Islam AHWA dan Islam Nusantara: Catatan Pasca Muktamar NU

Islam AHWA dan Islam Nusantara: Catatan Pasca Muktamar NU

Ketika saya pancing soal posisi Rais Am, Gus Mus berkisah panjang pada peristiwa ketika Abu Bakar meminta Umar bin khattab menggantikannya sebagai Khalifah. Abu Bakar mengatakan, ''Ada dua orang yang kena laknat, yaitu mereka yang tidak pantas namun menginginkan posisi itu, dan mereka yang pantas namun tidak bersedia tampil.''

Gus Mus merasa masuk kategori pertama, karena banyak yang lebih pantas dari beliau. Saya merayu beliau untuk tetap bersedia menjadi Rais Am dengan mengingatkan beliau resiko bisa masuk kategori kedua di atas. Beliau tetap tidak mau. Tawadu sekali beliau. Di saat banyak yang rebutan posisi baik di pemerintahan maupun di organisasi kemasyarakatan, Gus Mus mencontohkan teladan mulia kepada kita untuk tahu diri -sikap yang belakangan susah ditemui. Padahal siapa yang tahu dirinya, ia akan tahu Tuhannya.

Gus Mus memang telah menolak menjadi Rais Am meski sembilan anggota AHWA sepakat memilih beliau. Tapi beliau tetap akan menjadi rujukan bagi generasi muda NU di dalam dan di luar negeri. Beliau telah mencontohkan melalui tindakan nyata makna sebuah ketulusan berkhidmat pada umat. Beliaulah sang panutan. Wajah damai dan teduh dari Islam Nusantara menemukan ikonnya di sini.

Namun kegaduhan Muktamar belum selesai. Sebagian utusan wilayah dan cabang menganggap proses persidangan cacat secara prosedural. Saat registrasi tidak semua utusan menyetor sembilan nama calon anggota AHWA. Tapi, anehnya, saat persidangan muncul sembilan nama teratas calon AHWA hasil tabulasi panitia yang dilakukan bukan di depan peserta. Hal ini menimbulkan kecurigaan. Hasil voting tipis yang menyetujui AHWA ditentukan oleh dukungan satu utusan wilayah dan 29 cabang di Papua.

Bisik-bisik terdengar, bagaimana mungkin NU punya cabang lengkap dengan Rais Syuriahnya di 29 kabupaten Papua. Bahkan saat sidang pleno membahas hasil komisi organisasi yang menyepakati aturan peralihan di dalam AD/ART bahwa mekanisme AHWA baru bisa diterapkan di Muktamar berikutnya, langsung dianulir oleh pimpinan sidang pleno tanpa menunggu persetujuan muktamirin.

Ini seolah mengulangi kejadian sebelumnya ketika laporan pertanggungjawaban pengurus PBNU periode lama diketuk palu tanpa memberikan kesempatan setiap wilayah dan utusan menyampaikan pandangan umumnya terlebih dahulu. Inilah wajah Islam AHWA yang mendominasi selama muktamar.

Tapi sejauh mana kubu KH A. Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid yang merasa dirugikan dengan hal-hal di atas punya stamina yang cukup untuk terus melanjutkan keriuhan pasca-muktamar? Umumnya warga NU sudah merasa capek melihat para kiainya bertengkar. Mereka tidak terlalu peduli dengan perdebatan mekanisme AHWA dan non-AHWA. Nahdliyin itu sejatinya cinta damai dan patuh pada kiai.

Sumber: Majalah Gatra

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO