BANGSAONLINE.com - Dilantiknya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden tampaknya mulai menggairahkan pertanyaan publik: Apakah demokrasi bakal membaik atau memburuk?
Hal ini tak lepas dari berbagai isu kontroversi yang melingkungi pasangan ini. Salah satunya latar belakang Prabowo dengan rekam jejak militer yang erat dengan pelanggaran HAM.
Baca Juga: Kabinet Prabowo: Ada 19 Kementerian Baru dari 46 Kementerian, Ini Daftar Lengkapnya
Posisi Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi semakin menguatkan indikasi pengaruh politik melalui jalur kekerabatan. Fenomena ini tentu mencederai prinsip meritokrasi dalam demokrasi.
Isu yang melekat pada kedua pemimpin Indonesia ini tentu akan berdampak pada kondisi atau kepercayaan masyarakat ke depannya.
Selain itu isu fundamental yang mengiringi kondisi demokrasi saat ini adalah dengan menurunnya indeks demokrasi.
Baca Juga: Isu Budi Gunawan Masuk Kabinet Prabowo, Pandji: Bukan Kebutuhan Rakyat
Data indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa skor demokrasi Indonesia pada 2023 adalah sebesar 6,53. Ketika Jokowi pertama kali menjabat pada 2014, EIU mencatat bahwa skor indeks demokrasi Indonesia saat itu sebesar 6,95. Selain itu, demokrasi Indonesia selama di bawah Jokowi tidak pernah beranjak dari status demokrasi cacat (flawed democracy).
EIU menggunakan lima indikator untuk mengukur kualitas demokrasi suatu negara. Yakni pluralisme dan proses pemilihan umum, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Hal serupa juga tampak pada Indeks Demokrasi Kepemiluan (Electoral Democracy Index), salah satu indeks yang mengukur demokrasi yang dirilis V-Dem Institute. Lembaga tersebut mencatat bahwa skor indeks demokrasi kepemiluan Indonesia pada 2014 adalah sebesar 0,669. Kemudian nilainya menurun menjadi 0,541 di tahun 2023.
Baca Juga: Jagokan Puan, PDIP Tak Capreskan Prabowo dan Ganjar, ini Rekam Jejak sebagai Oposisi
Dengan demikian masyarakat harus lebih cermat mengawasi jalannya demokrasi. Khususnya penegakkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Jelang pelantikan Prabowo-Gibran, tampaknya hubungan Prabowo dengan para petinggi partai yang tak mengusungnya terus 'membaik'.
Melansir The Conversation, Prabowo baru-baru ini mengisyaratkan penghapusan oposisi dengan menyebut bahwa keberadaan oposisi bukan merupakan oposisi-232926">budaya Indonesia. Senada dengan langkah Jokowi yang merangkul hampir semua partai politik ke dalam koalisi pemerintah.
Konsep tersebut memang jadi langkah yang tepat untuk mengurangi polarisasi dan ketegangan politik. Namun juga membawa potensi mematikan demokrasi.
Peran oposisi sebagai pengawas pemerintah akan terkikis. Lalu ruang untuk kritik dan kontrol terhadap kekuasaan akan menyempit. Tanpa adanya mekanisme check and balance yang memadai, masa depan demokrasi di Indonesia bisa berada dalam ancaman serius.
Realitas kabinet zaken dan politik akomodatif
Melansir CNN Indonesia, Sebelum dilantik, Prabowo berencana akan membentuk kabinet zaken di jajaran menterinya.
"Pak Prabowo ingin pemerintahan yang dipimpinnya nanti adalah zaken kabinet, di mana orang-orang yang duduk di kementerian benar-benar ahli," kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani.
Kabinet zaken adalah kabinet yang anggotanya dipilih berdasarkan keahlian profesional dan kompetensi, bukan atas dasar afiliasi politik atau kepentingan partai.
Tujuan utamanya adalah mengatasi tantangan politik dengan mengedepankan kolaborasi berdasarkan keahlian dan kompetensi, bukan afiliasi politik.
Alih-alih membentuk kabinet zaken, rancangan kabinet Prabowo sudah lebih dahulu terindikasi sebagai politik transaksi. Ini tercermin dalam pemilihan calon anggota kabinetnya yang menunjukkan langkah akomodatif atas afiliasi partai.
Banyak dari 108 nama calon menteri, wakil menteri dan kepala lembaga negara yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Kertanegara awal minggu ini, merupakan figur yang memiliki rekam jejak bermasalah, termasuk dugaan keterlibatan dalam kasus hukum dan catatan etik.
