SUMENEP, BANGSAONLINE.com - Karapan Sapi merupakan salah satu kebudayaan yang sangat disukai di empat kabupaten di Madura. Karapan sapi bermula dari kenyataan bahwa tanah Madura tidak bagitu subur sehingga kurang baik untuk pertanian. Sebagai gantinya, orang madura menangkap ikan dan berternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani, khususnya untuk membajak sawah atau ladang.
Sejarah asal mula Karapan Sapi tidak ada yang tahu persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Karapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13.
Baca Juga: Dinkes P2KB Sumenep Catat Kasus 1.323 Kasus DBD Sepanjang Tahun 2024
“Berangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja, mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur. Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panen pun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur," kata sejarawan dan Budayawan di Sumenep, Tajul Arifin.
Setelah masa panen tiba, lanjut Tajul, sebagai ungkapan kegembiraan atas hasil panen yang melimpah, Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan Karapan Sapi.
Karapan Sapi kini menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya ketika menjelang musim panen habis. Pelaksanaan karapan sapi diadakan setiap tahun dan dimulai bulan Agustus-Oktober, dengan tanggal atas kesepakatan bersama.
Baca Juga: Kacabdin Pendidikan Jatim Sumenep Ngaku Sudah Panggil Oknum Guru SMAN 1 Arjasa yang Jarang Ngajar
Tidak semua sapi diperbolehkan untuk mengikuti karapan sapi. Sapi harus mempunyai jenis dan warna Madura asli. Harus sehat dan kuat, tingginya mencapai 120 cm dan gigi-giginya harus sudah dicabut.
Pelaksanana karapan Sapi ini dibagi dalam empat babak. Pertama, seluruh pasangan sapi diadu kecepatannya dalam dua pasangan untuk memisahkan kelompok menang dan kelompok kalah. Pada babak ini semua sapi, baik yang menang maupun yang kalah dapat bertanding lagi.
Babak kedua atau babak pemilihan kembali, pasangan sapi pada kelompok menang akan dipertandingkan kembali, demikian halnya dengan pasangan sapi pada kelompok kalah dan pada babak ini semua pasangan sapi dari kelompok menang dan kalah tidak boleh bertanding kembali.
Baca Juga: Anggota DPR RI Dapil Madura ini Dukung Kenaikan PPN 12 Persen, Begini Katanya
Babak ketiga atau semi final, adalah menentukan tiga pasang sapi pemenang dari kelompok menang dan tiga pasang sapi pemenang dari kelompok yang kalah. Babak keempat atau babak final, diadakan untuk menentukan juara I, II dan III dari kelompok kalah.
Dalam kejuaraan karapan sapi ini terdapat beberapa tahapan kejuaraan, mulai dari tingkat pembantu bupati, kabupaten dan terakhir tingkat karesidenan atau final besar untuk memperebutkan pila presiden.
Final besar biasanya diadakan di kota Pamekasan sebagai koordinator kerja wilayah VII Madura dengan peserta dari 4 kabupaten di Madura yaitu Bangkalan, Sampang, Sumenep dan Pamekasan. Masing-masing kabupaten mengirimkan 6 pasang sapi pemenang.
Baca Juga: Budayawan Madura Sesalkan Oknum Guru SMAN 1 Arjasa Sumenep yang Jarang Ngajar Selama 2 Tahun
Sejak tahun 1998 Final Besar Karapan Sapi pelaksanaannya tidak hanya dipusatkan di Kabupaten Pamekasan, tetapi berpindah-pindah di empat kabupaten di Madura. Biasanya malam menjelang pelaksanaan Karapan Sapi dikenal dengan istilah Gubengan yaitu tumpah ruahnya para penggemar karapan sapi dengan mengadakan pasar malam dan membunyikan berbagai tetabuhan khas madura.
Bagi masyarakat Madura, karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun. Karapan sapi juga bukan hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karapan sapi adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat di masyarakat.
Bagi masyarakat Madura, Karapan Sapi selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Karapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), peran magis religius (misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni tari dan seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang).
Baca Juga: Pemkab Sumenep Teken Kerja Sama Proyek APHT dengan PD Sumekar, Siap Operasikan Pabrik Rokok Terpadu
Menurut Tajul, pengertian kata karapan adalah adu sapi memakai kaleles. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut tukang tongko. Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan pangonong pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan yang satu.
Orang Madura memberi perbedaan antara karapan sapi dan sapi kerap. Karapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam kaedaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk karapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa. Ada beberapa karapan yaitu kerrap kei (karapan kecil), kerrap raja (karapan besar), kerrap onjangan (karapan undangan), kerrap jar-ajaran (karapan latihan).
Selain itu, Tajul menjelaskan Kaleles sebagai sarana untuk karapan yang dinaiki tokang tongko (joki) dari waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko.
Baca Juga: Peringatan HGN 2024, Wabup Sumenep: Peran Guru sebagai Agen Pembelajaran dan Peradaban
Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu.
Terkadang lanjut Muluk, perawatan tersebut, tidak sebanding dengan hadiah yang diperoleh bila menang, tetapi bagi pemiliknya merupakan kebanggaan tersendiri dan harga sapi kerap bisa sangat tinggi.
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang cepat panas (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang dingin (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi kowat kaso (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).
Baca Juga: Bupati Sumenep Terbitkan SE Penggunaan QR Code untuk BBM Subsidi, ini Kendaraan yang Wajib Daftar
Pada waktu akan dilombakan pemilik sapi kerap harus mempersiapkan tukang tongko (joki), tukang tambeng (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu), tukang gettak (penggertak sapi agar sapi berlari cepat), tukang gubra (orang-orang yang menggertak sapi dengan bersorak sorai di tepi lapangan), tukang ngeba tali (pembawa tali kendali sapi dari start sampai finish), tukang nyandak (orang yang bertugas menghentikan lari sapi setelah sampai garis finish), dan tukang tonja (orang yang bertugas menuntun sapi).
Beberapa peralatan yang penting dalam karapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, pangangguy dan rarenggan (pakaian dan perhiasan), rokong (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat).
Dalam karapan sapi tidak ketinggalan adanya saronen (perangkat instrumen penggiring karapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.
Baca Juga: Dukung KPN, Koramil 0827 Sumenep dan Poktan Indra Kila Gelar Gerakan Tanam Padi
Sisi lain yang menarik penonton dari karapan sapi adalah kesempatan untuk memasang taruhan antar sesama penonton. Jumlah taruhannya pun bervariasi, mulai dari yang kelas seribu rupiahan sampai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Biasanya penonton yang berdiri di sepanjang arena taruhannya kecil, tidak sampai jutaan. Tetapi, para petaruh besar, sebagian besar duduk di podium atau hanya melihat dari tempat kejauhan. Transaksinya dilakukan di luar arena, dan biasanya berlangsung pada malam hari sebelum karapan sapi dimulai. (fay/rvl)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News