tesis begini: ”bahwa berpikir melalui planet tersebut bisa mengantarkan manusia menemukan Tuhan sebanarnya,

Allah SWT”. Allah a’lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO