
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Ini tren baru yang sangat positif. Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, menggelar acara buka bersama puasa 1 Muharramn 1447 Hijriyah. Biasanya acara buka bersama hanya pada bulan puasa Ramadan. Tapi kiai miliarder tapi dermawan itu mulai mentradisikan buka puasa 1 Muharram. Ini berarti semakin banyak masyarakat yang berpuasa sunnah, terutama 1 Muharram.
“Kita buka puasa 1 Muharram dan shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu kita istighatsah dan doa bersama,” kata Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA kepada BANGSAONLINE, Jumat (27/6/2025).
Pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur itu mengundang Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawasan yang dikenal sangat istiqamah puasa sunnah. Gubernur Khofifah tiba di lokasi acara sekitar pukul 17.00 WIB.
Kiai Asep juga mengundang para kiai dari berbagai daerah di Jawa Timur. “Kita buka puasa dulu. Setelah itu baru kita naik ke lantai atas shalat maghrib. Lalu shalat malam dua rakaat. Kemudian kita istighatsah dan doa bersama. Setelah itu kita shalat isya’,” kata Kiai Asep kepada para kiai yang mulai berdatangan sejak pukul 16.00 WIB sore.
Kiai Asep juga mengundang Prof Dr Usep Abdul Matin, Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan Nasional (TP2GP) Pusat.
“Prof Usep untuk menjelaskan progres Kiai Haji Muhammad Yusuf Hasyim dan Kiai Abbas Abdul Jamil yang kita usulkan sebagai pahlawan nasional,” kata Kiai Asep yang juga ketua umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).
Kiai Asep menjelaskan bahwa acara ini untuk mendoakan kepemimpinan Presiden Prabowo, Gubernur Khofifah dan Bupati Muhammad Al Barra (Gus Barra).
“Kita harus mengawal dengan doa. Sungguh tidak bijak, kalau dulu kita mengusung, tapi saat sekarang didzhalimi kita tidak membela,” kata putra KH Abdul Chalim, salah seorang ulama besar dan pejuang kemerdekaan RI yang pada 10 November 2023 ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Dalam sambutannya Khofifah sangat mengapresiasi Kiai Asep yang dengan gigih memperjuangkan Kiai Muhammad Yusuf Hasyim dan Kiai Abbas Abdul Jamil sebagai pahlawan nasional.
Gubernur Khofifah juga mengapresisi Prof Usep Abdul Matin yang menemukan banyak sumber primer sebagai referensi profil perjuangan dua ulama NU tersebut.
“Kita dapat pelajaran dari Pak Kiai Asep. Secara scientific ini luar biasa. Pak Kiai Asep punya peran besar. Ini pembelajaran bagi kita semua,” kata Khofifah.
Menurut Khofifah, selama ini kita sulit punya dokumen kiai-kiai NU. Apalagi dalam bentuk video.
Karena itu, menurut Khofifah, data-data primer yang ditemukan Prof Usep sangat penting.
“Sehingga kita tidak hanya mengklaim bahwa NU berperan besar (dalam perjuangan kemerdekaan bangsa), tapi benar-benar didasarkan pada data scientific,” kata Ketua Umum Pembina Pimpinan Pusat Muslimat NU itu sembari mengatakan bahwa pada hari ini Kiai Asep telah mengajarkan kita semua tentang pentingnya dokumen sejarah perjuangan para kiai NU.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersama Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, KH Muhammad Riza Yusuf (Gus Riza) dan para kiai lainnya seusai acara. Foto: MMA/bangsaonline.
Khofifah juga setuju dengan usulan Prof Usep Abdul Matin yang menyarankan agar KH Muhammadi Yusuf Hasyim dijadikan nama jalan mengingat perjuangan putra Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari itu sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Bahkan Khofifah minta agar KH M Yusuf Hasyim dijadikan nama jalan raya yang besar, bukan jalan gang.
Gubernur perempuan pertama di Jawa Timur itu menyarankan agar nama KH M Yusuf Hasym sebagai nama jalan diusulkan lewat bupati di daerahnya masing-masing. Setelah itu baru diusulkan ke gubernur Jawa Timur.
Sebelumnya Prof Usep mengusulkan agar KH Muhammad Yusuf Hasyim dijadikan nama jalan. Menurut guru besar sejarah dan peradaban Islam Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta itu, titik-titik atau jejak perjuangan KH Muhammad Yusuf Hasyim yang perlu dijadikan nama jalan, antara lain, Cukir, Kesamben, Sumber Agung (Peterongan), yang semuanya kawasan Jombang.
