SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan cermin negara demokrasi di mana rakyat memiliki kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung. Kenyataannya, gelaran pesta demokrasi tersebut justru diciderai karena tak bisa lepas dari politik uang atau money politics. Begitu juga dalam Pilkada Sidoarjo 2015 tak lepas dari money politics.
Yang lebih miris, hasil survei yang dilakukan oleh The Republic Institute (TReI) menyimpulkan bahwa, praktik membeli suara atau money politics menjadi sesuatu yang paling menentukan dalam Pilkada Sidoarjo 2015.
Baca Juga: Sambut Pilbup 2020, NasDem Sidoarjo Gelar Konsolidasi Internal
"Peta politik di Sidoarjo bisa berubah cepat karena politik yang (uang) ini. Praktik (politik uang) ini, masif dan sejak lama mengakar menjadi budaya," kata Direktur TReI Fatekhul Mujib dalam press conference, Kamis (3/9).
Pria yang pernah menjadi Komisioner KPUD Sidoarjo tersebut menarik kesimpulan setelah mensurvei 430 responden yang tersebar di wilayah Sidoarjo pada 3-9 Agustus 2015. Selain itu, Karakter politik uang pun berbeda pada masing-masing daerah. Terutama antara perkotaan atau perumahan dan pedesaan.
"Kalau di desa, money politics sifatnya personal. Calon memberi ke pribadi-pribadi. Namun kalau di perumahan atau kota, praktik ini bisa dirasakan secara komunal. Misalnya perbaikan infrastrutur dan layanan. Tapi ini jumlahnya tidak banyak,"paparnya.
Baca Juga: KPU Tetapkan Abah Saiful-Cak Nur sebagai Bupati dan Wabup Sidoarjo Terpilih
Dalam melakukan survey, TReI memberikan 4 pertanyaan ke responden. Untuk pertanyaan menerima uang dan memilih pemberi, ada 26 persen. Kemudian menerima uang tapi memilih berdasarkan nurani ada 40,4 persen. Kecenderungan menerima uang dan memilih pemberi yang paling banyak, ada 25,6 persen. Sedangkan yang tegas menolak pemberian yang hanya ada 8 persen.
"Artinya 92 persen pemilih mau menerima uang dan 51,6 persen memilih calon yang beri uang," ungkapnya.
Fatekhul Mujib melihat para calon dan tim sukses paslon tidak akan menghilangkan praktik politik uang. Pasalnya praktik tersebut yang bisa dimainkan untuk mengejar dan mempertahankan suara. Kondisi ini terjadi lantaran para pelaku suksesi tidak merasa politik uang adalah mencederai demokrasi.
Baca Juga: PPK, PPS dan TPS dengan Kehadiran Pemilih Tertinggi di Pilkada Sidoarjo Dihadiahi Kambing
"Politik uang semakin masif sejak pemilihan kepala daerah langsung pertama kali pada 1999. Tradisi politik uang sebenarnya ada sejak pemilihan kepala desa. Nah kebiasaan itu dibawa sampai ke pilkada. Pelakunya ya dari situ juga," pungkasnya. (sta/sho)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News