Nama-nama seperti Pratikno, Budi Gunadi, Fahri Hamzah, hingga Raffi Ahmad dan Giring 'Nidji' pernah terlibat dalam kontroversi terkait permasalahan hukum, karier pendidikan, hingga pernyataan kontroversial.
Situasi ini memperkuat kesan bahwa kabinet zaken yang diimpikan oleh Prabowo kemungkinan besar tidak akan terwujud karena kuatnya politik transaksional dalam proses seleksi anggota kabinetnya.
Peluang hilangnya oposisi
Peluang tidak akan adanya oposisi juga dapat dilihat melalui Contact Theory, yang menjelaskan bagaimana kelompok oposisi kemudian dapat berkolaborasi melalui interaksi yang positif. Teori ini sering diterapkan oleh para peacekeeper untuk mengatasi konflik antar kelompok (intergroup) dan geopolitik.
Berdasarkan teori tersebut, interaksi yang positif sengaja diciptakan dalam suasana yang setara sehingga dapat mengurangi prasangka, meningkatkan solidaritas di antara pihak-pihak yang bersaing, lalu dan pada akhirnya menciptakan identitas kolektif di antara mereka.
Meski demikian, efek samping terhadap interaksi positif pada kedua kubu ini mengarah pada penghapusan oposisi yang sepenuhnya dan merosotnya kondisi demokrasi, bahkan di titik tertentu mampu mengancam keberlangsungan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks politik, teori ini sangat relevan untuk membangun koalisi yang efektif. Ketika aktor politik dari latar belakang yang beragam berinteraksi dalam suasana yang setara, mereka dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik satu sama lain dan mengurangi stereotip yang merugikan, namun dengan mudahnya melahirkan 'koalisi gemuk' (fat coalition). Berbagai kelompok, meskipun memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda, bersatu untuk mencapai tujuan bersama, seperti pengesahan kebijakan atau penyelesaian konflik.
Contoh penerapannya pernah dilakukan di zona konflik seperti Irlandia Utara, Israel, Bosnia-Herzegovina, dan Rwanda, serta terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, empati, dan rekonsiliasi antarkelompok yang membentuk dasar kolaborasi politik. Ini menunjukkan bagaimana aktor politik yang berbeda dapat beraliansi untuk kepentingan bersama, terutama jika memiliki pandangan kebijakan yang sama.
Dengan menciptakan interaksi yang positif, teori kontak mendukung pengurangan ketegangan dan memfasilitasi kolaborasi antara kelompok yang biasanya bersaing, memungkinkan mereka untuk bekerja sama demi mencapai hasil yang bermanfaat bagi semua pihak.
Kabinet zaken, jika benar-benar diterapkan sesuai prinsip teori kontak, berpotensi mereduksi dinamika konflik yang biasa terjadi dalam pemerintahan yang berbasis politik partai, karena fokusnya akan lebih pada kualitas keputusan dan solusi praktis daripada kepentingan partisan.
Namun, jika prinsip-prinsip teori kontak ini tidak diterapkan dengan benar dan kabinet zaken tetap didominasi oleh politik transaksi atau kepentingan partai, maka dampaknya akan negatif terhadap demokrasi itu sendiri.
Menutupi kepentingan pragmatis
Alih-alih membangun kolaborasi yang sehat dan mengurangi prasangka, kabinet zaken Prabowo bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan kabinet untuk benar-benar berfungsi berdasarkan meritokrasi dan keahlian, bukan sekadar kepentingan politik tersembunyi.
Jika pemerintahan Prabowo-Gibran nanti berjalan dengan kabinet hasil transaksi politik, kita mungkin harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa panggung politik Indonesia akan semakin menyerupai sirkus—permainan kekuasaan lebih dominan daripada pengabdian pada rakyat.
Publik hanya bisa menyaksikan dengan cemas, berharap agar janji-janji reformasi dan demokrasi tidak berubah atau lenyap hingga berakhir menjadi sekadar omong kosong.
Ironisnya, dalam ketiadaan oposisi, para pejabat bisa saling berpelukan di depan layar—tetapi bukan dalam semangat kolaborasi yang sehat. Melainkan dalam fatamorgana hadirnya harmoni-kolaborasi yang dibentuk untuk menyamarkan kepentingan pragmatis.
Apakah kabinet Prabowo-Gibran akan membawa Indonesia menuju era baru yang lebih demokratis, atau justru menggiring negara ini ke dalam kolam politik dinasti dan oligarki yang semakin dalam?
Mungkin jawabannya sudah tampak di balik senyum politikus yang nyaman berada di kursi kekuasaan. Demokrasi, mungkin, hanya akan menjadi kata kosong di balik panggung politik transaksional.
Sementara rakyat tetap berharap di luar gedung, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News