Kemudian Perning, Krian an beberapa daerah untuk Sidoarjo. Lalu beberapa tempat lagi di Mojokerto dan daerah lainnya.
Yang menarik, Prof Usep menemukan data bahwa Bung Tomo adalah muhibbin atau pecinta Hadratussyaikh Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari.
“Bung Tomo sering datang ke Pesantren Tebuireng bersama Jenderal Soedirman,” kata Prof Usep.
Menurut Prof Usep, pemikiran Bung Tomo banyak dipengaruhi pemikiran Hadratussyaikh dalam menyikapi situasi tanah air. Bahkan, menurut Prof Usep, Bung Tomo berbeda pandangan dengan Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin.
“Bung Tomo yang sudah terpengaruh Hadratussyaikh memilih perang terbuka atau perang fisik. Sedangkan Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin memilih jalur diplomatik,” kata Prof Usep mengutip Majalah Tempo.
Bahkan, menurut Prof Usep, Bung Tomo mengabaikan larangan Amir Syarifuddin selaku menteri penerangan yang tidak memperbolehkan Bung Tomo siaran membakar semangat masyarakat. Bung Tomo memilih keluar dari perkumpulan radio. Ia lalu mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Sikap Bung Tomo semakin bulat ketika ia dipanggil ke Jakarta untuk menemui Bung Karno, Bung Hatta dan Amir Syarifuddin. Menurut Prof Usep, saat di Jakarta Bung Tomo menyaksikan bendera Belanda berkibar di markas-markas Jepang. Ini semakin menyinggung rasa nasionalisme Bung Tomo.
“Kok tidak kayak di Surabaya,” kata Bung Tomo seperti dikutip Prof Usep.
Di Surabaya bendera Belanda tak boleh berkibar. Bahkan bendera Belanda yang berkibar di atas hotel Oranye di Jalan Tunjungan Surabaya dirobek warna birunya sehingga tinggal warna merah putih.
“Akhirnya Bung Tomo menyampaikan kepada Bung Karno bahwa ia akan menempuh perang terbuka atau fisik.” Kata Prof Usep.
Pada 6 November 1945, Bung Tomo yang sudah siap dengan 3.000 massa siap mati kembali sowan ke Hadratussyaikh di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia tanya kepada Hadratussyaikh kapan kita akan menyerang tentara sekutu atau penjajah.
Menurut Prof Usep, Hadratussyaikh minta Bung Tomo menunggu kedatangan seorang kiai dari Buntet Cirebon. Kiai itu adalah Kiai Abbas Abdul Jamil.
“Pada tanggal 10 November 1945 Kiai Abbas dan kontingennya tiba di Pesantren Tebuireng dan memutuskan tanggal 10 November 1945 sebagai hari H penyerangan terhadap Inggris/AFNEI/NICA,” kata Prof Usep yang bersama timnya berbulan-bulan mengumpulkan data sekaligus menulis profil Kiai Abbas Abdul Jamil.
“Sabtu menjelang fajar, 10 November 1945, Kiai Abbas Abdul Jamil, para kiai dan santri, berangkat dari Pesantren Tebuireng Jombang, ke Surabaya dengan (naik) kereta api Expres untuk melawan penjajah, sambil menyerukan tiga kali “Merdeka”. Perang terjadi selama 10 hari, mulai 10 November hingga 20 November 1945,” tambah Prof Usep.
Acara buka bersama itu dihadiri KH Muhammad Riza Yusuf (Gus Riza), putra KH Muhammad Yusuf Hasyim, KH Yazid Karimullah, pengasuh Pondok Pesantren Dzul Qornain Jember, Prof Dr Imam Ghazali Said, pengasuh Pesantren Mahasiswa An Nur Surabaya, dan Dr KH Muchlis Muhsin, pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar Modung Bangkalan.
Juga Prof Dr Zainuddin Maliki, anggota LHKP Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Fachruddin, DPW PAN Jatim, KH Nasir Sampang, Dr KH Ahmad Sujak, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur, Dr KH Ahmad Jazuli, Asisten Administrasi Umum Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, dan para kiai lainnya.
Acara itu diakhiri doa bersama yang dipimpin para kiai secara bergantian, antara lain: Prof Dr Imam Ghazali Said, Dr KH Ahmad Sujak, Prof Usep Abdul Matin, KH Nasir, KH Muchlis Muhsin, dan Kiai Asep sendiri. (MMA)