Kenapa Presidential Threshold Harus Dihapus? Didominasi Parpol dan Bisa Terjebak Calon Tunggal

Kenapa Presidential Threshold Harus Dihapus? Didominasi Parpol dan Bisa Terjebak Calon Tunggal Suhartoyo. Foto: Humas MKRI.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Saya salut sekali terhadap para hakim Mahkamah Konstitusi () sekarang. Terutama Ketua Suhartoyo dan Wakil Ketua Saldi Isra. 

Berbeda saat dipimpin Anwar Usman, yang kini dipimpin Suhartoyo, kembali ke jalan yang benar. Putusan-putusan banyak mementingkan kepentingan rakyat dan bangsa, bukan segelintir elit.

Baca Juga: Yani-Alif Tunjuk Enam Kuasa Hukum untuk Hadapi Sidang Gugatan di MK

Termasuk dalam kasus presidential threshold yang digugat empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Presidential threshold memang banyak sekali aspek negatifnya. Seperti diberitakan BANGSAONLINE, presidential thereshold selain bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat juga melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intorelable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun1945.

Itulah kenapa kemudian mengabulkan semua gugatan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu. Otomatis presidential threshold yang selama ini banyak dimanfaatkan pimpinan parpol untuk pentingan pragmatis – termasuk kepentingan ekonomi – kita terkubur.

Baca Juga: Inilah Tokoh-Tokoh yang Pernah Gugat Presidential Threshold Tapi Ditolak MK

Yang juga menarik kita cermati adalah pertimbangan hukum yang ditunjukkan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah mengaku telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden,” tegas Mahkamah Konstitusi di laman website mkri.id.

Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Baca Juga: Presidential Threshold Melanggar Moralitas, Berntentangan dengan UUD 45 dan Kedaulatan Rakyat

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Baca Juga: Hadapi Sengketa Pilkada di MK, KPU Pamekasan Siapkan Bukti-Bukti

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra.

Sekali lagi, saya sangat mengapresiasi, para hakim Mahkamah Konstitusi. Karena sejak dipimpin Suhartoyo dan beberapa hakim berintegritas itu muncul harapan lagi terhadap tegaknya demokrasi dan hukum di Indonesia. 

Memang masih ada hakim yang diragukan berintegritasnya karena pernah "cacat moral" dalam kasus penyalahgunaan jabatan sebagai ketua . Tapi sekarang suaranya kalah dengan para hakim berintegritas sehingga presidential threshold yang telah berpuluh tahun mengangkangi bangsa Indonesia sekarang tamat riwayatnya. 

Baca Juga: Inilah Empat Mahasiswa UIN Yogya yang Menangkan Gugatan Penghapusan Presidential Threshold di MK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO